Tahun 2022 ini, Festival Seni Bali Jani (FSBJ) memasuki penyelenggaraan untuk yang keempat kalinya. Dilandasi spirit pemajuan seni modern, kontemporer dan karya seni bersifat inovatif, perhelatan seni yang digeliatkan sejak tahun 2019 dengan pengayoman oleh Pemda Bali tersebut mengusung konsep yang menggelorakan seni kekinian. Seperti halnya FSBJ IV ini, diharapkan akan hadir membiakkan karya seni yang mengibarkan konsep eksplorasi, eksperimentasi, lintas batas, kontekstual, dan kolaborasi.
Sebuah bingkai tema Jaladhara Sasmita Danu Kerthi: Air Sumber Peradaban disodorkan pihak panitia sebagai pemantik inspirasi dan bingkai berekspresi dalam beragam rona kegairahan seni. Puspa warna ungkapan seni telah dirancang untuk dinikmati dan diapresiasi masyarakat penonton dalam festival yang digelar di Taman Budaya Bali pada tanggal 9 sampai dengan 23 Oktober ini.
Berkarya seni secara eksploratif banyak diacu oleh para pegiat seni di arena FSBJ. Kecenderungan penggarapan seni dalam wahana ideologi ini merupakan orientasi yang umum dianut oleh para kreator di Bali, termasuk ketika mendapatkan ruang penciptaan seni di FSBJ. Telah dipahami bahwa eksplorasi merupakan pencapaian seni inovatif berbasis kreativitas pribadi, sementara ide dan subjek eksplorasi tetap mengacu atau basis tradisi atau nilai lokal.
Jika menoleh ke belakang, kiprah sejumlah seniman Bali sangat kental dengan basis pengolahan estetika lokal yang ditawarkan sebagai seni kontemporer. Tengoklah misalnya karya tari Setan Bercanda, 1978, besutan I Wayan Dibia, dimana elemen koreografi, tata busana, dan nuansa magisnya terinspirasi oleh wabah penyakit di Bali. Demikian pula dengan garapan musik Gema Eka Dasa Rudra, 1979, karya I Nyoman Astita, Terompong Beruk, 1982, oleh I Wayan Rai, Kosong, 1984, buah cipta I Ketut Gde Asnawa dan lain-lainnya, semuanya berangkat dari basis karawitan Bali.
Seni pedalangan Bali sebagai subjek eksplorasi, juga tidak sedikit yang dijadikan sumber penggarapan seni masa kini. Pada tahun 1988, dimulai oleh karya I Ketut Kodi dan Dewa Wicaksana dengan karya bertajuk Anugrah, I Made Sidia, 1990, Sumbah, I Gusti Sudarta, 1991, mengetengahkan Kama Salah dan lain-lainnya, tampil dengan media wayang (kulit) Bali yang secara artistik dipresentasikan dalam wajah multi media memberdayakan video, audio, dan tata lampu modern. Garapan wayang kontemporer multi media itu, belakangan, hampir setiap tahun menguak dari momentum ujian-ujian akhir S1 dan S2 garapan seniman muda kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Karya seni kontemporer dalam ekspresi tari, karawitan, dan pedalangan tersebut, sangat disayangkan, rata-rata, hanya bergairah semalam saja. Pada umumnya, hampir semuanya hanya mengalami pentas pendana. Semuanya meletup temporer. Tak ada pengembangan kembali. Wadah untuk mengakomodasikan kalahirannya tak ada atau belum memberikan kesempatan untuk ujuk diri.
Kini, ketika menyembul pewadahan seni masa kini, syukur karya tari dan karawitan kontemporer yang berbasis nilai-nilai lokal telah menyelinap dan dipersilahkan tampil di FSBJ. Tetapi, seni pedalangan kontemporer, baik yang telah tercipta di masa lalu maupun yang khusus digarap dan digelar untuk FSBJ, kurang tampak, bahkan nyaris senyap. Sejak awal digelindingkan pesta seni masa kini ini, pihak panitia atau mungkin juga kreator wayang kontemporer yang bertumbuh di perguruan tinggi seni dan sekolah menegah kujuruan seni belum terpanggil bereksplorasi dan berolah cipta menggunakan media wayang di tengah FSBJ.
