TULISAN INI mungkin menjadi episode terakhir dari seluruh rangkaian catatan pinggir saya tentang guru pada peringatan HUT ke-77 PGRI di Kabupaten Tabanan. Justru tulisan terakhir ini mengharubirukan perasaan saya selaku Ketua PGRI Tabanan.
Pada momen Hari Guru saya sebagai tim pendamping sekaligus sebagai salah satu juri dalam lomba esai guru. Dan saya sangat terharu membaca tulisan mereka, para peserta lomba yang memang adalah guru.
Ketika membaca esai-esai peserta, saya ingat pada tahun 1989, saya ke sana kemari membawa ijasah untuk mengabdi sebagai pengajar, namun tidak dapat tempat mengabdi untuk bisa mengajar di sekolah.
Bayangkan saya lulus dengan jalur skripsi, yang konon di masa itu selayaknya menjadi dosen. Tapi nyatanya, untuk menjadi guru pengabdi pun, untuk saya, tetap susah saat itu.
Sudahlah, saya sudah sangat bersyukur, karena bisa membaca tulis esai teman-teman guru yang mengungkapkan perasaan yang terdalam dan menyedihkan. Memang, saat membaca, terasa dada ini sesak dan air mata tumpah tak bisa ditahan.
Untuk itu, saya mencoba merangkum esa-esai para peserta untuk menjadi satu kisah tentang guru honorer.
Inilah rangkuman esai-esai itu:
Berbekal ijazah Sarjana Pendidikan Anak Usia Dini, saya mulai menggantungkan mimpi menjadi seorang guru yang berpenghasilan sejajar dengan kualifikasi Pendidikan yang dikantongi.
Selembar kertas kubawa di sebuah sekolah swasta. Dengan bangganya saat itu tepat 01 Oktober 2005 diterima sebagai guru honor sekolah. Tanpa bertanya berapa saya akan digaji perbulannya. Waktu pun berlalu, tak terasa sudah satu bulan. Amplop kuterima dengan wajah penuh semangat walaupun saat itu hanya terisi Rp. 150.000.
Bulan demi bulan terlewati, tahun demi tahun kulalui hanya dengan 150.000 perbulan. Hingga akhirnya di tahun 2011 mencoba ikut serta melamar CPNS. Namun sayang, dewi fortuna belum berpihak kepada saya. Dengan beban berat di pundak sebagai pendidik di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini, yang merupakan pondasi keberhasilan jenjang berikutnya.
Setiap tahun saya tunggu formasi untuk Guru TK, dengan harapan bisa mewujudkan mimpi yang telah terukir beberapa tahun sebelumnya. Hingga harus menutup rapat-rapat pintu harapan dan kembali ke rutinitas sehari-hari bergelut dengan canda tawa anak didik usia 4-6 tahun. Anak-anak yang selalu bisa mengobati rasa dalam hati dengan renyah tawanya, dengan perhatian dan kasih sayang yang tulus, hingga mampu membawa hati ini merasakan nyaman,tentram dan damai.
Selang dua belas tahun berjalan, saya kembali mencoba mengejar mimpi yang tak pasti dengan berpindah tugas. Berharap di lembaga baru akan mendapatkan perhatian yang layak, sepadan dengan apa yang tertuang dalam lembar kertas putih yang diperjuangkan selama empat tahun lamanya.
Angin segar pun berhembus di tahun 2021. Bukaan formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak Kerja dimulai. Hati pun menyambut gembira. Namun apa yang terjadi?
Lagi-lagi formasi PPPK Guru Pendidikan Anak Usia Dini tidak satupun menampakkan batang hidungnya. Hati pun menangis, hanya bisa mengigit jari saat melihat ribuan guru telah tersulap menjadi PPPK guru.
Terkadang menyejukkan asa, tetapi tidak jarang juga kami mendengar lontaran percakapan yang mendiskreditkan andil dan dedikasi kami sebagai guru honorer PAUD. Sebagai manusia biasa tentu kami boleh berkeluh kesah terkait “tuntutan tugas kependidikan yang kami emban relatif sama, bahkan terkadang atas nama “senioritas”.
