Hari Minggu, 16 Oktober 20922, Pulau Bali terasa baik-baik saja. Tentu banyak warga berlibur ke obyek wisata, atau istirahat di rumah bersama keluarga, setelah melewati hari-hari capek kerja.
Senin, 17 Oktober 2022, kerja dimulai lagi. Tapi Senin itu barangkali tak banyak yang bisa fokus bekerja. Laman-laman media sosial dipenuhi berita dan foto-foto bencana banjir. Hujan Minggu malam hingga dinihari telah menimbulkan duka mendalam bagi Bali.
Orang-orang di Bali menonton, merasakan dan berdoa— mungkin dengan rasa ngeri dan kesedihan yang mendalam—video pendek dan foto bencana di media sosial. Hingga siang, hingga sore, hingga Senin tiba pada malam, berita bencana terus meruyak media sosial, saling susul menyusul, dari Jembrana, Karangasem, Tabanan, Bangli balik lagi ke Kabupaten Badung.
Terakhir dilaporkan, sedikitnya empat orang meninggal, satu hilang, ratusan bangunan rusak terendam banjir dan banyak bangunan rumah, pura, sanggah, dan bangunan lain hanyut. Sejumlah jembatan putus. Gerak lalu-lalang orang-orang dan kendaraan lumpuh di sejumlah ruas jalan.
Jadi, persoalan banjir ternyata bukan Jakarta saja. Bali juga. Ini harus diingat, harus jadi persoalan juga di Bali, yang tak hanya dibicarakan, melainkan juga dicari solusinya.
Selama ini banjir Jakarta seakan menjadi trend tahunan yang semestinya cukup memberi pelajaran bagi Bali. Namun karena kita memang tak pernah serius mau belajar dari pengalaman sendiri, maupun dari pengalaman di luar sana, sehingga bencana itu terjadi lagi di Bali. Demikian berulang kali.
Kebanyakan di antara kita hanya suka bicara layaknya pengamat atau asik menonton dan menyalahkan satu sama lain. Tak pernah berpikir kongkret soal solusi. Padahal luapan lumpur itu selalu mengancam kita, bencana memang tak pandang tempat. Bisa terjadi di mana-mana bahkan memungkinkan lebih dasyat dari Jakarta.
Sayangnya kita masih suka menjadikan banjir Ibukota sebagai trending topic, ditambahi bumbu gorengan politik. Ini pertanda dominan di antara kita sungguh gemar melihat ke luar, kagum buta pada keadaan di luar sana. Kecil berpikir tentang kemungkinan ancaman di depan mata.
Introspeksi dan evaluasi berakhir pada cataatan kertas semata, tak jelas kelanjutannya.
Banjir adalah bencana, mahadahsyat mengancam jiwa kita, merusak tatanan dan peradaban. Pilu tentang banjir Jakarta boleh saja menjadi contoh sebagai dasar berpikir bagi kita yang berada di luar Jakarta.
Mengatasi ancaman bencana yang nyata ini harus dilakukan upaya mitigasi yang terencana dan sistematis. Tidak zamannya kalau kita hanya punya kemauan penanganan saat kejadian saja, padahal dalam kehidupan sehari-hari secara sadar kita telah membuat potensi banjir itu semakin berkembang bahkan ke depan—kalau tak disikapi serius—akan masif terjadi.
Bali, tentu bukan Jakarta. Namun, jangan terlena, Bali juga bukan daerah yang kebal banjir. Masyarakat Denpasar misalnya di kawasan Pura Demak, Malboro, Panjer dan lain-lain, harusnya sudah cukup membuat Walikota dan pejabat terkait lain untuk berpikir serius soal ini. Daerah tersebut termasuk rawan disapa banjir, dan terus berulang terjadi.
Penyadaran Masyarakat.
Jika mitigasi strategis tidak diupayakan dengan aturan yang ketat, niscaya kejadian demi kejadian akan terus terjadi. Mitigasi bisa dimulai dari penyadaran komunal kepada masyarakat secara luas—dilakukan serius dan terus menerus—untuk meminimalkan perilaku yang berpotensi rerjadinya banjir. Saya melihat keseriusan ini yang masih perlu ditingkatkan.
