Saat menikmati segelas susu kental manis coklat di teras, ketika hujan dengan riangnya bergurau bersama tanah, aku teringat padamu. Kulitmu yang kecoklatan dan senyum manismu.
Uap panas dari gelasku menggeliat manja. Menyeruak wangi menggoda ingin segera diteguk. Tentangmu bagai susu kental manis hangat. Menggiurkan untuk selalu bermain dalam sketsa hitam putih pikiranku. Menghangatkan.
Bait-bait indah terlantun dari Banda Neira, duo favorit kita lewat earphone yang kupasang ketat di telingaku. Hujan membuat suara mereka semakin merdu. Kau menyukai sajak, aku pun begitu. Kita bisa berlama-lama saling terdiam menikmati sajak hati kita masing masing. Saling mengungkap rindu dalam diam.
Kuaman ada bersamamu..
Selamanya…
Sampai kita tua
Sampai jadi debu
“Sampai Jadi Debu” mengalun sayup. Kau sedang tak bersamaku. Aku hanya ditemani representasimu, segelas susu kental manis coklat yang hangat. Akankah kita menua bersama? Bersamamu aku seperti menemukan sosok yang hilang dalam hidupku. Sosok ayah.
Seseorang menarik earphone di telingaku. Ayah berdiri di sebelahku. Laki-laki 50 tahunan, berbadan tegap. Teman-temanku memujinya. Kata mereka ayahku mirip artis Tio Pakusadewo. Ayah menatapku dingin Ini bukan kali pertama, karena aku bukan anak gadis manis seperti kakakku yang selalu dia banggakan. Tatapan dingin hampir setiap hari kudapat.
“Mandi dan bantu kakakmu menyiapkan makan malam. Sebentar lagi keluarga Bapak Kusuma akan datang,” katanya datar.
Aku mengernyit.
“Siapa mereka? Apa keuntungan untukku jika mereka datang?” tanyaku sembari memasang kembali sumbat telinga yang mengalunkan lagu dari Efek Rumah Kaca.
Tidak ada jawaban yang kuterima. Ayah dengan tenang masuk ke dalam rumah meninggalkanku dan wajah tidak peduliku.
Tepat pukul 7 malam, keluarga Bapak Kusuma akan datang. Ini masih pukul 6 sore, Ajeng sudah siap dengan gaun terbaiknya dan berdandan lebih menor dari biasanya, menurutku. Ajeng berwajah sendu, lembut meneduhkan. Namun, kali ini wajahnya gusar dan menegang. Berkali-kali dia tampak menghela napas berat, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tak mampu. Dia memang seperti itu, anak gadis manis yang penurut selalu menjadi kebanggaan ayah.
“Aku ingin menjadi sepertimu, Sekar,” ucapnya tiba-tiba di sela helaan napas tertahan.
Aku menoleh padanya tak percaya. “Kau mengigau?”
Ajeng menggeleng, dia mendekatkan kepalanya ke bahuku. Menangis. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan kecuali membiarkannya menangis dan menyodorkan tisu padanya.
“Kenapa kau tidak menolak saja?” tanyaku akhirnya. Ajeng menggeleng lemah.
“Kau tahu bagaimana ayah. Aku tidak pernah bisa membantah apa perintah ayah. Kau tahu itu,” ucapnya lirih
Ajeng akan dijodohkan dengan anak laki-laki Pak Kusuma. Perjodohan demi kelangsungan silaturahmi keluarga, dalih ayah. Begitulah ayah, menganggap kami tak bernyawa, hanya boneka. Ajeng tidak pernah membantah. Aku mengira, Ajeng melakukan dengan sukacita semua yang ayah inginkan. Sebagian besar mungkin iya, namun tidak kali ini.
Ajeng merasa sesak, ingin meledak namun tak sanggup. Ajeng ingin sepertiku. Dia ingin bebas seperti adiknya. Menjadi penurut melelahkan, apalagi untuk urusan cinta. Ajeng telah jatuh hati pada laki-laki lain. Seseorang yang dikenalnya di sebuah yayasan penyandang disabilitas. Mereka sesama relawan, saling bertukar cerita dan jatuh cinta. Ayah sudah mengetahui hal itu, namun ia tidak menyetujui hubungan Ajeng.
Ayah selalu lebih peduli pada Ajeng. Sedangkan aku? Bagi ayah, aku seperti tidak ada. Segala urusan tentangku dilimpahkan kepada Ajeng. Kakakku mengurusku seperti seorang ibu. Sosok ibu memang kudapatkan darinya. Ibu kami meninggal saat melahirkanku. Kata orang, ibu bersikeras mempertahankanku di saat seharusnya aku tidak dilahirkan. Kondisi kesehatannya kala itu tidak memungkinkan untuk melahirkan lagi. Benar saja, beliau meninggal dan aku lahir. Kelahiran yang tidak diharapkan oleh ayah.
