Sekitar pukul sepuluh malam, saya dan Mekratingrum Hapsari (kerap disapa Mike) duduk berhadapan di meja resto sambil mengaduk teh hangat masing-masing. Kami ngobrol, setelah di pagi hari saya membisikinya: “Mbak Mike, nanti malam saya minta waktunya, ya, buat ngobrol.”
Perempuan dengan pembawaan diri yang tegas ini, dari awal pertemuan sebenarnya membuat saya tidak percaya diri untuk berbincang-bincang banyak hal. Takut canggung, takut kaku, takut nggak nyambung, dan takut-takut sejenisnya. Tapi nyatanya, malam itu, obrolan kami mengalir bahkan sampai tengah malam.
Mekratingrum Hapsari adalah salah satu koreografer muda asal Solo yang terpilih pada kegiatan Temu Seni Tari, serangkaian Indonesia Bertutur 2022, yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Ia berkata bahwa dirinya berasal dari keluarga yang kedua orang tuanya tidak memiliki darah seni. Namun, darah seni ternyata ada pada kedua kakaknya, yakni kakak pertama yang merupakan seorang pemusik dan kakak kedua yang merupakan seorang pengrajin kulit.
Mekratingrum Hapsari dalam Sesi Sharing Methode pada Temu Seni Tari 2022
Ia sempat menekuni musik, berharap bisa seperti kakak pertamanya. Namun, walaupun ia berusaha mendalami dan mencintai musik, ia tetap merasa tidak berada di sana. Kehampaan dirasakannya, jauh berbeda dengan perasaan saat ia menari. Ketertarikannya terhadap tari tumbuh sedari ia kecil. Hingga pada ia menginjak bangku SMA, Mike akhirnya mengenal sebuah aliran tari yang berbeda yaitu, Hiphop. Sejak saat itulah, Mike menyadari bahwa Hiphop adalah aliran yang cocok dengan dirinya. Istilah gaulnya: Ini gue banget, Coy.
Mike menempuh pendidikan keseniannya di ISI Solo. Dijelaskan olehnya, bahwa seni tari yang ada di ISI Solo sangatlah kental oleh tari tradisi. Sambil nyengir kecil, ia mengatakan dengan jujur tentang nilainya yang kerap anjlok pada mata kuliah berbau tari tradisi. Ya, sekali lagi Mike mengatakan bahwa tubuhnya sudah terlanjur merasa nyaman dengan bentuk-bentuk gerak jenis Hiphop. Lebih jelasnya ia mengatkan bahwa ia suka kebebasan, dan tidak suka terikat oleh aturan-aturan dalam berkarya.
Sambil bergantian menyeruput teh hangat, saya kembali bertanya tentang isu yang ia pilih dalam penggarapan karyanya: “Teknologi sih. Aku lagi tertarik membahas teknologi,” sahutnya.
Mekratingrum Hapsari dan Peserta Temu Seni Tari Lainnya dalam Kegiatan Napak Tilas di Pura Samuan Tiga
Kemajuan teknologi yang ada, teryata menjadi daya tarik bagi Mike. Ia menyadari bagaimana kemajuan dan kemudahan yang diberikan dari perkembangan teknologi justru membuat lingkup gerak tubuh manusia menjadi sangat minim. Kebanyakan orang pada saat ini malah tidak memanfaatkan tubuhnya dengan maksimal, dan terlalu fokus terhadap apa pun yang menarik atensinya, semisal telepon genggam yang dimiliki hampir setiap orang.
Hal tersebut justru memberikan Mike sebuah pemikiran tentang bagaimana seharusnya kita “kembali ke rumah”. Rumah yang dimaksud di sini bukanlah rumah dengan makna denotasinya, melainkan rumah sebagai kesadaran untuk kembali pada diri kita sendiri; kembali menanyakan pada diri sendiri tentang memori-memori yang terpendam untuk lebih paham dan mengenal siapa diri kita yang sebenarnya, apa yang kita mau, dan bagaimana harusnya memposisikan diri kita. Jawaban ini merupakan jawaban yang begitu dalam dari Mike bagi saya.
