12 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Ulasan Buku Puisi Anak-anak Pandemi: Menyaksikan Kambali “Meliput” Pandemi

Yahya UmarbyYahya Umar
September 10, 2022
inUlas Buku
Ulasan Buku Puisi Anak-anak Pandemi: Menyaksikan Kambali “Meliput” Pandemi

Yahya Umar (penulis) dalam acara bedah buku Anak-anak Pandemi di Komunitas Mahima, Singaraja, Minggu 14 Agustus 2022

PANDEMI Covid-19 memunculkan beragam reaksi raga dan jiwa dari setiap orang yang bernyawa. Rasa sedih, takut, kalang kabut, pasrah, kecewa, curiga, marah seperti campur aduk menjadi satu. Bahkan ada yang merasa dirinya sudah mati.

Pandemi pada kenyataanya tidak hanya menyangkut sakit badan, tetapi juga memunculkan penyakit bagi batin. Kata-kata banyak yang tercerabut dari kemuliaannya. Caci maki ikut mewarnai pandemi.

Hidup dan kehidupan benar-benar abnormal. Semua berbalik 180 derajat dari kehidupan biasanya. Bukan hanya kota-kota yang mati suri. Desa-desa dan pelosok negeri semakin sepi.

Sudut-sudut kota berubah menjadi taman-taman nisan. Tempat para korban Covid-19 dibaringkan oleh petugas yang berjubah APD kedodoran.

Sebagai jurnalis-sastrawan, Kambali Zutas melakukan liputan terhadap pandemi dan segala dampaknya terhadap kehidupan manusia. Namun ia tak hanya melakukan liputan dengan pandangan mata selayaknya seorang jurnalis. Ia juga melakukan ‘liputan dengan batin dan nuraninya’.

Jika wartawan menuliskan hasil liputannya menjadi ‘straight news’ atau berita feature, Kambali menuangkan ‘liputan batin atau liputan nuraninya’ ke dalam puisi atau sajak. Ya Kambali menuliskan ‘liputan batin atau nuraninya’ itu di bukunya “Anak-anak Pandemi”. Membaca buku “Anak-anak Pandemi”, saya seperti menyaksikan Kambali ‘meliput’ pandemi.

Dalam laporan ‘liputan batinnya’, Kambali tak hanya menulis fakta tentang pandemi Covid-19 dan segala dampaknya, tetapi juga menuangkan reaksi pikirannya, reaksi batinnya, perasaannya, jeritan nuraninya, dan sikapnya. Ia empati, sedih, kecewa bahkan marah.

Saya membaca, bahwa buku Anak-anak Pandemi menggambarkan reaksi hati, reaksi jiwa, reaksi pikiran, reaksi nurani dan reaksi kemanusiaan Kambali.

Bagaimana Kambali melihat pandemi Covid-19 ini? Bagi Kambali pandemi adalah “hidup tak ada yang dirasa/berusaha tak dapat apa-apa/di rumah semakin sedih/anak istri belum makan”. (puisi Sayup-sayub Ayyub).

Dengan nada getir dan perih Kambali merekam akibat pandemi. “Bayi kecil kurus terkulai/tergeletak tertidur di lantai/beralaskan sehelai kain pantai/di kamar kecil di dusun tengah kota”.

“Bayi sehari tak tersusui/apa daya susu tak punya/tetek ibu tak lagi mengeluarkan ASI/air putih mendidih bercampur beras/tak sanggup menipu”.

“Ibu bangkit dan beranjak/bersandar di daun pintu kayu/matanya memandang/kota sejuta harapan dan impian/kota penabur bunga kerinduan/kota cinta dan kasih sayang/kini berubah menjadi kota mati/kota tempat mengubur mayat dan jenazah/ia pun teringat kata-kata terakhir suaminya;/”aku di-PHK/aku akan cari kerja/hanya beberapa hari saja/rawatlah anak-anak kita”.

“Rasa sedih menoleh melihat kedua anaknya,/dipeganginya perutnya./”Ini sudah sembilan bulan./mengapa engkau tak kunjung pulang./anak-anak belum makan./anak-anak lapar./Tangannya memegangi perutnya yang kosong/tak makan beberapa hari ini,/sedih, iba dan pikiran tak karuan/ia kini lemas/dan terkulai”. (Anak-anak Pandemi #1)

Pandemi tak hanya menyebabkan penyakit dan kematian bagi raga. Pandemi ternyata juga merubah prilaku manusia dalam keluarga, dalam masyarakat bahkan dalam bernegara. Dalam puisi Anak-anak Pandemi #2 Kambali melukiskan perubahan itu.

“Ibu, ayah di mana?/Ayah tadi yang video call//Ibu, adik di mana?/Adik tadi yang kirim foto//Ibu, kakak di mana?/Kakak tadi yang kirim video//Ibu, kakek dan nenek di mana?/Kakek dan nenek tadi yang telpon//Ibu, teman-temanku di mana?/Teman-temanmu tadi yang chat di grup//Ibu, guruku di mana?/Gurumu tadi yang memberi tugas hari ini//Ibu, ibu, ibuku di mana?/Ibu ada di sini, di tanganmu”.

