ADA TIGA hal penting yang harus diperhatikan jika bicara soal kesenian kontemporer. Itu kata Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST.,MA. Apa saja tiga hal itu?
Pertama, kita harus belajar dulu soal kesenian tradisional dan hal itu dijadikan bekal untuk menghasilkan karya-karya seni pertunjukan kontemporer
Dibia yang merupakan suami dari Dr. Ni Made Wiratini, SST., MA, ini memang masuk ke seni kontemporer sejak tahun 1971. Seni kontemporer ia masuki setelah memiliki bekal kesenian tradisi yang cukup.
Sebelumnya Dibia sudah mempelajari berbagai jenis seni pertunjukan tradisi Bali dari belajar dengan guru-guru di desa dan di Kokar Bali. Dengan bekal yang cukup ia merasa tidak pernah kekurangan bahan yang bisa diolah untuk menghasilkan karya-karya seni pertunjukan kontemporer.
Kedua, banyak yang menganggap bahwa jika ingin terjun ke seni kontemporer seseorang harus melepaskan diri dari seni tradisi. Pandangan seperti ini, kata Dibia, bisa menyesatkan.
“Jika seseorang tidak punya bekal seni tradisi yang memadai, maka orang itu hanya mampu menghasilkan karya-karya seni kontemporer yang tak punya identitas budaya dan identitas diri yang kuat,” kata dia.
Yang benar, kata Dibia, ketika seseorang terjun ke bidang seni kontemporer, ia harus mampu melepaskan diri dari ikatan dan aturan-aturan kaku dari seni tradisi sehingga ia akan memiliki ruang bebas untuk mereinterpretasi, mempresentasi, dan mengkrekreasi hal-hal baru dalam karya kontemporernya sesuai kebutuhan dan tuntunan ekpresi estetik masa kini.
Ketiga, kehadiran seni kontemporer sering dianggap dapat merusak eksistensi seni tradisi. Menurut Prof. Dibia, pandangan seperti ini hanya mencerminkan rasa ketakutan yang berlebihan. Kehadiran seni kontemporer justru akan memberi imbas positif terhadap kehidupan seni tradisi.
Jika karya seni ciptaan baru yang diciptakan zaman sekarang kelak masih diterima oleh masyarakat, maka karya seni kontemporer itu akan menjadi seni tradisi yang baru. Ini berarti kehadirannya bisa memperkaya kehidupan seni tradisi.
“Yang perlu diwaspadai adalah munculnya karya-karya seni kontemporer yang mengeksploitasi unsur-unsur seni tradisi, lebih-lebih yang bernilai sakral. Contohnya Sanghyang Jaran yang kini sudah dikomersialkan dalam perstunjukan wisata. Cara-cara seperti ini bisa mempercepat proses sekularisasi terhadap bentuk-bentuk kesenian tradisi yang bersifat sakral,” katanya.
[][][]
Prof. Dibia mengatakan, sejak 1971 ia terlibat mempelajari kesenian -kesenian modern setelah mememiliki bekal kesenian tradisi yang cukup. Pria asal Singapadu, kelahiran 12 April 1948, ini adalah sosok guru besar yang telah malang melintang membawa sekaligus memperkenalkan kesenian tradisi Bali di berbagai negara, tidak saja kesenian tradisi melainkan seni-seni modern yang diciptakanya.
Dibia pernah menggagas Festival Seni Masa Kini di Sekolah Tinggi Seni Indonesia pada tahun 1992 yang menghadirkan para seniman kontemporer dan modern Bali. Selanjutnya ia mendirikan pusat kreativitas seni, Geria Olah Kreativitas Seni (GEOKS) di Singapadu-Gianyar untuk mempromosikan karya-karya seni kontemporer di Bali.
Di tingkat nasional, Wayan Dibia memperkenalkan kecak sebagai wahana terapi dalam pertemuan dokter-dokter di Jakarta. Ia juga menjadi pembicara dalam berbagai pertemuan seni pertunjukan di beberapa kota besar di Indonesia.
