Semula adalah cerita bersambung di Majalah Djatajoe (1936-1939), lalu diterbitkan menjadi buku oleh Yayasan Saba Sastra Bali (1978), roman Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana nama pena dari I Wayan Bhadra, tahun 2021 Balai Bahasa Provinsi Bali menerjemahkan dan menerbitkan novel ini dalam bahasa Indonesia dengan judul Jalan-jalan ke Sasak.
Pengalaman penulis sebagai pembaca tinjau draft atau naskah terjemahan novel ini sebelum terbit, dan membaca naskah sumbernya, maka dipandang perlu menyampaikan beberapa catatan melalui esai ini. Catatan ini lebih strategis diarahkan kepada ruang makro sastra, yang melingkupi kehidupan sastra di Indonesia.
Di samping itu, penerjemahan sastra Bali Modern ke dalam bahasa Indonesia yang diprakarsai oleh Balai Bahasa Provinsi Bali yang dilakukan secara besar-besaran, menjadi “tonggak baru” (izin meminjam istilah Prof. Nyoman Darma Putra) dalam sejarah sastra Bali Modern. Tonggak yang sudah ada tentu saja pemberian Hadiah Sastra Rancage, munculnya penerbitan sastra Bali yang dikelola oleh perorangan (Pustaka Ekspresi) yang juga bergerak dalam bidang penganugerahan hadiah sastra; dan munculnya media sastra Bali digital (Suara saking Bali), di samping tetap bertahannya majalah-majalah sastra era Orde Baru (Buratwangi).
Pada esai ini, tidak semua masalah tersebut akan dibahas. Esai ini fokus pada beberapa catatan terhadap roman Mlantjaran ka Sasak yang telah terbit dalam bahasa Indonesia Jalan-jalan ke Sasak yang diharapkan akan membuka wawasan baru untuk memahami sejarah sastra NKRI. Catatan ini diperkaya oleh kajian-kajian terhadap novel ini, seperti yang dilakukan oleh I Nyoman Tingkat dkk. (e-Journal of Linguistics Vol. 9. NA. 2).
Roman ini termasuk roman yang panjang (tebal) yang ternyata ketika sastra Bali Modern semarak, tidak banyak muncul roman atau novel yang panjang, pada umumnya puisi, cerpen dan dikumpulkan menjadi antologi. Puisi, cerpen, dan novel yang sedikit lebih panjang daripada novelette memenuhi dunia sastra Bali Modern. Rupanya tradisi menulis roman tebal dalam bahasa Bali, tidak diikuti oleh para sastrawan kemudian, setelah Gde Srawana; kecuali pada Djantik Santa atau Wjat S. Ardi.
Karena Mlantjaran ka Sasak termasuk karya sastra yang panjang, maka novel ini terasa memiliki alur yang sangat longgar dan struktur naratif cenderung berurutan atau kronologis. Berbagai peristiwa yang tidak secara langsung berkaitan dengan kernel cerita, ditemukan di dalam roman ini dan menjadikannya karya sastra yang realis.
Dari perspektif realis itu, sebagaimana adanya pada Mlantjaran ka Sasak, merupakan satu indikator untuk menentukan demarkasi antara sastra Bali Purwa dan Bali Anyar; suatu peralihan bukan pada aspek bahasa dan genre teks tetapi pada transformasi dari dunia mitologi (dalam pengertian yang luas) ke wilayang realis atau kehidupan sehari-hari. Transformasi ini merupakan ciri terpenting bagi kelahiran sastra Bali Modern.
Sebagai karya terjemahan, menarik kiranya memberi satu catatan pada aspek bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh penerjemah membawa pembaca ke bahasa Indonesia ke era sebelum kemerdekaan. Bahasa Bali yang serumpun dengan bahasa Melayu, yang digunakan pada masa tersebut rupanya memiliki kedekatan. Penerjemah telah membuktikan melalui bahasa terjemahan yang digunakan dalam Jalan-jalan ke Sasak.
Dari segi isi, Jalan-jalan ke Sasak memang mengandung tendens namun demikian, pengarang menghadirkannya dengan atau secara halus atau tersirat lewat ungkapan-ungkapan dalam bahasa Bali yang mana setelah diterjemahkan sangat sulit bagi penerjemahnya menemukan ungakapn-ungkapan atau peribahasa yang sepadan. Sehingga, harus dijelaskan atau bahkan pembaca dibantu dengan catatan kaki.
Karena itu, sebagaimanpun halus dan tersiratnya tendens tersebut, pengarang atau karya ini secara tidak sadar terlibat di dalam pertarungan wacana pada era itu: kritik terhadap feodalisme (kasta), modernisasi, pendidikan, dan emansipasi.
Pada era sebelum kemerdekaan, seseorang yang berpendidikan mendapat ruang baru dalam sistem sosial di Bali. Guru adalah hasil nyata pendidikan modern yang akan memodernkan Bali dalam pengertian yang luas, termasuk memerdekakan jiwa dan diri. Walaupun demikian, sering kali tidak mudah karena feodalisme kasta masih cukup kuat. Posisi penulis juga tidak kalah penting.