Menciptakan karya dengan mengambil sebuah isu atau permasalahan yang tidak dialami oleh diri secara langsung, baginya adalah hal yang sangat sulit. Maka, hal tersebutlah yang membuatnya harus kembali ke pada diri sendiri. Karena bagi Mike, “Setiap orang memiliki sebuah perubahan masing-masing, lalu mengapa tidak kita resapi dan rasakan perubahan yang ada tersebut?” katanya.
Saya semakin larut dalam obrolan. Saya tanyakan lagi karya-karya yang telah berhasil ia garap yang tentunya masih terkait dengan ketertarikan yang dijelaskan sebelumnya. Mike meminta ijin untuk menyulut rokoknya, kemudian melanjutkan obrolan dengan sangat tenang.
“Aku sedang suka karya yang melibatkan partisipan. Bagi aku ini adalah hal yang baru, mungkin bagi yang lain tidak. Judulnya A Day To Remember.”
Mike menceritakan bahwa karya ini adalah sebuah garapan yang bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi partisipan untuk mengingat “pada satu hari tersebut”. Pada karya ini, ia berusaha mengadakan dua ruang: pertama, tentang bagaimana partisipan menulis dan menjelaskan segala hal yang sudah terjadi di masa lampau dan yang diharapkan terjadi pada kehidupannya di masa mendatang. Kedua, memainkan imajinasi ketika melihat gerak yang dilakukannya ketika ia sudah membaca dan mengintepretasikan apa yang sudah dituliskan oleh partisipan. Secara impulsif, ide gerak itu muncul melalui apa yang ia rasakan melalui tulisan.
Pertunjukan “A Day to Remember” oleh Mekratingrum Hapsari di Mandala Wisata, Desa Bedulu
Semakin lama berproses, ternyata mampu menumbuhkan sebuah kesadaran untuk semakin bergerak dengan jujur; bergerak sesuai apa yang ingin dilakukan oleh diri, tidak memaksakan segala sesuatunya, dan berusaha memberikan makna yang lebih mendalam pada setiap gerakan. Gerak tidak lagi hanya sebatas mementingkan keindahan bentuk, tetapi juga lebih fokus pada narasi melalui pikiran yang matang. Hal inilah yang kini menjadi sebuah metode baru dalam proses kreatifnya: mengesampingkan sejenak tubuh yang sudah terbentuk, dan mulai belajar untuk mengasah otak secara perlahan melalui kekuatan narasi.
Rosas Danst Rosas Company merupakan salah satu inspirasinya dalam menentukan metode latihan ketubuhan. Memiliki model gerak repetisi dengan pendekatan hiphop yang di dalamnya memainkan dinamika, juga permainan tempo yang membuat karyanya menjadi menarik, dan tidak membosankan walau dengan gerakan-gerakan pengulangan. Hal-hal lain yang memberikan sebuah pelajaran, tentang bagaimana mereka bernapas dengan jujur. Tidak menahan napas yang ada, dan memilih untuk mengeluarkan secara los dan menjadikan itu sebagai ritme pementasan—musik internal.
Pertunjukan “Tanda Baca”, kolaborasi Mekratingrum Hapsari, Bathara Saverigadi, Puri Senja, dan Alisa Soelaeman (dari kiri ke kanan)
Selain Rosas Danst Rosas, Mike juga menyebut Melati Suryodarmo, seniman performance art, sebagai orang yang sangat mempengaruhi proses kreatifnya selama ini. Melatilah yang menyadarkannya untuk “kembali ke tubuh” ketika ia merasa terjebak dalam ide yang ada. Berkarya memerlukan motivasi yang kuat, dan Melati Suryodarmo adalah salah seorang yang bisa membangkitkan motivasi Mike yang selama ini mengendap.
Setelah cukup lamanya ngobrol tentang proses kreatifnya, saya pun pada akhirnya menanyakan tentang apa yang ingin dicapainya kini. Perempuan yang sedang sibuk sebagai nail artist itu berkata bahwa ia ingin melanjutkan pendidikan keseniannya di jenjang S2.
“Belajar itu lebih enak dari pada nyari uang. Tapi, untuk bisa belajar juga perlu uang terlebih dahulu. Jadi aku masih cari uang dulu sebagai nail artist. Selain bisa memenuhi kebutuhan finansialku, pekerjaan ini juga sekaligus sebagai proses pengalaman baru tubuhku untuk mungkin membuat hal-hal yang lainnya ke depannya.” [T]