Lemukih masih berselimut mendung. Gerimis terasa begitu dingin dalam hembusan angin. Darah terasa seperti getah, bergerak lambat mengikuti rima detak jantung tersembunyi. Hanya pohon pohon kopi yang tahu bahwa cinta terjadi secara rahasia di sana.
Ketika senja semakin merapat, Amel mulai menggigil merasakan dingin. Angga meletakkan kopi di meja bambu kecil persis di ujung jari tangan kanannya.
“Minumlah! Badanmu bisa terasa lebih hangat!” Angga membuka pembicaraan.
“Kopi Lemukih yang kau seduh?” Amel merapatkan hidungnya ke cangkir putih itu.
“Hanya itu yang ada di warung kita. Aku tidak mungkin menyajikan yang lain.”
“Benarkah?
“Kau curiga atau meragukan kesetiaanku.”
“Kalau begitu kapan kau nikahi aku?” Amel menjebak.
“Aku sudah menikah.”
“Tapi itu bukan denganku.”
“Ya. Kau benar, Kau mengambil cintaku dari Mona!”
“Aku hanya mau anak kandunganku ini jelas ayahnya sebelum dia lahir.”
“Sudahlah, Mel. Jangan jebak aku. Katakan saja kau mau aku tiduri.”
“Kau memang pandai menghiburku. Tapi hari ini aku lelah. Sebaiknya kau tiduri Mona.”
“Itu akan sia-sia. Jangan buat aku menderita.”
“Mona istrimu. Dia menunggumu.”
“Tapi kau kekasihku. Jangan bangunkan cemburu itu lagi.”
“Kalau begitu buatlah keputusan.”
Angga terdiam. Kedua telapak tangannya mendorong wajahnya ke belakang kepala. Dia melangkah ke tepi warung membelakangi Amel lalu balik lagi meletakkan kedua tangannya di pundak Amel
“Hari ini, lima tahun aku menikahi Mona.”
“Aku tahu. Tidurilah dia malam ini. Kau sudah terlalu sering berbaring di kamarku. Bernegosiasilah dengannya.”
“Sekarang, itu menjadi semakin tidak mungkin Mel!”
“Kamu bertengkar lagi?”
“Tidak, Dia bilang akan kembali dari Bangkok malam ini.”
“Kalau begitu jemputlah dia.”
“Dia lagi tidak ingin dijemput.”
“Itu hanya sandiwara perempuan. Tidak curiga.”
“Itu tidak penting, Ini menguntungkanku.”
Telepon berdering di saku Angga. Dia mengangkatnya dan berbicara menjauh. Amel bangkit dari duduknya menyeduhkan kopi buat Angga. Otaknya terus bekerja mengasah panah-panah kamanya. Amel tidak mengerti mengapa hari ini merasakan cemburu. Dia berjalan merapat ke Angga di sudut warung.
“Hmm. Wajahmu lelah. Kopi ini baik untukmu!”
“Kamu membuatku betah di sini.”
“Mona menunggumu.”
“Ya. Dia menungguku besok di sidang pengadilan.”
“Kalian akan bercerai?”
“Amel…Amel. Rupanya terjebak ego!”
“Lalu untuk apa pengadilan?”
“Mona mengadopsi anak perempuan.”
“Itu sebuah kemajuan. Sesuatu yang baik buat lima tahun penantianmu. Kau akan sibuk. Saatnya buat keputusan.”
“Keputusan apa? Kamu cemburu.”
“Ya. Aku cemburu karena di rahimku sekarang anakmu menunggu ayahnya.”
“Kamu hamil?”
Amel terdiam. Dia memandang Angga begitu dalam berharap tanggung jawab yang pasti. Perlahan air matanya berderai. Baru ini kali dia terlihat begitu lemah.
“Ini sudah tiga bulan, Angga! Kamu harus ambil kesempatan ini untuk buat keputusan. Aku tidak mau rahimku hanya menjadi rumah pelarian cintamu.”
