Parade Gong Kebyar duta Kabupaten Badung dalam Pesta Kesenian Bali XLIV tahun 2022 kali ini tampil berbeda dari tahun tahun sebelumnya. Menampilkan tiga sekeha Gong Kebyar sekaligus dalam satu panggung dengan komposisi penyajian seperti sebelah utara nampak gagah dengan busana berwarna hitam para penabuh dari tim Gong Kebyar Dewasa yang diwakili oleh Sanggar Mario Bross, Desa Buduk, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung.
Di sisi tengah tepat depan gapura agung panggung Ardha Candra terlihat tim dari Gong Kebyar Anak-Anak yang diwakili oleh Sanggar Seni Dwi Kumala, Br. Ulapan 2, Desa Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung yang tampak ceria menggunakan busana berwarna putih dan disebelah kanan penonton nampak menawan dengan busana merah yaitu para penabuh wanita yang luar biasa dari Sanggar Nawaratna, Br Peken, Desa Bualu, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.
Tema besar sebagai wahana penyampaian esensi dalam pagelaran ini serupa dengan salah satu kata yang terdapat dalam Bhisama Batur Kelawasan yaitu Pasir dan Ukir, entah terinspirasi dari penggalan kalimat tersebut atau tidak namun pemilihan Pasir Ukir sebagai tema besar pagelaran Gong Kebyar duta Kabupaten Badung kali ini penulis rasa sangat tepat.
Pasir Ukir dipilah menjadi dua suku kata pasir dan ukir, pasir yang berarti laut dan ukir berarti gunung. Pengejawantahan spirit Segara Gunung sebagai sumber kemakmuran sangat tepat dengan tema besar Pesta Kesenian Bali tahun ini yaitu “Danu Kerthi” memuliakan air sumber kehidupan.
Foto: Tari kreasi toya raga yang dibawakan sekaa gong kebyar dewasa Kabupaten Badung
Kita ketahui bersama bahwa laut merupakan salah satu sumber air yang setelah mengalami proses evaporasi menjadi awan dan menurunkan air hujan yang kemudian turun dan jatuh ke bumi salah satunya digunung yang kemudian mengalir serta memberikan kehidupan bagi semua makluk baik tumbuhan, hewan, bahkan manusia itu sendiri. Aliran air dari gunung akan kembali ke laut dan akan berputar sebagai sebuah siklus kehidupan dan penghidupan.
Pemilihan tema Pasir Ukir juga menjadi sebuah cerminan keberadaan palemahan di Kabupaten Badung, dimana ujung utara terdapat gunung yang mempesona dan ujung selatan terdapat bentangan pantai yang indah. Kedua tempat tersebut menjadi destinasi wisata dunia yang secara tidak langsung menjadikan Kabupaten badung sebagai spirit energi baik dari pariwisata, ekonomi dan budaya di Bali.
Pasir Ukir terimplementasikan melalui formulasi secara terstruktur dan terkonsepkan atas dasar telaah karya-karya sebelumnya yang menjadi identitas dari pola garap karya bebadungan sehingga duta Kabupaten Badung tidak saja hanya menampilkan sebuah sajian komposisi musik gong kebyar namun lebih pada sebuah penyajian esensi, nilai dan makna yang terdapat dari idiom Pasir Ukir sebagai respon kreatif terhadap pemuliaan air sumber kehidupan. Hal tersebut tersusun dan tergarap apik melalui pemilihan materi yang dibawakan.
***
Formulasi yang sangat tersruktur dengan mengimplementasi nilai yang terdapat dalam keberadaan Pasir Ukir sebagai sebuah siklus perjalanan air pemberi kehidupan terlihat dari materi-materi yang dibawakan seperti :
Tabuh Pat Segara Wera
Ini adalah karya I Ketut Suartajaya merupakan sebuah karya yang menggambarkan keutamaan laut dan memberi gambaran bagaimana sebuah siklus pemuaian air laut terjadi secara alami, sehingga terjadilah hujan.
Tabuh Palguna Warsa
Karya ini mengandung esensi keberadaaan Sasih Kaulu. Dalam garapan ini digambarkan suasana alam yang terjadi pada sasih tersebut yang biasanya turun hujan dengan disertai angin kencang. Tabuh ini diciptakan oleh I Wayan Berata pada tahun 1968 dan menjadi juara I tabuh kreasi pada Merdangga Uttsawa (Festival gong kebyar pada tahun 1968).
Gegitaan Telaga Waja Sakti
Gegitaan ini merupakan sebuah karya bersumber dari kearifan lokal yang mengisahkan tentang keberadaan sumber air yang muncul dari dasar tanah akibat ditancapkannya tongkat sakti oleh Ratu Ayu Sapuh Jagat, disebabkan pada zaman itu masyarakat Desa Ampilan sangat kesulitan mencari sumber mata air. Sumber air ini juga terhubung dari hulu Ampilan, dari pasang air laut serta air hujan yang tergenang menjadi satu.