Anak-anak Pandemi, Liputan Batin Kambali Zutas | Dari Bedah Buku Puisi di Komunitas Mahima

Dalam puisi Anak-anak Pandemi #2 ini, Kambali mencatat perubahan hubungan seseorang dengan kerabatnya, dengan temannya dan dengan orang luar menjadi serba online. Pandemi Covid-19 menjadikan manusia tak saling kontak satu sama lain, relasi antarmanusia lebih banyak dilakukan secara daring.

Kebetulan pandemi Covid-19 berimpitan dengan perkembangan atau kemajuan teknologi digital. Digitalisasi di berbagai sektor inten digelar. HP pintar menggantikan segalanya. Bahkan menggantikan peran seorang ibu. “Ibu ada di sini, di tanganmu”. 

Batin Kambali tidak hanya bereaksi getir terhadap ragam persoalan yang muncul karena pandemi. Ia dengan bijak menasehati anak-anak pandemi untuk tidak sedih, tidak menangis dan tidak menuntut siapa-siapa. “Nak, jika besar nanti/Maafkan bapak dan ibu tak menemanimu/Tanpa meninggalkan bekal untukmu/Kecuali kabar duka dan kisah pilu/satu per satu meninggalkanmu/Pergi bersama takdir dan nasibmu”. (Anak-anak Pandemi #3)

Dalam puisi Anak-anak Pandemi #4, Kambali juga melukiskan kematian janin, bayi atau anak-anak karena pandemi, bukan tak berarti. Kematian semacam itu bukan sia-sia. Tapi mereka meninggal dalam keadaan suci. Mereka diyakini akan menjadi penghuni surga di alam nanti. Menjadi penghuni surga adalah cita-cita paling tinggi bagi setiap Muslim.

Sebagai manusia Kambali juga marah kepada mereka yang memanfaatkan pandemi untuk keuntungan pribadi, apalagi untuk menumpuk kekayaan. Dalam puisi “Gerombolan Mayat Pandemi”, Kambali meluapkan kemarahannya kepada pejabat (seorang Menteri) yang mengkorupsi bantuan bagi warga terdampak pandemi.

“hai mayat liang pojok utara!/pejabat itu laknat!/tega sekali dan tak manusiawi/aku sekeluarga mati kelaparan/tidak makan sembilan bulan/bantuan dikorupsi, bajingan”.

“hai mayat liang sebelah selatan/dan mayat liang pojok utara!/pejabat itu benar-benar keparat!/aku dan bayiku mati telat diberi obat/sekarat tak ada pejabat”.

Sebaliknya Kambali menunjukkan rasa bangga dan apresiasinya terhadap mereka peduli dan tulus berbagi bagi mereka yang didera pandemi. Padahal mereka sendiri tak luput dari deraan pandemi. Bagi Kambali tak masalah meskipun sekadar sepotong tempe, secangkir kopi atau sebungkus nasi. Juga masker, vitamin, sembako hingga uang jutaan. Yang penting ikhlas berbagi.

“atas nama rasa kasih sayang/atas nama rasa kemanusiaan/dari lubuk hati yang paling dalam/kami ucapkan terima kasih”.

Dalam perjalanan ‘liputan batin atau liputan nuraninya’, Kambali juga menduga-duga sifat-sifat macam apa saja yang akan muncul dari individu-individu di tengah kehidupan yang ditetapkan WHO sebagai pandemi ini. Itu terbaca dalam puisinya “WHO”. Dalam puisi “WHO” itu, Kambali juga menduga-duga nasib apa saja yang akan dialami tiap-tiap orang selama berada dalam kepungan pandemi.

“siapa dan barang siapa/yang bisa dermawan di masa ini/siapa dan barang siapa/yang bisa kikir di masa ini”

“siapa dan barang siapa/yang bisa peduli di masa ini/siapa dan barang siapa/ yang bisa jujur di masa ini”

“siapa dan barang siapa/yang bisa dipercaya di masa ini/siapa dan barang siapa/yang bisa adil di masa ini”.

“siapa dan barang siapa/yang bisa batil di masa ini/siapa dan barang siapa/yang bisa bijaksana di masa ini”

“siapa dan barang siapa/yang bisa rakus di masa ini/siapa dan barang siapa/yang bisa tamak di masa ini”

“siapa dan barang siapa/yang bisa miskin di masa ini/siapa dan barang siapa/yang bisa kaya di masa ini”

“siapa dan barang siapa/yang bisa serakah di masa ini/siapa dan barang siapa/yang bisa korupsi di masa ini”

“siapa dan barang siapa/yang bisa berhati di masa ini/siapa dan barang siapa/yang bisa hidup di masa ini”

“siapa dan barang siapa/yang bisa mati di masa ini”

Yang juga menyayat hati adalah membaca hasil ‘liputan batin’ Kambali seperti dalam puisi ‘kabar dari bali: made termangu menunggu tamu’. Kambali melukiskan kesedihan Bali akibat Bali seperti ini: “senyum sedih sembunyi di balik cerita bali hari ini/mata memandang deretan kamar tak berpenghuni”.