Angga diam membisu. Dia bahkan belum menyentuh kopi di hadapannya sama sekali. Pikirannya berat tetapi dia juga tidak mungkin menyakiti Mona atau pun Amel. Suaranya mulai berat.
“Baiklah! Aku akan menikahimu secara rahasia.”
“Maksudmu kita menikah secara diam-diam? Siapa yang mau jadi saksinya? Apa tidak lebih baik terus terang dengan Mona. Kita bisa besarkan anak ini bersama-sama!”
Belum lagi sempat menjawab tawaran Amel, telepon Angga berdering lagi. Mona mengabarkan bahwa pesawat mungkin akan melewati cuaca buruk dan berharap bisa berjumpa.
“Mona mengatakan penerbangannya menghadapi cuaca buruk!”
“Baiklah kita berdoa untuk kebaikan bersama.”
Amel berdoa dengan khusuknya. Angga juga berdoa. Tetapi dia berdoa dalam baying-bayang kegelisahan. Meski ada lintasan kebimbangan yang menghantui, Angga dan Amel tetap berharap Tuhan memberikan mereka jalan keluar yang terbaik.
Malam semakin melambat, Amel meninggalkan Angga di sudut warung. Ia melangkah pelan dan menuju kamarnya. Angga menyusul dan memeluknya dari belakang. Pelukannya begitu dalam. Tangan melingkar di bawah buah dada. Napasnya memberi tahu bahwa denyut jantungnya meningkat. Tidak ada kata-kata. Amel membalasnya, kedua tangannya melengkung di tengkuk Angga dalam asmara yang menghangat. Desahnya menjadi ilusi. Mereka bercumbu begitu lepas melupakan segala beban. Sepi semakin menggila. Mereka menutup warung kopi itu. Lampu padam, hanya di kamar tampak temaram. Pergumulan tak terhindarkan. Permainan cinta rahasia tampaknya mau dan mau lagi memasuki babak baru yang mendebarkan.
“Aku hamil, buatlah keputusan, Angga!”
“Jangan sekarang, jantungku masih berdebar. Peluklah aku lebih erat!”
“Itu karena kamu takut, jangan jadi pengecut!”
“Pengecut? Ah aku kira tidak. Hanya waktunya saja yang belum tepat!”
“Apa menunggu perutku lebih membesar lagi begitu? Bersikaplah jantan. Kau sudah menunggu lima tahun untuk ini!” Desakan Amel seperti menjadi pendulum dalam kepala Angga. Pendulum itu bergerak terus samkin kencang hingga menutup setiap lubang pelarian Angga. Dia hanya punya satu pilihan yakni berpoligami.
“Kau benar, kau mengorbankan rahimku untukku!”
“Ambillah keputusan tanpa harus merasa bersalah. Katakana kepada Mona bahwa poligami adalah takdirmu!”
“Dia pasti sangat marah!”
“Itu pasti. Tapi itu tidak akan lama. Mona akan sakit hati padamu. Jangan sekali-kali kau sakiti lagi fisiknya. Dia wanita yang mulia, hanya nasibnya yang kurang beruntung. Aku sebenarnya tidak sampai hati menyakitinya. Tapi kau telah membuatku tidak berdaya. Jadi aku juga berada dalam posisi yang sulit. jangan biarkan aku menanggung aib ini sendirian. Ambillah keputusan, ini bukan keinginanku. Ini perintah anakmu yang ada dalam rahimku, Angga!” Amel terus menggiring Angga agar tidak terbelenggu oleh keraguan yang ada dalam hatinya. Dia seperti sedang menerima wejangan Sri Krisna kepada Arjuna di Kurusetra.
“Aku akan ambil keputusan setelah sidang di pengadilan besok!”
“Anakmu merekam janjimu. Kalau kau ragu, kelak anakmu juga peragu, kalau kau kesatria, kelak anakmu ini akan menjadi kesatria yang pemberani!”
Dialog perselingkuhan itu terus mengalir. Amel semakin mesra. Angga terperdaya seperti sedang berenang dalam lautan kopi Lemukih yang dahsyat.