Ia juga sempat menjadi Pengurus Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dari tahun 1999-2003. Menjadi Tim Kurator Indonesia Dance Festival (IDF) pada tahun 2006. Dan di tingkat internasional, Dibia mengajar kecak ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Hong Kong, Singapore, Taiwan, dan Australia.
Dibia juga pernah mengadakan pertemuan Koreografer dan Komposer Muda se Asia Tenggara, Forum For Young Choreografer and Composer at GEOKS Singapadu-Bali, Under The Support of Arts Network Asia, Asian Cultural Council (ACC) New York, and Wayan Geria Foundation (2007).
Wayan Dibia menceritakan, kreativitas dan inovasi kekaryaan bidang seni modern, kontemporer, dan seni inovasi lainnya yang sudah dilakukan tercatat cukup banyak. Antara lain sejak 1975 telah menciptakan sejumlah tari dan dramatari kreasi baru kreasi yang berbasis kecak, kekebyaran, legong, topeng, dan arja untuk dipentaskan dalam Pesta Kesenian Bali.
Tahun 2004 menciptakan dramatari Arja Katemu Ring Tampaksiring, berdasarkan cerita pendek Katemu Ring Tampaksiring karya I Made Sanggra, produksi Geria Olah Kreativitas Seni (GEOKS) Singapadu, Gianyar. 2014 menciptakan dramatari Romentara Yulianti, sebuah kisah yang diadopsi dari cerita Romeo and Juliet karya William Shakespeare, produksi Geria Olah Kreativitas Seni (GEOKS) Singapadu, Gianyar.
Sedangkan tingkat nasional, tahun 1979 menciptakan Kecak kolosal bersama warga masyarakat Bali di Jakarta yang di tampilkan dalam pembukaan Jakarta Fair. Tahun 1982 mementaskan tari kreasi baru Manuk Rawa dengan 17 orang penari di Istana Negara – Jakarta dala rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Tahun 2012 menciptakan dramatari topeng modern Tuan Tepis Produksi Geoks Singapadu. Internasional, menciptakan Body Tjak di California, USA (1990, 1999, dan 2002). Dan menciptakan Kecak “Cupu Manik Asta Gina” di Taipei University of The Arts – Taiwan (2016)
Selain menghasilkan puluhan garapan seni tari, sejak 1978, Prof. Dibia aktif menulis buku dan mengoleksi 51 buku yang tersebar luas di kampus maupun masyarakat. Beberapa buku terbaru adalah: Geguritan Dharmaning Pragina (2020), Ngunda Bayu; Teknik Pengolahan Tenaga Dalam Seni Pertunjukan Bali (2020), Puitika Tari Bali (2021) yang terdiri dari lima jilid, yakni Ungkap Kata Tari Bali; Nawa Natya; Sembilan Tari Bali Pilihan; Pengakuan dan Kesaksian Hanuman; Gurat Garis Tari Baris; Nyanyian Penari Senja;Kali Sengara Pupulan Puisi Basa Bali (2022); Guna Gina Pragina Pupulan Puisi Basa Bali (2022); Panca Wi: Lima Pedoman Dasar Tari Bali (2022).
Sementara untuk tingkat nasional, tahun 2003 menulis buku Bergerak Menurut Kata Hati, terjemahan dari Moving From Within oleh Alma M. Hawkins (1991) diterbitkan oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Sedangkan untuk tingkat Internasional , tahun 1995 menulis buku Kecak; Balinese Vocal Chanting of Bali diterbitkan oleh Bali Hartanto Art Books Studio. Tahun 2004 menulis buku Balinese Dance, Drama, and Music bersama Rucina Ballinger yang diterbitkan oleh Peri Plus Singapore. Tahun 2012 menulis buku Taksu in and Beyond Arts diterbitkan Wayan Geria Foundation Singapadu Gianyar.
Di masa Pandemi belum lama ini, Prof, Dibia menyajikan lima buku seni sekaligus. Buku yang ditulis secara khusus tersebut mengangkat puisi, berjudul Puitika Tari, sebuah terminologi yang mengandung makna pelukisan atau penggambaran tari berbahasa puitis.
“Sejak Februari sampai bulan Juni 2021, saya mulai tertarik untuk menulis “puisi” dan telah melahirkan lima buah buku Puitika Tari dengan judul yang berbeda-beda,” katanya.
Kelima buku tersebut masing- masing, berjudul, Kata Tari Bali, Nawa Natya, Sembilan Tari Bali Pilihan, Pengakuan dan Kesaksian Hanuman,Gurat Garis Tari Baris, dan Nyanyian Penari Senja.
Terminologi Puitika Tari ini lahir dari perpaduan antara karya sastra berbentuk puisi bebas dengan deskripsi estetik tentang tari.
“Sebagai suatu karya olah seni sastra, yang diikat irama, matra, dan rima serta disusun ke dalam larik dan bait, puitika tari berisikan gambaran jagat tari,” ujarnya.
Cakupan kisahnya bervariasi dari prinsip estetik, gerak-gerak, ragam dan jenis, sampai dengan peristiwa pertunjukan tari, ungkapan emosi serta kehidupan senimannya. Karya puitika tari, menyuguhkan dua hal yang saling berkaitan yaitu olah sastra dan gambaran keindahan seni tari, termasuk emosi pelakunya terhadap seni tari.
“Dengan membaca puitika tari para pembaca akan memperoleh gambaran ‘luar dalam’ dari tari dan sambil merasakan suasana emosi dari sajian tari yang digambarkan penulisnya,” ucapnya.
[][][]
Tentu saja Dibia menerima berbagai penghargaan atas ketokohannya sebagai seniman. Tahun 2000, menerima Penghargaan Wija Kusuma dari Bupati Gianyar. Tahun 2003, menerima Penghargaan Dharma Kusuma dari Gubernur Bali. Tahun 2017, menerima Penghargaan Seni Pramana Satya Budaya (Sebagai Maestro tari Bali) dari Bupati Gianyar. Di tingkat Nasional, Tahun 1982, terpilih sebagai dosen teladan Institut Kesenian Indonesia (IKI). Ia juga menjadi Tim mengusul Sembilan Tari Bali ke Unesco tahun 2015. Untuk tingkat nternasional, Tahun 2021, menerima Penghargaan Internasional Padma Shri untuk bidang seni dari Presiden India.
Sementara itu, reputasi dan pengakuan yaitu diakui sebagai maestro Bidang Tari oleh Bupati Gianyar melalui penghargaan Penghargaan Seni Pramana Satya Budaya tahun 2017. Secara Nasional, tahun 1999 dikukuhkan sebagai Guru Besar Madya bidang Koreografi oleh Presiden Repu-blik Indonesia.
Ia menjadi Tim Pengarah Festival Kesenian Indonesia (FKI) di Surabaya tahun 2020. Internasional, 2005-2007 Menjadi dosen tamu, di The College of Holy Cross, Worcester-Massachusetts, USA. 2010 menjadi konsultan pameran “Bali Dancing for The Gods” di Horniman Museum, Inggris. 2016 (selama satu semester) menjadi dosen tamu di Taipei National University of The Arts (TNUA) Taiwan. 2018 sampai sekarang menjadi dosen tamu, Honorary Fellow, di Victoria College of The Arts, Melbourne University, Australia.
Atas pengabdian, kegigihan dan keteguhan Prof. I Wayan Dibia, dalam membina, melestarikan, dan mengembangkan seni budaya Bali tanpa mengenal Lelah dan putus asa , Pemerintah Provinsi Bali mengapresiasi dengan memberikan penghargaan Bali Jani Nugraha tahun 2022. [T][*]