Sebagai seni tradisi klasik, ada sebagian pandangan bahwasannya wayang sudah mentok. Padahal wayang tak pernah henti bertransformasi dalam pemahaman tradisi yang dinamis. Di tengah masyarakat Jawa misalnya yang penghayatannya terhadap jagat wayang begitu dalam, wayang sebagai media seni pedalangan terus menunjukkan pertanda dan penanda zamannya dengan beragam variasi wayang kekinian. Dinamika wayang sudah dipelopori oleh Walinganga, khususnya Sunan Kalijaga, ketika memanfaatkan wayang sebagai sarana dakwah agama Islam, dimana wayang kulit yang sebelumnya berikonografi realitis manusia, dityalisasi menjadi wayang beranatomi dekoratif.
Pada zaman modern, setelah kemerdekaan RI, wayang tak hanya bertutur menggunakan lakon-lakon yang bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabharata saja namun dikembangkan dengan lakon masa kini, seperti tampak dalam Wayang Suluh dan Wayang Pancasila yang menampilkan para pahlawan nasional dalam pertunjukannya.
Perkembangan bahan baku wayang bukan hanya dibuat dari kulit sapi dan kerbau atau juga dari kayu (Wayang Golek dan Wayang Klitik), namun ada yang terbuat dari rumput seperti tampak pada Wayang Suket. Dalang yang terkenal membawakan Wayang Suket adalah Slamet Gundono, yang dalam penampilannya tak hanya menggunakan wayang yang terbuat dari rumput namun juga menokohkan figur-figur wayang dengan beragam media “kontemporer” yaitu buah-buahan seperti terong, mentimun, kacang panjang, sawi, pisang, rambutan hingga apel.
Menyimak program acara pagelaran yang disuguhkan dalam FSBJ 2022, tak tampak tertera adanya garapan eksploratif masa kini dengan menggunakan media wayang. Padahal secara empirik, di Bali, penjelajahan estetik dan artistik dalam presentasi kontemporer telah berlangsung sejak dua dasa warsa lalu, hingga kini. Walau demikian, terselip juga mata acara yang mengangkat mitos Dalang tersohor, dalam ungkapan drama modern persembahan sanggar seni Gita Mahardika, Sukawati, Gianyar.
Kurangnya kesempatan untuk ruang ekspresi wayang kontemporer selama ini di FSBJ, kiranya dalam kesempatan mendatang perlu menyediakan aksentuasi pada karya seni masa kini yang berpijak pada nilai-nilai lokal wayang, menjangkau skala nasional. Melalui tematik wayang kontemporer, masyarakat penonton akan memperoleh wawasan seni masa kini dengan konsep eksplorasi seni yang berorientasi dari nilai seni tradisi lokal, apakah itu wayang masa kini dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan tentu wayang kontemporer dari Bali.
Sebagai sebuah teater total yang berunsur tari, musik instrumental, drama, seni suara, seni rupa, sastra, seni tutur sarat falsafah yang oleh para peneliti asing diapresiasi sebagai seni pertunjukan yang terindah di dunia dan kemudian pada tahun 2003 telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Agung Dunia, wayang terbukti memiliki potensi dan keluwesan beradaptasi dengan berbagai kemungkinan penggarapan seni kontemporer.
Seni pedalangan dengan media utama wayangnya, begitu terbuka untuk dieksplorasi, amat menjanjikan dieksperimentasi, sungguh lapang dan ramah berinteraksi dengan aneka media, teramat lentur beririsan untuk dimuati kontekstualisasi, dan memiliki pancaran universal dalam toleransi berkesenian kolaboratif. “Gugatan” dari jagat wayang ini, kiranya, akan berkontribusi konstruktif demi berbinarnya karisma dan prestise FSBJ. [T]
[][][]