Jika guru bekerja di sekolah dalam kerangka besar mendidik masyarakat maka penulis atau pengarang seperti Wayan Bhadra menjalankan tugas seorang intelektual lewat tulisan atau karya roman yang digubahnya. Pada kondisi dan perspektif ini sastra atau tulisan menempati posisi yang sangat penting sehingga pada masa itu, di Singaraja lahir media cetak berupa majalah untuk menampung dan menyebarluaskan ide-ide kaum intelektual setempat, setelah mereka mengenyam pendidikan. Jadi, outcomes pendidikan lebih pada terjadinya perubahan masyarakat dan bukan pada peningkatan taraf hidup lulusan.
Konteks sosiologis Mlantjaran ka Sasak dan ketidaksadaran pengarang dalam arus pertarungan wacana intelektual di Kota Singaraja yang egaliter, dapat dilihat sebagai hal yang secara teoretis telah mendapat justifikasi yang sangat kuat.
Tetapi dengan mencermati terjadinya pertarungan wacana di Bali Utara, khususnya di Singaraja yang dimediai oleh terbitnya sejumlah majalah sebagai media cetak, tampak dengan sangat jelas bahwa sastra mengambil bagian di dalam pertarungan wacana tersebut. Pertanyaannya adalah; mengapa sastra mendapat ruang di dalam media cetak tersebut? Tentu saja tidak sebatas fungsi hiburannya. Hal ini terkait dengan pandangan bahwa kaum sastrawan atau penulis pada waktu itu adalah para intelektual yang mendapat peran penting atau mengambil bagian secara sadar dalam pertarungan pemikiran tersebut; meskipun Wayan Bhadra menyatakan bahwa dirinya ingin netral namun lewat romannya, Mlantjaran ka Sasak, ia sejatinya terlibat.
Maka Mlantjaran ka Sasak adalah novel yang lahir dalam pertarungan wacana intelektual di Bali Utara. Di sini sastra merupakan karya intelektual yang setara dengan kolom-kolom kritis di berbagai majalah yang terbit ketika itu di Kota Singaraja. Dari segi ini Mlantjaran ka Sasak adalah tipikal roman Pujangga Baru dalam bahasa Bali. Dapat kiranya disebutkan bahwa di Bali roman Pujangga Baru ditulis versinya dalam bahasa daerah; yang sama-sama membicarakan pergulatan pemikiran menuju modernisasi Indonesia.
Jika dilihat relasi antara A.A. Pandji Tisna dan Wayan Bhadra maka dapat dinyatakan bahwa pada zaman itu, Bali memiliki dua orang sastrawan Angkatan Pujangga Baru; yang satu adalah A.A. Pandji Tisna yang memang menulis dalam bahasa Melayu; dan yang satu lagi adalah Wayan Bhadra yang menulis dengan spirit roman Pujangga Baru dalam bahasa Bali. Dengan paradigma ini harus ada satu pertanyaan yang dikemukakan kepada sejarah sastra Indonesia yang hanya mengakui para pengarang atau sastrawan yang menulis dalam bahasa Melayu.
Jelas, sastra atau periodisasi dan klaim-klaim politik susastra hanya menggunakan bahasa tetapi spirit atau jiwa suatu angkatan, dalam hal ini Angkatan Pujangga Baru; jelas-jelas diabaikan. Karena itulah, spirit menulis roman Pujangga Baru yang dilakukan oleh Wayan Bhadra di Singaraja dengan mempublikasikan karya di majalah setempat; tidak pernah diakui atau ditelusuri keberadaannya sebagai bagian dari angkatan sastra Pujangga Baru. Kekeliruan sejarah sastra Indonesia adalah menarik garis demarkasi antara bahasa Melayu dan bahasa daerah dan hal ini sama saja telah dilakukan oleh sejarah sastra kolonial yang menarik garis juga antara sastra tradisional (Nusantara) dan sastra modern (sastranya kaum penjajah).
Dengan sudut pandang ini, Bali tidak hanya mendaftarkan seorang sastrawan pada Angkat Pujangga Baru, yakni A.A. Pandji Tisna dengan sejumlah karya seperti di antaranya Sukreni Gadis Bali tetapi juga Wayan Bhadra atau Gde Srawana dengan karya Mlantjaran ka Sasak dan lebih-lebih lagi sejak Balai Bahasa Provinsi Bali telah menerjemahkan dan menerbitkannya dalam bahasa Indonesia, Jalan-jalan ke Sasak. Alasan untuk meluruskan jalannya sejarah sastra terhadap Bali, yang hanya mencatat nama A.A. Pandji Tisna dan lewat karya terjemahan ini, Bali wajar menuntut, nama Wayan Bhadra atau Gde Srawana diakuti sebagai sastrawan angkatan Pujangga Baru. [T]