KETIKA GUNUNG SEMERU masih menyemburkan asap pertanda situasinya masih siaga,Selasa, 6 Desember 2022, saya berada di Kota Malang, Jawa Timur. Saya bermalam beberapa jam saja, sebelum berangkat menuju Desa Ngadiwono.
Sebenarnya ini bukan acara plesiran atau jalan-jalan. Meskipun pada setiap tempat saya menyempatkan diri untuk jalan-jalan, mengetahui alam sekitar, bertemu dengan orang-orang yang baru dikenal.
Perjalanan saya ke Desa Ngadiwono adalah perjalanan kolaboratif bersama anak-anak muda yang penuh indpirasi dan inisiatif. Kelompok anak muda itu membuat sebuah gerakan bernama Jaring Jiwa, sebuah gerakan yang baru lahir dengan misi dan visi mulia dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan dan ekonomi sirkular atau kemasyarakatan.
Sejatinya merekalah yang mengajak saya. Dan saya menerima ajakan untuk kolaborasi sekaligus sharing seputar kegiatan pariwisata. Mereka tahu saya melakukan gerakan pariwisata di desa saya sendiri, di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Untuk itulah saya diajak. Selain membagi pengalaman, saya juga mendengar dan merasakan bagaimana potensi dan tantangan pengembangan wisata di Desa Ngadiwono.
Anak-anak muda Jaring Jiwa di Desa Nagdiwono, Pasuruan, Jawa Timur
Desa Ngadiwono adalah sebuah desa di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan , Jawa Timur. Dari Kota Malang, saya bersama seorang teman berkendara dengan sepeda motor ke desa itu. Desa itu adalah desa yang merupakan salah satu tempat bermukimnya Suku Tengger.
Dari Kota Malang, arah yang dilewati menuju Pasuruan via Nongkojajar, Desa Wonosari. Setelah 90 menit, kami sampai.
Suasana pegunungan sudah sangat terasa ketika di sekeliling jalan penuh dengan hutan pinus, perkebunan sayur mayur dan aktifitas para petani yang lalu lalang mencari rumput untuk ternak. Sesampai di Ngadiwono, saya dan tim Jaring Jiwa bertemu Catur Putra Pamungkas.
Laki-laki itu usainya 22 tahun. Ia sangat bersemangat untuk menjadi guide wisata sekaligus penuh gairah untuk mengembangkan potensi desanya menjadi desa wisata.
“Saya masih mengikuti pelatihan untuk mendapatkan sertifikasi tour guide,” tutur Catur.
Catur mengajak kami berkeliling desa. Memperlihatkan potensi pertanian hortikultura semisal kentang, kubis, kol hingga brokoli. Tidak hanya melihat, saya juga mendapat penjelasan bagaimana cara dan kebiasaan petani ketika berkebun.
Ia juga memperkenalkan tentang alat-alat apa saja peralatan yang digunakan para petani dalam berkebun. Peralatan itu disimpan di sebuah pondok di tengah kebun, seperti keranjang sebagai wadah kentang saat panen, keranjang tempat menaruh pakan ternak, sampai berbagai jenis dan ukuran cangkul untuk menanam dan fungsi-fungsinya.
Setelahnya saya diajak berkeliling desa, melihat bagaimana Desa Ngadiwono dari ketinggian.Dari ketinggian Desa Ngadiwono tampak indah, kebun berjajar dan rumah penduuduk yang masih tampak alami.
Berfoto bersama di sudut Desa Ngadiwono
Setelah beristrahat sejenak menjelang sore, kami melanjutkan perjalanan ke peternakan Cak Setiyoni. Setiyoni dengan keramahan khas warga desa menjelaskan bagaimana kebiasaan masyarakat dalam beternak sapi. Jenis sapi yang dipelihara adalah sapi jawa yang secara perawakan sangat besar.
Uniknya kandang sapi di desa itu menyerupai sebuah pondok. Ketika berkunjung hujan pun turun dan Cak Setiyoni mengumpulkan beberapa potongan kayu untuk dibakar.
Nah, kegiatan membakar potongan kayu saat hujan atau pada hari-hari biasa ini dikenal dengan istilah Gegeni di Ngadiwono. Diterpa hangat api, obrolan mengalir ditemani seketel kopi lokal yang disangrai sendiri.
Gegeni adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan umumnya menjelang petang. Bertujuan untuk menghangatkan badan sambil bercerita. Dan cerita diskusi malam di Ngadiwono terakhir terjadi di Tana Layu.
Tana Layu adalah sebuah pondok wisata. Tana Layu sendiri adalah sebutan dari bunga edelweiss yang memang banyak tumbuh di daerah itu. Banyak orang menyebut bunga edelweiss juga dengan sebutan bunga keabadian.
Biar tidak ngelantur, pada saat tutur asyik malam itu, menjelang hari berganti, Catur Putra Pamungkas dan kawan-kawan dari Jaring jiwa akhirnya sepakat untuk membuat sebuah peta jalan wisata Ngadiwono.
Obrolan ini lebih serius karena kedatangan kami memang untuk melakukan sharing tentang bagaiaman mengembangkan Desa Ngadiwono sebagai daerah wisata berkelanjutan.
Mencoba merasakan pakaian khas Ngadiwono
Peta wisata disusun sebagai petunjuk bagi orang-orang yang datang ke desa itu. Peta dimuai dengan memperkenalkan pelancong dengan para petani. Pelancong bisa melihat dan mendengar pengalaman bagaimana warga Tengger hidup dengan bertani, hidup dengan budaya sehari-hari. Misalnya, diperkenalkan tentang budaya berpakaian warga desa.
Yang juga akan menjadi menu wisata, sekaligus juga menjadi bonus sebanyak-banyaknya adalah udara segar jauh dari polusi dan cukup dengan 10 menit orang-orang bisa ke penanjakan Bromo, Gunung Semeru dan Penangugan pun tampak berdiri dengan gagah dan sesekali berasap.
Saya banyak belajar dari Ngadiwono. Jangan sampai semua petani berhenti, untuk bekerja di kebun, lalu bekerja di hotel, villa atau tanahnya dibangun villa atau hotel. Petani harus menjadi pelaku wisata yang sebenar-benarnya, jangan hanya di jadikan objek foto selfie. [T]