Pukul 07.45 Wita I Made Susanta Dwitanaya sudah tiba di halaman parkir Amatara Agung Raka Hotel. Di Ubud, Gianyar Bali. Ia segera beranjak mencari panitia, kemudian menanyakan apakah dirinya terlambat?
Sementara itu kawan-kawa peserta Temu Seni Tari – Indonesia Bertutur, tengah menyelesaikan sarapan. Bus ukuran sedang sudah menghidupkan mesin, untuk mendinginkan ruangan. Made Susanta tampak lega, kemudian ia duduk bersama panitia di markas nomor 101-dibuatkan kopi. “Bli, ngopi dulu, santai, nanti akan saya kabari kalau segera berangkat,” ujar salah satu LO kepadanya.
Selasa, 19 Juli 2021 rombongan peserta akan berangkat menuju ke Pura Gunung Kawi, Tampaksiring, untuk melaksanakan kunjungan situs. Made Susantalah yang bertugas untuk menjadi semacam tour guide selama perjalanan menuju situs. Selain sebagai akademisi, peneliti dan penulis, Made Susanta merupakan salah satu pengempon pura Gunung Kawi, dari Banjar Penaka, Tampaksiring.
Di tengah perjalanan Made Susanta berbagi pengalaman tentang keluarganya yang bekerja di Kawasan Gunung Kawi. Kakeknya berjualan buah kelapa untuk para turis, ayahnya pengukir batok kelapa, dan ibunya aktif menjajakan barang dagangan di kios kecilnya.
Masa kecil Made Susanta juga dihabiskan di aliran-aliran sungai tukad Pakerisan, entah memancing, bermain di sungai, dan yang paling ia senang adalah mandi bersama teman-temannya.
Bus akhirnya melaju pelan ketika keluar hotel, tampak rombongan turis berjalan di trotoar, mobil-mobil yang mengangkut tamu juga berjejal di pertigaan Pengosekan dekat Pertamina. Setelah melewati pertigaan Peliatan, bus melaju kencang, sekencang waktu memintas peradaban-peradaban di situs Pura Gunung Kawi.
Foto: Kadek Yogi Prabhawa dari BPCB Bali sedang menjelaskan candi 4 kepada peserta. (memakai baju biru gelap, memegang botol minuman mineral)
Tibalah rombongan, kawan-kawan diarahkan untuk memakai kamen di area pos jaga, beberapa kawan saling bantu, ada juga yang melakukannya sendiri. Beberapa menit kemudian perjalanan menuruni tiga ratusan anak tangga dimulai. Tentu saja sambil dipandu oleh Made Susanta, setiap ada spot penting, kawan-kawan akan bergerombol untuk mendengar Made Susanta.
Berulang kali, Made menyapa pedagang souvenir di sana. Sebab memang semua pedagang itu ia kenal. Ia mengaku juga bahwa ketika di pos jaga, ia disapa ayahnya, yang sedang duduk di situ.
“Saya rasanya nanti tidak pulang ke Denpasar, tadi ketemu nanang (ayah dalam bahasa Bali)saya di pos jaga, kalau tidak tidur di rumah, nanti bahaya. Padahal saya tidak mengabari ada acara ini ke sini, kok bisa ketemu ya,” ujarnya sambil tertawa, kepada salah seorang panitia.
Perjalanan kemudian menikung ke arah sawah, menuju Candi Kesepuluh. Melewati pematang sawah yang sudah diplester, lalu memasuki gerbang batu, menyusur anak tangga yang serasa membelah hutan, sebab kiri kanan perjalanan itu ditumbuhi pohon-pohon lebat. Selain Made Susanta, perjalanan rombongan ditemani oleh Kadek Yogi Prabhawa dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Bali.
Foto: Persembahyangan di pura, sebagian peserta Temu Seni Tari – Indonesia Bertutur juga turut sembahyang
Kadek Yogi menjelaskan, di Candi Kesepuluh ini merupakan candi yang difungsikan untuk para pejabat tinggi di kerajaan. Karena ditemukannya tulisan aksara Kediri Kwadrat, yang menulis kata Rakryan, berarti pejabat.
Ia lebih jauh menjelaskan Candi Gunung Kawi terdiri dari 3 kompleks candi, Candi Empat, Candi Lima, dan Candi Kesepuluh. Candi Kesepuluh ini terdiri dari ceruk-ceruk, serta candi bertumpang yang dipahat di tebing, bukan disusun menggunakan batu seperti kebanyakan candi di Indonesia.
Ceruk-ceruk yang peserta lihat berupa ruang persegi panjang, atau persegi empat, ada semacam tempat masuk serupa lubang pintu, dan lubang jendela.
Dalam ruang ceruk itu, tampak ditumbuhi lumut hijau di bagian dinding-dindingnya, sesekali peserta meraba dinding ceruk, ada yang mengabadikan gambar, ada pula yang diam termangu memperhatikan kemegahan candi, beberapa peserta ada yang membilas rambutnya dengan air yang mengucur di depan candi.
“Ini airnya bukan untuk membilas wajah, tapi biasanya di percikan ke rambut atau ke kepala,” ujar Made Susanta, kemudian mengizinkan beberapa kawan untuk membilas air ke rambutnya.