Ayah selalu tertawa dan tersenyum saat bersama Ajeng. Cahaya berpendar di matanya. Aku tidak pernah melihat hal itu jika dia sedang bersamaku. Tawa tak lepas dari bibirnya. Ayah hanya milik kakak yang penurut. Tidak ada ayah bagiku seberapa pun aku berusaha membuatnya senang. Apalagi aku penyebab ibu kehabisan darah saat memaksaku melihat dunia
Saat aku kecil, aku mengira dengan belajar giat dan meraih peringkat pertama di kelas akan membuatnya bangga. Ternyata tidak. Semua tentangku tidak membawa pengaruh apapun pada ayah. Aku berhenti menarik simpati ayah dengan menjadi juara kelas dan berprestasi di sekolah. Kuputuskan melakukan apapun yang aku inginkan.
Aku bolos sekolah, pulang larut malam demi mendapatkan sedikit saja rasa peduli darinya. Sampai-sampai aku juga abai akan perasaan Ajeng. Hingga saat ini, ketika dia melepaskan tangisnya di pundakku. Aku baru menyadari. Ajeng juga seorang manusia. Bukan boneka ayah. Ia selalu mengubur keinginannya sendiri demi kebahagiaan dan tawa ayah. Termasuk perihal perjodohan yang tidak ia inginkan.
Sepanjang pertemuan dengan keluarga Kusuma, Ajeng hanya terdiam. Tidak banyak yang dia ucapkan, hanya senyum-senyum kecil sekenanya yang dia tunjukkan untuk sekadar menjaga kesopanan dan nama baik ayah. Tampaknya ayah maupun keluarga Kusuma tidak menyadari sikap diam Ajeng. Mereka tertawa dan memutuskan tanggal pernikahan. Ajeng menerima tanpa membantah.
Ajeng kembali ke kamar dan mengunci diri. Aku membiarkan dia sendiri menenangkan perang batin yang sedang berlangsung sengit dalam hati dan kepalanya. Sedangkan suasana hati ayah tampak begitu riang. Dia bersenandung dan memutar musik kesukaannya di dalam kamar. Aku memilih membenamkan tubuhku di bawah selimut. Sambil mengingatmu. Lelaki susu kental manis hangatku.
Aku terbangun dengan perasaan tak menentu. Aku bermimpi buruk. Aku bermimpi tentang Ajeng yang tertunduk sedih di atas sebuah batu besar. Wajahnya pucat dan lusuh. Aku bergegas meninggalkan kamarku dan berlari ke dapur. Biasanya Ajeng akan sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk kami. Tapi Ajeng tak di sana. Dapur masih kosong. Aku berjalan menuju kamar Ajeng, ayah sudah ada di depan kamar sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban.
Raut wajah ayah terlihat panik. Dia mengetuk dengan keras dan memanggil nama Ajeng. Tidak juga ada jawaban. Kesabarannya hilang, dengan keras ia mendobrak pintu kamar Ajeng. Pintu terbuka, mata ayah membelalak mulutnya terbuka namun tak ada kata yang keluar. Apa yag dia lihat membuat sarafnya berhenti bekerja.
Aku menerobos masuk. Di pinggir ranjang Ajeng terduduk menunduk. Menggenggam sepucuk surat yang sebagian telah berwarna merah di tangan kanannya. Aku menghampiri tubuhnya. Tubuh kakakku yang hanya tinggal tubuh tanpa jiwa. Darah tergenang dari pergelangan tangan kirinya.
Aku bukan lagi gadis ayah yang penurut. Aku ingin duniaku sendiri. Aku ingin memilih sesuai kehendakku. aku bahkan iri pada burung-burung yang terbang dengan bebasnya. Aku iri pada Sekar yang memilih untuk membebaskan dirinya. Aku sudah memilih, memilih cinta untukku sendiri. Memilih lelaki milik wanita lain dan anaknya. Pilihanku salah, pada kali pertama aku mencoba membuat pilihan sendiri. Pilihan yang aku tahu tidak akan ayah setujui. Sekarang bolehkah aku membuat pilihanku lagi? Wal….
Surat terakhir Ajeng juga yang belum terselesaikan. Goresan terakhir begitu panjang. Dia belum sempat menyudahi kata-katanya saat ajal menarik paksa. Sesuai keinginannya, dia akhirnya menentukan jalannya sendiri. Kenangan–kenangan bersama Ajeng berputar di kepalaku. Caranya menyelipkan sisa rambut ikalnya di belakang telinga, mengerjapkan bulu matanya yang lentik, tertawanya yang tak terdengar bahkan caranya mendiamkanku jika sedang marah.
Jingga menyelimuti langit sore, gundukan tanah d ihadapanku masih basah. Ajeng tertidur dengan bangga di dalam sana. Bangga pada akhirnya dia menentukan nasibnya sendiri. Dia tidak akan pernah menua. Sepertimu juga lelaki susu kental manis coklat hangat, takkan pernah menua. Akupun tak kan pernah bisa menua bersamamu. Kau terkapar bersama jarum suntik dan cairan pembawa maut itu. Terbang bersama mereka tanpa sayap. Aku akan menua bersama romantisme sesaat kita. Aku memilih menua bersama ayahku. Ayah yang masih tidak peduli padaku. Ayah yang hanya bisa mengerjapkan mata, tidak bicara dan hanya membunyikan lonceng kecil yang aku letakkan di sisi ranjangnya.
Kita kan pulang dengan waktu yang terbuang
Dan kenangan yang berjalan bersama
– Barasuara; Api dan Lentera
[][][]