Bila direnungi semakin dalam, setiap masalah yang sering disebut “cobaan”, sesungguhnya adalah proses alami nan Ilahi yang tidak bisa dihindari oleh setiap orang. Kesalahan persepsi tentang kata “cobaan”, membuat pikiran dan emosi tersudut secara psikologis, mengakibatkan keraguan hidup yang pada akhir berujung pada kegelisahan akibatnya juga bisa strees.
Oleh karena itu “cobaan” mesti disadari sebagai proses yang diakibatkan karma masa lalu dan gerak keinginan karma saat ini. Pergulatan kedua sifat karma ini mengakibatkan terjadinya “proses” untuk mencapai tujuan. Besar kecil, tinggi rendahnya cita-cita memerlukan perjuangan dan pengorbanannya masing-masing. Itulah struktur kebenaran alamiahnya.
Setiap proses memerlukan “cara” yang berpengetahuan material dan spiritual, sehingga langkah-langkah proses terkendali dalam ruang “penyadaran” yang “normatif” untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya.
Ketidaksadaran dan ketidakcerdasan logika dan spirit, mengakibatkan terjadinya kepincangan emosional yang berdampak sosial terus berlanjut.
Realitas inilah menggema berorientasi tunggal yaitu materi-materi dan materi yang mencipta situasi saling cokrah lalu berdalih dengan kata: “cobaan”. Oleh karena itulah sadar kembali pada tujuan dan perjuangan hidup, yang memerlukan “pengorbanan” bukan saja material dan energi tetapi juga emosi, yang bergerak diantara kesantunan dan kejahatan.
Pergulatan inilah yang menentukan nilai yang mengakibatkan seseorang menembus cobaan mencapai keberhasilan. Saat itulah keluhan tentang cobaan berubah nikmat menjadi rasa syukur. Itulah edukasi mental dan moral yang berbeda-beda wujudnya bagi setiap orang.
Berbicara “kesantunan” walaupun amat sulit terkondisi di jaman ini, tetapi itulah pondasi keberhasilan. Ketidaksadaran terhadap nilai kenujuran dan kesantunan etika, justru mengakibatkan seringkali menjungkalkan teman dengan cara tidak santun. Oleh karena itu membangkitkan rasa persaudaraan dan toleransi adalah memuliakan jiwa kita masing-masing.
Realitas kondusif inilah menjembatani cita-cita dan tujuan serta energi kasih terhubung, hingga energi material maupun energi suci mengalir dengan sendirinya dan pasti terus mengalir, karena wadah dengan sistem kerjanya telah teratur dengan baik. Itulah hukum semesta.
Memaknai realitas dan kebenaran sistem alamiah inilah edukasi hidup sesungguhnya. Tetapi persoalannya kini, berpikir instan dan cepat adalah paradigmanya. Realitasnya banyak terjebak tipu daya melalui jaringan teknologi canggih. Promosi dimulai dari “kejujuran sementara dan manus-manis di awal”, lalu setelah besar, akibat terjebak angan-angan, saat itulah Pedanda Baka Cangak Meketu, seperti digambarkan dalam cerita Tantri, menghilang tanpa jejak. Lalu mangsa yang tertipu terpelongo usap-usap jari. Akhirnya usul sana usul sini, akhir menguras isi kantong kembali.
Saat itulah pengetahuan untuk menahan diri mewaspadai segala bentuk penipuan dalam iming-iming kaya dengan cepat, demikian pula iming-iming sorga di dunia lain, lalu siap hancur dan menghancurkan dirinya sendiri.
Iming-iming yang mencoba menggangu stabilitas berpikir cerdas intelek, emosional dan spiritual mesti menjadi kekuatan nalar mengantisipasi dogma-dogma material dan spiritual, agar kembali pada struktur hukum kerja yang berpengetahuan suci, hingga saatnya kelimpahan materi mampu memperlacar mewujudkan kesejahteraan jasmani dan rohani. Ketika sudah demikian “cobaan sudah menjadi satu kesatuan dengan tujuan”
Semoga menjadi renungan dan refleksi.