Foto: Berbagi metode, dari Ayu Ananta – Bali
Made Susanta menambahkan piodalan (upacara) di Pura Candi Kesepuluh atau Pura Bukit Gundul bertepatan dengan hari Raya Saraswati, hari yang diperingati sebagai turunnya ilmu pengetahuan bagi masyarakat Bali. Makanya kebanyakan orang tua-orang tua di desanya menyarankan untuk melakukan persembahyangan jika mendekati ujian semester atau tes di sekolah.
Perjalanan dilanjutkan ke Candi Empat, melewati prapasan tebing yang dibelah menjadi jalan, sebelum memasuki area candi, peserta memasuki lubang batu besar, semacam pintu purba yang seolah menghantarkan peserta rombongan pada dimensi waktu yang liyan.
Menurut Kade Yogi yang membaca sejumlah penelitian dari para arkeologi diyakini bahwa kompleks Candi Tebing Gunung Kawi telah dibangun pada kisaran abad ke-10 hingga abad ke -11. Kemungkinan Candi Gunung Kawi sudah dibangun pada masa pemerintahan Raja Udayana (989-1011Masehi). Kemudian pembangunan dilanjutkan pada masa pemerintahan anak-anaknya, Marakata (1022-1025) maupun Anak Wungsu (1049-1077).
Foto: Bendesa Pura Gunung Kawi menyambut peserta di wantilan
Kompleks percandian ini juga diduga sebagai sebuah asrama, ceruk-ceruk yang tersebar di seluruh kompleks candi diduga sebagai tempat penekun ilmu pengetahuan yang tinggal sementara waktu untuk melaksanakan praktek-praktek rohani. Keberadaan kawasan candi yang dialiri oleh sungai, serta gemericik air, juga memperkuat asumsi tersebut.
Perjalanan pun dilanjutkan untuk melakukan persembahyangan di pura, sebagian peserta juga turut sembahyang. Kemudian ada sarasehan yang berjudul “Gunung Kawi : Antara yang Silam dan yang Liyan”. Narasumber I Ketut Eriadi Ariana (Jero Penyarikan Duuran Batur) dan Ni Made Ari Dwijayanthi (Akademisi, Pemerhati Lontar).
Jero Eriadi membawa diskusi mengenai “Gunung Kawi : Jejak Tatahan ‘Paras’ dan Guratan ‘Karas’, sementara Ari Dwijayanthi lebih menyoal tentang keindahan yang termaktub dalam presentasinya berjudul “Gunung Kawi antara Silam dan Liyan, Tutur Angkihan : Berkisah di Balik Tebing-Tebing Gunung Kawi”.
Setelah kawan-kawan mengikuti diskusi, program dilanjutkan dengan berbagi metode oleh 4 peserta Seni Temu Tari yaitu Ayu Ananta – Bali, Ayu Permata Sari – Lampung, Gusbang Sada – Bali dan Razan Wirjosandjojo-Surakarta.
Foto: Latihan di candi oleh Gusbang Sada – Bali dan Razan Wirjosandjojo – Surakarta
Ayu Ananta- Bali menjelaskan bagaimana ulak-alik ketubuhan tradisi dan kontemporer menjadi ruang ekspresinya, kemudian peserta mempraktekkan sejumlah gerakan yang sebelumnya dipraktekan olehnya. Ayu Permata Sari – Lampung, menjelaskan bagaimana isu di daerah yang ia teliti, terkait manusia yang kecil ini, berada pada jaringan kuasa yang lebih besar. Seperti agama, kuasa, politik, dan lain-lain. Tarik menarik ini menjadi satu metode latihan, seorang peserta harus mengikuti sumber suara, namun harus menjauh ketika mendengar desis-an.
Sementara Gusbang Sada lebih banyak menjelaskan tentang ruang dua dimensi, menautkan antara Candi Gunung Kawi dengan tari Bali yang ia anggap sebagai presentasi dua dimensi antara penonton dan penari.
Razan Wirjosandjojo-Surakarta, menjelaskan bagaimana energi di alam semesta dapat bersinergi menjadi satu kesatuan dalam tubuh manusia. Dipraktekan di depan Candi Lima, dengan ruang yang besar, dan candi yang besar. Manusia tampak kecil dan tak berdaya. Tubuh peserta bergetar sesuai arahan Mas Razan, hingga sampai pada titik rendah saat semua mengembalikan energi alam ke tanah.
Foto: Di depan candi
Setelah sesi Mas Razan kawan-kawan peserta diperintahkan untuk puasa berkomunikasi dengan bahasa. Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang mengobrol, perjalanan menuju bus menaiki tangga, hening, jejak jejak kaki seketika bisu, seperti penekun jalan rohani yang tengah mengukur perjalanan mereka. Nafas ditahan, terjaga dalam tubuh kawan-kawan peserta. Semua tampak lelah, tapi masih mampu melanjutkan perjalanan.
Hari kedua, pada malam hari dilanjutkan dengan berbagi metode, dan forum group discussion, yang diinisiasi oleh kelompok peserta masing-masing. [T]
BACA JUGA: