SELAMA TIGA HARI, mulai 25 November hingga 27 November 2022, dibukalah ruang imaji seperti seperti sebuah telaga untuk tempat tumbuhnya teratai kreativitas di Museum Puri Lukisan Ubud, Gianyar, Bali. Telaga kreativitas itu bernama Ubud Campuhan Budaya 2022.
“Ubud Campuhan Budaya ini diabadikan sebagai usaha untuk melakukan penguatan budaya melalui berbagai pelatihan, lomba, pameran dan pagelaran sebagai wujud pelibatan publik yang lebih luas dalam solidaritas penguatan budaya,” kata Dr. Cokorda Gde Bayu Putra, SE, M.Si. yang biasa disapa Cok Bayu. Ia adalah ketua panitia festival itu.
Acara yang digelar Yayasan Janahita Mandala Ubud ini diisi berbagai acara yang berlangsung penuh gairah.
Pada hari pertama sebelum pembukaan secara resmi, 25 November, bersama Tim Arsip 1928 dimamerkan beberapa foto-foto Bali periode 1930-an. Pameran itu mendapat perhatian, bukan hanya dari penggemar foto, melainkan juga dari klahayak luas di Bali.
Foto-foto yang dipamerkan bukan semata gambaran eksotis bagaimana potret Pulau Dewata di masa lalu, namun bagian upaya menghadirkan edukasi kebudayaan kepada khlayak melalui media fotografi.
Pada pembukaan, 25 November sore, Festival Ubud Campuhan Budaya 2022 diisi dengan pelucuran Buku Sarasastra III (Pusaragam Pemikiran Kebudayaan Bali) dan Buku Macandetan (Jalinan Pemikiran Kebudayaan Bali) yang pertama di Tahun 2022.
Dan pada malam harinya, Yayasan Janahita Mandala Ubud akan memberikan SARASASTRANUGRAHA TAHUN 2022 kepada Pengabdi Sastra, Agama dan Kebuayaan Bali yang telah mendarmabaktikan hidup dan pengetahuannya bagi pengembangan Sastra, Agama dan Kebudayaan Bali.
Malam itu juga disuguhkan sebuah pertunjukan seni inspiratif berjudul “Amṛtatula” yang terinspirasi dari keseimbangan konsep air.
Garapan gerak tari dimainkan oleh Komunitas Napak Tuju. Gerak tari itu sekaligus berupaya merespon alunan tembang Geguritan Rajendra Prasad karya Tjokorda Gde Ngoerah dan Geguritan Bali Tattwa yang penggalannya dinyanyikan oleh Putu Wiwin Astari, seorang akademisi dari Universitas Hindu (Unhi) Denpasar.
Pelatihan dan Lomba-lomba
Acara Ubud Campuhan Budaya Tahun 2022 di hari kedua dihiasi dengan berbagai pelatihan dan lomba. Sejak pagi bersama Komunitas Serugis, digelar kompetisi mural untuk mengembangkan dan membangun imajinasi anak muda dalam mersepon pesona telaga.
Selanjutnya, di hari itu juga, diadakan pelatihan pembuatan lamak Bali.
“Kita tahu penggunaan lamak Bali hari ini tidak sebatas pelengkap sarana ritual upacara namun juga sarana penunjang dekorasi adat Bali yang belakangan banyak digandrungi oleh pencinta dekorasi dan anak muda Bali,” kata Cok Bayu tentang acara itu.
Pada acara itu hadir I Nyoman Sueta, salah satu perajin lamak dari Desa Padang Tegal, Ubud yang mewarisi bakat ayahnya dulu.
Pada hari itu, digelar juga workshop digital art yang diisi oleh Raka Jana, seorang illustrator dan creativepreneur Bali.
Acara festival itu menjadi penuh makna dan penyebaran pengetahuan budaya dengan digelarnya diskusi bedah Arsip Bali 1928 dan arsip foto-foto bali periode 1946-1950 yang diisi oleh Marlow Bandem—penggagas Arsip 1928, dan I Nyoman Gde Maha Putra dari Kacunduk Institut, serta dilanjutkan dengan screening video Bali periode 1930-an.
Dalam rangka penguatan minat belajar tari anak-anak, Festival Ubud Campuhan Budaya juga menggadakan worshop tari Bali yang diberikan langsung oleh Ayu Anntha dari Kerta Art yang juga sekaligus host tetap program Mesolah Janahita Mandala.
Pada hari terakhir, 27 November, digelar workshop permainan tradisional kepada anak-anak yang dibawakan langsung oleh maestro dongeng dan permainan tradisional Bali, Made Taro.
“Lalu, sebagai tindak lanjut pengembangan program kawaritan dan melengkapi hadirnya Buku Macandetan sebagai produk literasi pemikiran gamelan Bali, kami menggelar pelatihan penciptaan pengawak lelambatan pegongan yang diisi oleh Bapak I Ketut Gede Asnawa, seniman sekaligus composer,” kata Cok Bayu.
Yang membuat suasana festival menjadi penuh keindahan adalah penampilan satu buah tabuh kebyar Ubud karya maestro Alm. Tjokorda Agung Mas yang berjudul Tabuh Jeng Jing. Tabuh jeng Jing tersebut akan dipentaskan oleh Sanggar Tedung Agung dibawah binaan Prof. Dr. I Wayan Rai S.
“Pergelaran tabuh itu sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi yang tinggi kepada almarhum atas beragam jasa dan dedikasinya kepada dunia karawitan di Ubud dan Bali pada umumnya,” ujar Cok Bayu.
Selanjutnya sebagai penanda geliat seni dan penciptaan tabuh yang terus mengalir di Ubud, dengan bangga pula disuguhkan satu buah karya baru berjudul “Banyu Mili” yang dibawakan oleh Sekaa Teruna Udyana Taman Kelod di bawah asuhan komposer sekaligus editor buku macandetan I Wayan Diana Putra.
Malam penutupan Ubud Campuhan Budaya Tahun 2022 tidak saja akan menyuguhkan persembahan karya seni pertunjukan bali, tidak pula semata dimaksudnya hanya untuk menampilkan gempita seni lintas generasi, namun juga berusaha menghadirkan tawaran gagasan dan pemikiran yang cemerlang dalam memandang kebudayaan Bali yang masih bertahan.
Untuk itulah di akhir acara pentupan diisi dengan Pidato Kebudayaan dari Prof. Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si – seorang putra Ubud yang kita tahu tidak saja sebagai figur publik karena menjabat sebagai Wakil Gubernur Bali, namun juga secara konsisten menuangkan gagasannya lewat tulisan serta larut dalam berbagai aktivisme kebudayaan.
“Dari Beliau kita akan mendengar perspektif serta gagasan bernas tentang upaya konservasi pelestarian yang adaptif dengan laju pembangunan di kawasan seputar pusering madya mandala Bali,” kata Cok Bayu.
Dalam acara itu juga diserahkan Penghargaan SARAŚĀSTRĀNUGRAHA Tahun 2022. Berdasarkan hasil penilaian Tim Kurasi SARAŚĀSTRĀNUGRAHA Tahun 2022 serta persetujuan para Dewan Pakar, Pengurus, Pengawas dan Pembina Yayasan Janahita Mandala Ubud yang mempertimbangkan aspek prestasi, kontribusi, dedikasi, etik, dan kepakaran dalam pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan Sastra, Agama, serta Kebudayaan Bali, maka ditetapkan Bapak Drs. Ida Bagus Gede Agastia sebagai penerima Penghargaan SARAŚĀSTRĀNUGRAHA Tahun 2022.
Penguatan Budaya
Cok Bayu mengatakan, pelaksanaan Festival Ubud Campuhan Budaya di Tahun 2022 ini merupakan ajang penguatan kebudayaan yang digagas oleh Yayasan Janahita Mandala Ubud sebagai muara dari serangkaian program berkala yang rutin digelar setiap bulan mulai dari periode awal Januari hingga akhir Sepetember tahun 2022.
“Ubud secara geografis berada di puser mandala Bali memiliki pesona alam ikonik yaitu pertemuan dua aliran air yang biasa disebut dengan campuhan. Campuhan Ubud yang tidak jauh dari tempat ini mempertemukan dua sungai wos kawan dengan wos kangin,” kata Cok Bayu.
Menurut Cok Bayu, berbagai pustaka menyebutkan bahwa tempat inilah yang dipilih oleh Resi Markandya untuk mulai melakukan penunggalan batin kala menata peradaban Bali. Hingga saat ini pun masyarakat Ubud dan Bali meyakini bahwa di pusat pertemuan air itu ada kekuatan yang bisa menjadi benih penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan.
Selaras dengan spirit campuhan yang melegenda itu, Ubud tanpa disadari menjadi ruang juga menjadi tempat pertemuan orang-orang dari berbagai belahan bumi. Di tanah dan natah Ubud-lah para seniman dunia bertemu seperti Rudolf Bonnet, Walter Spices, Antonio Blanco, dengan penduduk lokal.
Dalam silang pertemuan itu, pada saat yang bersamaan terjadi pula campuhan budaya dari kedua pihak. Tak berbeda dengan fitrah campuhan, pertemuan dua budaya tersebut menjadi benih penciptaan seni baru, proses pemeliharaan terhadap kekuatan jati diri, dan peleburan berbagai keunggulan budaya.
Campuhan budaya yang terjadi di Ubud sesungguhnya menunjukkan elan budaya yang dinamis, hidup, dan adaptif menerima berbagai pengaruh tanpa kehilangan jati diri kemuasalan. Spirit inilah yang hendak dipetik dalam gelaran Ubud Campuhan Budaya (Neoclassic Culture Festival) dengan tajuk Tataka Wisuda Citta “Telaga Benih Reka Budaya”.
“Kami berpandangan bahwa Telaga tidak sebatas genangan air yang bening dan hening, tetapi sekaligus simpul dan simbol ruang imaji yang ditumbuhi berbagai teratai kreativitas,” ujar Cok Bayu.