Cuaca Nopember membuat Lemukih semakin membeku. Pohon-pohon kopi di perkebunan siap menghibahkan nektar kepada lebah yang menjadikannya berbuah. Amel dan Angga bermain cemburu dalam jebakan buluh perindu, sembari menunggu pagi yang tak menentu.
“Angga bangunlah. Mona sudah menunggu!”
“Apakah teleponku berdering tadi?”
“Aku kira tidak, apa kamu mengaktifkannya?”
“Akan kuhidupkan!”
Angga memencet tombol on, ia terlihat sedikit panik, karena di telepon yang ia genggam tidak ada panggilan masuk.
“Coba kau lihat, mungkin ada pesan?”
“Juga tidak ada!”
“Coba kau cari tahu lewat perusahaan atau temannya!”
“Akan kucoba!”
Angga menelepon Dwipa, seorang divisi penerbangan, tetapi teleponnya selalu sibuk. Angga semakin gelisah. Ia ingat percakapan terakhir dengan Mona. Angga menelusuri berita online. Dia terperangah kaget bukan kepalang. Surat kabar tersebut memberitakan bahwa pesawat menuju Bandara Ngurah Rai telah mengalami critical eleven atau Plus Three Minus Eight di Teluk Bangkok. Pesawat telah dikabarkan hancur berkeping-keping. Ketika Angga menelusuri chanel Youtube, ia mendapatkan berita bahwa tim penyelamat sedang berjibaku mengevakuasi para korban.
“Mona…Mona…Mona!”
Angga gemetaran beberapa saat menjadi lumpuh, Amel memeluk dan menenangkannya. Tangisnya tak lagi bisa dibendung, Amel seketika juga ikut menangis.
“Pergilah, kau harus kuat, kau sudah berjanji akan menjemput Mona!”
“Biarkan aku sendiri!”
Angga bangkit dan menghela napas beberapa kali kemudian ia berkemas. Amel melepaskannya dengan segala iba. Ia tidak pernah berharap Mona harus mengalami peristiwa tragis seperti itu. Tetapi ia juga sadar rupanya Tuhan memberi jalan bagi anak yang sedang ia kandung.
Dua minggu berlalu jasad Mona dimakamkan. Seminggu berselang, Angga menerima barang-barang Mona. Sebuah kotak kecil bertuliskan, untuk kekasih suamiku tercinta Prana Angga. Ia tidak segera mencari tahu isi kotak itu dan hanya meletakkan di sebuah kotak kaca yang di bagian atasnya terdapat miniatur Mona dan pesawat boing 727 MAX 8.
Enam bulan berselang, Angga menikahi Amel. Persis tiga puluh hari sebelum putrinya lahir. Suatu ketika Amel merasa kontraksi, Angga sedikit panik sehingga secara tidak sengaja menyenggol miniatur dan menyebabkan satu sisi kotak akhirnya pecah. Peristiwa itu menggerakkan hatinya untuk mengetahui isi kotak yang dulu ditujukan kepadanya. Ia menemukan sebuah kertas dalam miniatur itu dan menariknnya.
Dalam surat itu, Mona menceritakan bahwa ia sudah mengetahui bahwa Angga dan Amel telah selingkuh. Perselingkuhan itu ia ketahui dari Mirna, seorang rekan kerja yang merupakan teman dekat Amel. Sebenarnya Mona cemburu, tetapi karena cintanya yang begitu dalam dengan Angga, ia berusaha menyembunyikan sendiri dan menahan rasa sakit yang ia alami.
Pada bagian akhir suratnya Mona menuliskan, “Tuhan kalau hari ini Engkau memanggilku, biarkanlah suamiku menikahi Amel, karena kelak aku akan lahir lewat rahimnya. Tuhan lindungilah suamiku!”
Angga menyodorkan surat itu kepada Amel di rumah sakit. Beberapa saat kemudian putrinya lahir. Untuk mengenang kebaikan Mona dan ketulusan cinta yang Mona berikan kepadanya mereka akhirnya sepakat menuliskan nama putri itu Mona Putri Amel di akta kelahirnnya, Buleleng 11 Nopember 2022. [T]
___