Sastra dan kota tak bisa dilepaskan. Kota melahirkan sastra, sebaliknya sastra juga melahirkan kota. Melalui kota lahir sastrawan-satrawan terbaik. Di kota habitat sastra terbentuk sejalan dengan karakteristik kota sebagai pertemuan beragam karakter dan ide.
Kota juga menjadi sumber inspirasi hingga hadir sebagai latar maupun tema karya sastra. Melalui sastra, jejak perkembangan dan suasana kebatinan warga kota juga bisa ditelusuri dan diresapi.
Singaraja, kota bersejarah di Bali Utara, mencatatkan jejak keterkaitan erat antara kota dan sastra. Singaraja memberi sumbangan penting bagi dunia sastra, baik sastra tradisional Bali maupun sastra Indonesia.
Dari kota ini lahir sejumlah pengarang penting dalam sastra Indonesia: AA Pandji Tisna, Made Pasek, Ida Ketut Jlantik, Putu Oka Sukanta, Gede Dharna, Gde Winnyana, Ketut Syahruwardi Abbas, Ketut Suwidja, Soegianto Sastrodiwiryo hingga Kadek Sonia Piscayanti.
Habitat sastra Singaraja juga menjadi memberi sentuhan pergaulan kreatif bagi para sastrawan Indonesia: Putu Wijaya, Sunaryono Basuki Ks, Gde Artawan, Made Adnyana Ole hingga Putu Supartika dan Juli Sastrawan.
Dalam sastra Indonesia, Singaraja tak pelak menjadi pembuka jalan bagi pengenalan bentuk sastra modern berbahasa Indonesia melalui karya-karya Panjdi Tisna. Selain itu, Singaraja juga yang membuka jalan bagi sastrawan Bali di kancah nasional.
Begitu juga dalam sastra Bali modern, Singaraja melalui sastrawan Made Pasek merupakan pelopor yang menjadi tiang pancang lahir dan tumbuhnya sastra Bali modern. Singaraja di jagat sastra tak pelak mengikuti jalan sejarahnya sebagai pelopor dan pembaharu sebagaimana peran Singaraja dalam dunia seni lainnya.
Singaraja juga menginspirasi sastrawan hingga lahir karya-karya sastra berlatar dan bertema Singaraja. Karena itu, jejak perkembangan dan suasana kebatinan warga Kota Singaraja bisa ditelusuri dan diresapi melalui karya sastra. Inilah monumen kata-kata yang senantiasa abadi.
Monumen batu, bangunan kota tua mungkin saja hancur dimakan waktu, tapi monumen kata-kata dalam karya sastra senantiasa ada hingga bisa dikunjungi kembali kapan saja dan di mana saja.
Singaraja tak hanya ditulis oleh sastrawan yang lahir di kota yang pernah menjadi ibu kota Bali dan Nusa Tenggara itu, namun juga ditulis oleh sastrawan Bali dari luar Singaraja, bahkan sastrawan dari luar Bali.
Sastrawan Indonesia dari luar Bali yang menulis Singaraja dalam karya mereka di antaranya Linus Suryadi AG (sajak “Buleleng”, “Air Sanih”, “Lovina”) serta Bre Redana (cerpen “Lovina Junction”), Nur St Iskandar (novel Djangir Bali) serta Erwin Arnada (novel Rumah di Seribu Ombak).
Dalam berbagai karya sastra Indonesia itu, Singaraja direpresentasikan dengan tiga citra utama, yakni dari dimensi historis mitologis, sosiologis, dan turistik. Secara historis mitologis, Singaraja kerap ditulis dalam jejak kejayaan masa silam sebagai kota pelabuhan penting pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 serta mitologi Singa Ambara Raja.
Pada dimensi sosiologis, Singaraja dicitrakan sebagai kota dengan karakteristik multietnis, multiagama, dan multikultural yang kuat. Novel-novel Pandji Tisna dan Sunaryono Basuki Ks konsisten menggambarkan wajah multikultural Singaraja.
Selain itu, Singaraja juga direpresentasikan secara turistik sebagai destinasi wisata penting di bagian utara Bali dengan Pantai Lovina sebagai ikon.
Namun, sepanjang pembacaan saya terhadap karya sastra Indonesia berkatar atau bertema Singaraja yang mungkin masih terbatas, representasi Singaraja dalam sastra Indonesia masih memperlihatkan kecenderungan sebatas sebagai latar cerita.
Belum terlihat gambaran problematika kota Singaraja yang khas dan ikonik sehingga dengan membaca karya sastra tentang Singaraja pembaca bisa mendapatkan pengalaman estetik bercita rasa Singaraja.
Karena itu, Singaraja dalam sastra Indonesia masih menyisakan ruang kosong yang memberikan tantangan kreatif bagi para sastrawan. [T]
- Tulisan ini adalah intisari dari pemaparan I Made Sujaya dalamPanel Diskusi Kolaboratif “Membaca Kota, Mengeja Kita” yang diselenggarakan Lingkar Studi Sastra Denpasar (LSD) bersama Persma STAHN Mpu Kuturan Singaraja di Aula Kampus STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Minggu 2 Oktober 2022.
_____
BACA artikel sastra lain dari penulis Made Sujaya