Dalam ‘tafakur di sanur’, Kambali juga melukiskan “sanur hari ini/di titik aku berdiri/di masa buaian pandemi/terasa sepi nan sunyi”. Sungguh berbeda dengan keseharian Sanur yang biasanya ramai, penuh hiruk pikuk. Alunan rindik biasanya mengiringi hilir mudik turis di sepanjang pantai Sanur.

Dalam puisi ‘taman nisan’, laporan ‘liputan batin’ Kambali tak kalah menyayat hati. “taman nisan/indah dipandang/sedih terasa/duka lara”. “taman nisan/taman tangisan/taman lagu bela sungkawa/taman tanam bunga setaman/taman ayat berkhidmat/taman nyanyian surga”. “taman nisan/taman saksi/taman pandemi”.     

Dan saya menyaksikan Kambali menangis, menangisi dirinya, menangisi tetangganya, menangisi masyarakatnya, menangisi bangsa, dan menangisi manusia yang sudah tak berdaya di hadapan pandemi.

“anak istri pergi tak kembali/vonis penyakit dan sakit/tak bisa dinalar jadi penguji/musibah, cobaan, atau jalan/di masa panjang pandemi/”aku tak kuat lagi”. (Sayup-sayub Ayyub).

Berapa banyak orang yang meneriakkan ‘aku tak kuat lagi’. Ratusan, ah mungkin ribuan, bahkan mungkin jutaan. Mereka tak kuat lagi menahan pedih, menahan sedih, menahan rasa takut.

Di tengah kepanikan, ketakutan, kesedihan, kemarahan dan rasa putus asa melanda penduduk bumi, Kambali mengajak manusia mengingat Nabi Ayyub. Mengingat kepada kesabaran dan keikhlasannya menjalani musibah yang menimpa, dan kalau mungkin meneladaninya.

‘Sayup-sayub Ayyub/begitu jelas aku mendengarnya/sosok sebatang kara/hidup sakit menahun/delapan belas tahun satu bulan/menderita sakit mendera/tak ada yang menerimanya/mengasihinya/iman apalagi yang tertanam dalam hati/kecuali keikhalasan”.

Subjektivitas Kambali Zutas dalam Kumpulan Puisi Anak-anak Pandemi

Ya Nabi Ayyub merupakan manusia yang sangat sabar. Ia diuji dengan kekayaannya yang lenyap. Anak-anaknya yang meninggal. Lalu, Nabi Ayyub ditimpa penyakit (lepra) selama 18 tahun. Namun, tak sedikit pun ia mengeluh, apalagi marah. Ia sabar. Istrinya bahkan meninggalkannya dan meminta orang lain untuk merawat karena sudah tidak kuat. Namun, Ayyub tetap sabar. Ia bahkan malu mengeluh kepada Tuhan agar penyakitnya disembuhkan. Sebab, menurutnya, Tuhan telah memberinya kesehatan selama 70 tahun. Dan baru 18 tahun ia diberi ujian sakit.

Dengan puisi itu, Kambali seperti ingin menegaskan bahwa “Di musim pandemi, manusia tak hanya butuh vaksin dan vitamin. Lebih dari itu, di musim pandemi ini, manusia tak boleh bosan merebahkan jiwa di pangkuan Pemilik semesta. 👍

  • Artikel ini disajikan dalam bedah buku Anak-anak Pandemi karya Kambali Zutas di Komunitas Mahima Singaraja, Minggu, 14 Agustus 2022.
Tags: Bukubuku puisiPuisisastra
Previous Post

Kilas Balik Jegeg Bagus Tabanan 2022: “The Spirit of Ngerebeg”, Cantik dan Cerdas

Next Post

Bupati Buleleng Kukuhkan Anggota Paskibraka 2022

Yahya Umar

Yahya Umar

Penulis serabutan: wartawan, juga menulis cerpen, puisi dan novel. Tinggal di Singaraja

Next Post
Bupati Buleleng Kukuhkan Anggota Paskibraka 2022

Bupati Buleleng Kukuhkan Anggota Paskibraka 2022

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Refleksi Visual Made Sudana

by Hartanto
May 12, 2025
0
Refleksi Visual Made Sudana

JUDUL Segara Gunung karya Made Sudana ini memadukan dua elemen alam yang sangat ikonikal: lautan dan gunung. Dalam tradisi Bali,...

Read more

Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

by Sonhaji Abdullah
May 12, 2025
0
Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

DI Sekolah, fenomena bullying (dalam bahasa Indoneisa biasa ditulis membuli) sudah menjadi ancaman besar bagi dunia kanak-kanak, atau remaja yang...

Read more

Pulau dan Kepulauan di Nusantara: Nama, Identitas, dan Pengakuan

by Ahmad Sihabudin
May 12, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

“siapa yang mampu memberi nama,dialah yang menguasai, karena nama adalah identitas,dan sekaligus sebuah harapan.”(Michel Foucoult) WAWASAN Nusantara sebagai filosofi kesatuan...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pendekatan “Deeflearning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deeflearning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co