Kami para guru honorer mencoba tetap berbesar hati dan menghibur asa kami, “mungkin semuanya akan indah pada waktunya nanti”. Selanjutnya, kami guru honorer segera beranjak menata hati, memandang wajah-wajah mungil anak-anak didik kami sebagai ladang persemaian karakter mulya. Dalam hati kami bergumam “tetaplah mendidik dengan hati, walaupun ujian keikhlasan mengabdi ini sangat menyiksa nurani”.
Suatu ketika, saat itu, kami para guru honorer PAUD berkesempatan untuk berdialog secara interaktif dalam sebuah momen tanya jawab dalam kegiatan diklat fungsional bagi guru-guru PAUD di Denpasar. Kami para guru honorer iseng bertanya mengenai kemungkinan prospek perubahan kenaikan status kepegawaian kami dari guru honorer menjadi guru PNS dan bersertifikasi profesi pendidik.
Narasumber tersebut balik bertanya: “Apakah kualifikasi akademik ibu sudah memenuhi syarat sebagai pendidik PAUD? Sudah S1 PG-PAUD belum? Kalau belum kejar dulu ijazah S1 PG-PAUD-nya. Setelah itu, ajukan penerbitan NUPTK. Lalu pastikan data Ibu masuk di DAPODIK agar masuk juga dalam daftar antrian calon peserta PPG Guru sebagai tiket masuk mendapatkan Sertifikasi Profesi Guru di Aplikasi SIM-PKB. Kalau bersertifikasi Profesi Pendidik, maka peluang Ibu dalam seleksi calon guru P3K jenjang PAUD terbuka lebar”.
Begitu lugas dan menohok jawaban yang kami terima. Semua itu menyadarkan kami para guru honorer bahwa mata air kesejukan karir sebagai guru PAUD yang sejahtera masih sangatlah jauh. Masih ada banyak anak-anak tangga perjuangan yang harus kami daki setahap demi setahap, dengan banyak cucuran keringat bahkan air mata perjuangan. Tetapi setidaknya gambaran perjuangan selanjutnya yang harus kami tempuh untuk meraih hak-hak kami sebagai pendidik PAUD secara egaliter dan professional mulai jelas.
Menjadi guru memang soal pengabdian. Namun saat sibuk mengabdi, tak dipungkiri bahwa kebutuhan. Saya berpikir, semua orang tak mengenal dan tak tahu kelelahan ini. Harus bangun lebih pagi, kerja lembur yang menyiksa. Rasa lelah yang luar biasa hampir setiap hari dirasakan bahkan bukan itu saja, sering kali harus direpotkan dengan pekerjaan sampingan.
Pekerjaan sampingan bila tidak dikerjakan maka penghasilan tidak mencukupi segala kebutuhan. Terkadang berpikir juga untuk orang tua, apa yang harus dilakukan untuk membantunya. Sebagai anak pasti ingin membahagiakan orang tua. Dengan gaji yang tak mencukupi tak bisa membantu beban orang tua. Takut orang tua terlalu khawatir atau mungkin kecewa dengan mengabdi bertahun-tahun, pekerjaan banyak dilakukan tapi hasil tak seberapa. Rasanya ingin menangis namun, bagaimanapun harus bertahan karena semua yang dilakukan itu membawa berkah kepada semua orang.
Kepada pemerintah sejahterakanlah dan atasi masalah-masalah guru di dunia pendidikan. Perhatikanlah guru karena peran mereka sangat penting dalam membangun bangsa ini. Kualitas pendidikan akan baik apabila kesejahteraan guru juga baik. Pahlawan tanpa jasa dapat dimiliki dalam profesi yang digeluti. “No teacher no education”.
“Terpuruklah wahai engkau, ibu bapak guru, Gajimu takkan menanggung hidupmu, Dalam hari-harimu, Semua baktimu takkan terpikir, oleh pemerintahmu. Sebagai pengabdi terima gajimu. Tak cukup seminggu. Engkau tak pernah pelitnya. Dalam dunia pendidikan. Engkau patriot pahlawan bangsa. Tanpa imbalan jasa.” [T]