Energi muda adalah energi untuk berkreatifitas demi mencapai kemerdekaan diri, itulah falsafah di balik dipilihnya kata MUKTI sebagai ajang bergengsi ruang kreatif dan berkesenian di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng, Bali.
MUKTI diselenggarakan oleh pemuda yang tergabung dalam organisasi kepemudaan Karang Taruna Satya Wahana Bakti dan Yowana Widya Gurnita.
Dua organisasi pemuda ini ada sejak tahun 2013. Organisasi ini telah mampu menorehkan goresan tinta partisipasi insan muda dalam memberikan kontribusi pada kahidupan masyarakat di Desa Bungkulan. Dua organisasi ini mampu manjadi ruang untuk menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk kreatifitas di bidang kemasyarakatan baik itu mencakup pendidikan, seni hingga budaya.
Malam itu, Jumat 14 Oktober 2022, suasana nampak berbeda dari sebelumnya, sorot lampu terlihat sangat jelas dari kejauhan memecah gelapnya malam di antara hamparan sawah dan pesisir Pantai Segara Desa Bungkulan.
Di pantai itu para pemuda sedang menyelenggarakan perhelatan pertunjukan kreatifitas dan seni yang bernama MUKTI atau Momentum Unjuk Kreatifitas dan Seni dengan tema The Miracle of Bungkulan sebagai pengejewantahan dari kekaguman pemuda dengan segala kekayaan yang dimiliki oleh desanya.
Ikon MUKTI juga sangat menarik, dimana kali ini para panitia mengangkat penyu sebagai maskot acaranya, dengan makna sebagai simbol representasi kesetiaan, kerja keras, dan sarat akan pesan ekologi, dimana secara fakta banyak ditemukan penyu yang bertelor di sepanjang Pantai Bungkulan.
Saya melihat antusias masyarakat yang begitu tinggi, mereka berduyun-duyun datang menuju Kawasan Pantai Segara untuk menyaksikan berbagai macam pementasan yang dipersembahkan oleh para pemuda. Kilau pementasan dan riuh penonton yang hadir seolah menandakan kerinduan masyarakat akan hiburan rakyat yang seolah nampak tertidur lelap semenjak pandemi covid-19 melanda dunia.
Tari Palawakya suguhan seniman Bungkulan dalam acara MUKTI di Pantai Desa Bungkulan
Konsep yang dibawakan dalam MUKTI kali ini memang sedikit berbeda dan jauh berkembang dari sebelumnya. Ini bisa terlihat dari settingan panggung yang sangat megah, ornament serta desain yang sangat apik, dengan dukungan sound system yang lengkap.
Talenta yang ditampilkan cukup beragam mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa yang sengaja ditampilkan sebagai pewakilan dari banjar-banjar yang ada di Desa Bungkulan. Sarana dan prasarana yang mutkahir hanya sebagai alat untuk menampilkan karya agar lebih baik, namun semua konten yang dibawakan masih tetap menjaga spirit kearifan lokal yang ada di masyarakat, seperti penampilang genjek, joged, tarian tradisional hingga pertunjukan gong kebyar dan lelonggoran.
Sembari duduk di atas pasir hitam, dengan suara debur ombak dan desiran angin malam yang berhembus dengan sangat tenang, saya bersama keluarga berkesempatan untuk ikut menyaksikan pertunjukan beberapa anak-anak dari Banjar Sema yang menampilkan genjek yang memecah gelak tawa masyarakat dengan segala kepongahan khas anak-anak.
Hal semacam ini tentu memberikan semacam ruang bagi anak-anak untuk berani tampil di depan umum, mereka memiliki derajat yang sama dengan seniman ternama lainnya dengan mendepatkan tempat di panggung utama pagelaran.
Disamping itu, saya dapat merasakan secara langsung dari sorot mata haru dari para orang tua dan kerabat mereka dengan keberanian dan bakat yang dimiliki dari anak-anak ini, dan tentu hal ini akan memberikan kebanggaan tersendiri dari mereka, untuk kedepannya bisa melihat anak-anak muda ini sebagai mutiara-mutiara terpendam yang kelak akan memancarkan sinarnya demi kebanggaan keluarga dan juga desa tempat mereka dilahirkan.