Kreativitas, kata Cok Bayu, adalah intisari budaya yang akan langgeng menyapa berbagai arus perubahan zaman. Daya cipta inilah yang diharapkan dapat terus menyala dalam tungku persajian kreativitas para seniman dan generasi muda baik seni rupa, seni sastra, seni musik, dan seni tari. Sehingga di saat yang bersamaan Ubud dapat dipastikan selalu bersiap memberikan kontribusinya sendiri, baik bagi Bali, Indonesia, maupun dunia.
Pusparagam Pemikiran
Ketua Yayasan Janahita Mandala Ubud Tjokorda Gde Agung Ichiro Sukawati, Ba.Hons, MM., mengatakan. sepanjang usianya yang masih sangat muda, Yayasan Janahita Mandala Ubud telah menggelar beragam segmen acara berkala seperti di antaranya 25 kali pelaksanaan Rembug Sastra Sarasastra.
“Aktivitas ini dimaksudkan untuk menggali serta menghadirkan pemikiran kritis para akademisi, praktisi dan pelaku budaya berkenaan dengan isu-isu seputar adat, sastra, agama, dan kebudayaan Bali,” kata Cok Ichiro.
Menurut Cok Ichiro, pihaknya berkomitmen program acara sarasastra tidak semata hanya tampil melalui saluran digital, namun juga wajib mengalirkan sari-sari pemikiran para pengisi acara lewat Sebuah Buku Sarasastra (Pusparagam Pemikiran Kebudayaan Bali) yang telah memasuki yang ketiga.
Dalam upaya mendukung penyelamatan warisan budaya sastra, semenjak tahun 2021 bersama Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Gianyar, pihaknya juga turut turun di tengah-tengah masyarakat melaksanakan perawatan 74 naskah lontar yang tersebar di Desa Adat Ubud, 69 naskah lontar yang tersebar di Desa Adat Sayan serta 270 naskah lontar yang berada di Desa Adat Peliatan.
“Tentu kegiatan perawatan naskah lontar ini, kami rasa sejalan dengan semangat Pemerintah Provinsi Bali dalam pelestarian serta penguatan Bahasa, aksara dan sastra Bali di tengah-tengah masyarakat. Di luar perawatan pembersihan, kami juga melaksanakan digitalisasi, alih aksara, terjemahan serta alih wahana sastra beberapa karya rakawi Ubud di masa lalu,” kata Cok Ichiro.
Menurut Cok Ichiro, pihak yayasan merasa makin bergembira dan penuh optimisme karena sejak 31 Oktober 2021 di tengah antusiasme geliat para generasi muda pencinta gamelan di Ubud. diluncurkan satu segmen acara edukasi baru yang dinamai “Macandetan”.
Macandetan merupakan ajang bertukar pandang, menggali sisi terdalam gamelan Bali. Semua isi segmen acara Macandetan yang dihadiri oleh para seniman karawitan, akademisi serta pencinta gamelan Bali itu dirangkum dalam sebuah buku kecil berjudul Macandetan – Jalinan Pemikiran Gamelan Bali.
Atas nama keluarga besar Janahita Mandala, Cok Ichiro menghaturkan ucapan terima kasih kepada seluruh penulis dan editor yang turut berkontribusi dalam penguatan seni dan budaya melalui literasi.
“Tak lupa pula kami menaruh apresiasi dan tanda terima kasih kepada Penerbit Sarwa Tatwa Pustaka yang sejak awal bergandengan bersama kami dalam pencetakan Buku Sarasastra dan Macandetan sekaligus juga satu buah Buku Laksana Manut Sasana – Biografi Alm. Tjokorda Gde Raka Soekawati yang diluncurkan langsung oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia pada 15 Januari 2022 yang lalu,” kata Cok Ichiro.
Di luar kegiatan berkala rembug sastra sarasastra dan macandetan, Yayasan Janahita Mandala Ubud juga secara konsisten menggelar sesi diskusi berkala dengan tajuk Wadhu Wakya yang telah berlangsung sebanyak 10 kali, acara BISA atau Bincang Santai yang berlangsung sebanyak 17 kali dan acara Masolah sebanyak 4 kali.
Wadhu Wakya merupakan panggung Wanita Bicara yang dilaksanakan setiap sebulan sekali dengan menghadirkan wanita-wanita inspiratif penuh talenta. Sedangkan, BISA berupaya menghadirkan temu dialog dalam gerakan menumbuhkembangkan jiwa inovatif dan kewairausahaan. Yang terakhir segemen acara masolah dimaksudkan untuk menggali cakrawala pengetahuan tentang seni tari dan dinamika perkembangannya.
“Kami menyadari sejak awal, bahwa kebudayaan yang mengalir sangat bertumpu pada gerakan penguatan sumber daya manusia. Tidak saja para aktor dan pelaku seni budaya, namun juga keberadaan anak-anak usia dini generasi pelanjut masa depan. Maka semenjak didirikannya Janahita Mandala komit melakukan pembinaan bahasa, aksara, dan seni kepada anak-anak melalui Program Reka Jana,” ujar Cok Ichiro. [T][ole]