Perilaku masyarakat yang sembarang membuang sampah di got-got saluran air hujan, harus diatur dengan sanksi dan harus berani menerapkannya.
Demikian pula dengan penggunaan trotoar yang diniatkan hanya untuk para pejalan kaki. Ternyata banyak warung kecil atau warung besar ekspansi usahanya hingga ke trotoar. Hal ini kemudian ditiru oleh pengusaha yang lain seakan tak ada aturan yang melarang. Atau seakan memang dibiarkan itu terjadi.
Semakin lama justru semakin banyak lanskap semacam ini. Saya membayangkan kalau sudah banyak orang jualan dan dibiarkan menyadap trotoar sebagai tempat usaha, justru ini akan membuat Pemerintah semakin sulit menertibkannya. Penertiban segelintir orang tentu jauh lebih mudah dibandingkan menertibkan banyak orang. Lakukan dengan tegas yang benar-benar tegas.
Memang kalau bicara soal ketegasan terbilang masih mahal di negeri ini, kita terkesan sangat permisif dalam menyelesaikan persoalan. Tapi jangan menunggu sampai trotoar habis beralih fungsi. Karena kecenderungan ini akan membuat masalah sosial yang sangat kompleks.
Pemanfaatan dan alih fungsi lahan persawahan juga penting diberi perhatian.Kondisi yang terjadi khususnya di Kota Denpasar sudah berada di titik ironi. Pembangunan perumahan baru di atas lahan persawahan terus saja terjadi. Ketegasan bertindak dan keberanian menghentikan kantong-kantong perumahan baru yang tak berizin membutuhkan keberanian.
Tegas tak pandang bulu. Pengemang kecil-kecil semakin berani, tak peduli jalur hijau pun mereka rabas dan difungsikan menjadi perumahan baru, toh faktanya bisa berlanjut, melenggang dan aman-aman saja.
Mari kita berpikir ke depan, kecerobohan semacam ini akan membuat potensi banjir di perkotaan semakin besar. Kalau aturan mitigasinya ada, maka jangan berikan kesempatan kepada oknum masyarakat untuk bisa melanggarnya. Apapun dalihnya harus ditindak tegas dan tak ada kompromi, siapapun mereka!
Banjir pada Senin yang terjadi di banyak tempat di Bali, yang dampaknya sangat memprihatinkan sebetulnya tidak sekonyong-konyong, sebelumnya juga pernah terjadi. Hujan yang turun tengah malam hingga pagi membuat sungai-sungai penuh dengan air hujan dan material limbah kiriman dari hulu.
Bila sudah demikian air akan mencari ruang aliran baru dan menghantam apapun penghalang di depannya. Ini adalah kecemasan baru bagi masyarakat pinggiran sungai. Kecemasan kita bersama atas berulangnya kejadian demi kejadian.
Apa yang terjadi di hulu sungai sangat terang, karena tak ada lagi pohon-pohon penyangga dan daerah resapan air yang cukup. Lahan telah banyak dikonversi menjadi lahan olahan. Dan ini telah berlangsung lama, ntah Pemerintah sudah tau soal ini akan menjadi ancaman bagi masyarakat. Faktanya ya kita masih melihat buah karma yang terjadi Senin lalu itu.
Sungguh ironi dan prihatin bila kita hanya membahas banjir Jakarta, padahal sesungguhnya celana dalam kita di Bali sudah basah tenggelam gerusan air hujan dari bukit.
Karena itu harus diciptakan suasana yang benar-benar bisa meyakinkan kita untuk terhindar dari ancaman serupa. Paling tidak kita harus berkehendak untuk membuat karma baik bagi anak cucu kita ke depan.
Mari perbanyak memandang lingkungan kita biar menjadi sumber kedamaian. Kurangi membahas hal-hal yang berada di luar sana, biarkan banjir Jakarta digoreng para pakar politik.[T]