Para penabuh muda dria Desa Bungkulan beraksi dalam MUKTI di Pantai Desa Bungkulan
Selain pertunjukan genjek, malam itu juga ada beberapa pertunjukan lain seperti Gong Kebyar Tabuh Gesuri, Tabuh Lelonggoran, Beleganjur, Tari Panyembrahma, Palawakya, Jauk Manis, Barong Bangkung, Truna Jaya, jogged bumbung hingga simluasi pertunjukan Tarian Sanghyang sebagai sebuah tarian sakral yang biasanya dipertunjukan pada saat hari tertentu.
Sementara ada juga pertunjukan Paduan Suara Githa Semarandana yang beberapa tahun lalu sempat tampil bergensi dari menyabet penghargaan sebagai salah satu paduan suara terbaik dari Kecamatan Sawan yang tampil di Tingkat Kabupaten.
Ada juga penampilan dari Rah Wicak sebagai talenta muda yang kiprahnya sudah sangat dikenal dalam bidang olah suara serta band penutup yang menampilkan kawan-kawan musisi seperti Iginite dan Templar 0362 yang memecahkan suasana malam saat itu dengan penampilan mempesona dan mampu menarik emosi penonton untuk hanyut dalam dendangan music-musik yang mereka suguhkan.
Kegiatan pertunjukan itu juga diselingi oleh pemutaran video profile Desa Bungkulan, dalam video berdurasi pendek ini, Kadek Iwan Setiadi atau dikenal dengan Iwan Gong mencoba merumuskan potensi desa yang dikenal dengan potensi Nyegara Gunung yang mencakup wilayah tegalan, perkebunan, persawahan hingga pesisir pantai utara Bali yang membentang sepanjang dua kilometer.
Ragam corak kehidupan masyarakat, mulai dari mereka yang berkesenian, mencari penghidupan di sawah dan lautan terekam dengan settingan bercerita yang menampilkan kisah persahabatan tiga perempuan desa yang mencoba menemukenali kembali kekayaan yang ada di Desa Bungkulan.
Dengan kualitas editing yang berkelas, saya dibuat terkesan dan terkesima dengan apa yang didibuat, dan kualitas pengerjaan video profile ini semacam membangkitkan kembali perasaan bangga saya sebagai orang desa.
Seni barong dalam acara MUKTI di Pantai Desa Bungkulan
Disamping pertunjukan di panggung, ada juga stand bazzar yang dikelola oleh Karang Taruna dan Sekaa Truna serta beberapa usaha kuliner milik masyarakat yang menjual aneka makanan tradisonal seperti blayag kuah serosob, nasi bayem, plecing, sate kakul hingga sate babi. Semua mengangkat potensi kuliner lokal, hasil pendokumentasian desa yang dikoordinir oleh Gusti Bagus Wira Pandu Winata, seorang anak muda yang juga dipercaya menjadi Sekdes Bungkulan.
Kelancaran acara ini tidak terlepas dari usaha partisipasi masyarakat, pihak keamanan, serta dukungan Pemerintah Desa Bungkulan melalui Bapak Ketut Kusuma Ardana dan segenap staf PEMDES, dan juga kerja kolektif yang saya amati.
Menurut cerita dari Ketua Karang Taruna I Gede Ari Suandi Yasa, pagelaran ini sudah dipersiapkan selama sebulan penuh, dan semua dipersiapkan dari siang hingga malam dengan baik dibawah kepanitiaan yang dikoordinasi oleh Nyoman Satya Raharja yang juga dipercaya sebagai Kelian Truna Yowana Widya Gurnita.
Kuliner lokal pada ajang MUKTI di Pantai Desa Bungkulan
Tentu sebagai masyarakat, saya bisa merasakan nuansa kegembiraan yang terpancar dari para pentonton, sebab sudah sangat lama kita semua mesti berdiam diri di rumah, dengan sedikit pergerakan dan ruang untuk berkumpul secara kolektif dengan bebas hingga sekarang muncul secercah harapan dari anak muda dimana mereka mampu menampilkan kualitas pertunjukan yang sangat baik dan berhasil terselenggara dengan lancar.
Pada Sabtu malam, 15 Oktober, pagelaran MUKTI, dilanjutkan dengan berbagai a pertunjukan dari perwakilan banjar serta acara akan ditutup oleh pertunjukan band mulai dari No Cash hingga Joni Agung.
Kita berharap bersama, energi kreatifitas ini tetap membara, seperti lilin-lilin kecil yang terhimpun dan mampu membuat Desa Bungkulan berkilauan dari kejauhan. [T]