Telaga Waja ini merupakan sumber pengairan di Desa Bualu Yang sebelumnya masih bernama Desa Ampilan. Keberadaan Telaga Waja tersurat dalam lontar Rasmi Sancaya yang di tulis oleh Ida Pranda Sakti Wawu Rawuh. Sumber air Telaga Waja hingga saat ini masih di muliakan dan disucikan sebagai sumber kehidupan dengan di bangunnya pura suci sebagai stana ida Ratu Mas Sapuh Jagat yang di beri nama Pura Telaga Waja Sakti.
Foto: Tari kreasi toya raga yang dibawakan sekaa gong kebyar dewasa Kabupaten Badung
Tari kreasi toya raga
Tarian ini merupakan penggambaran tentang pentingnya air dalam diri manusia. Keberadaan tubuh manusia yang rata-rata terdiri dari 70% air. Pada saat lahir tubuh manusia adalah 90% air, dan saat mencapai usia dewasa tubuh manusia terdiri dari 70% air. Sampai pada usia lanjut hingga mati kemungkinan tubuh manusia adalah 50% air. Oleh karena itu, air merupakan bagian penting dalam kelangsungan kehidupan manusia.
Dolanan lelakut
Dolanan yang penuh kegembiraan ini merupakan respon dari keberadaan lelakut sebagai sarana yang dipakai oleh para petani manakala padi mereka sudah menguning. Lelakut juga merupakan alat menghalau burung-burung yang hinggap pada padi mereka.
Tabuh Pepanggulan Tapak Ngalu
Ini tabuh menggambarkan tentang masyarakat di daerah Ampilan (kini disebut Kampial) yang sangat sulit mendapatkan air. Masyarakat yang hidup di daerah itu hanya mengandalkan air dari dahan pohon yang diiris. Lama-kelamaan orang-orang Ampilan itu mencoba mencari sumber air dengan berjalan menyusuri dataran yang lebih rendah.
Dalam perjalanan itu, mereka menyebut dirinya sambil “ Membual-bualan Ngalu ” yang berati perjalanan jauh menyusuri dataran rendah untuk mencari sumber air. Lama kelamaan dataran rendah itu disebut “Bualu”.
Sesampainya di sana mereka menemukan sumber air berupa sumur yang dibuat oleh kebo Iwa airnya sangat jernih. Sumur tersebut dinamakan Beji Toya Ning. Sampai saat ini Beji Toya Ning itu sangat disucikan dan sering dipakai untuk kegiatan upacara agama seperti “ngingsah”.
Tabuh Kreasi Pepanggulan Gili Manik
Tabuh ini juga terinspirasi dari kearifan lokal di Desa Blahkiuh dimana terdapat sebuah tempat yang bernama “Gili Dukuh” yang sangat dimuliakan oleh masyarakat sekitar, selain panorama alam yang indah, tempat ini juga merupakan sumber air sucinya yang digunakan untuk pengruwatan/penglukatan, dan sebagai tempat melasti pada acara piodalan di Pura Khayangan Desa setempat dengan demikian secara tidak langsung akan berdampak pada kesucian baik bhuana alit maupun bhuana agung.
Fragmentari Sundari Ciptaning
Fragmen ini mengisahkan awal dari proses terciptanya sumber air suci kehidupan didataran Buhwalu (Desa Bualu) yang bernama telaga Waja yang tetap disucikan sampai saat ini. Menurut Dewa Purana/ legenda, sumber air tersebut diciptakan oleh Ratu Ayu Mas Manik Sapuh Jagat dengan sarana tateken/tongkat sakti atas pituduh ramanda beliau yang bergelar Ratu Gede Dalem Pemutih, beliau berstana dibukit Geger.
Sampai saat ini Telaga Waja disucikan dan diyakini memiliki kekuatan gaib oleh masyarakat khususnya warga Banjar Peken atau masyarakat Yang dikenal zaman dulu dengan Sebutan Nyama Undagi Pemetang Desa.
Anglukat Agung
Terinspirasi dari Tradisi Siat Yeh yang merupakan tradisi kearifan lokal yang ada di daerah selatan kabupaten badung, tepatnya di Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Tradisi Siat Yeh ini diawali dengan mendak tirta (Air Suci) di dua sumber air yang berbeda yaitu timur pesisir Pantai Suwung atau Rawa, Barat pesisir pantai Segara yang nantinya Timur dan Barat digabungkan menjadi satu sebagai pemaknaan dari dua sumber air yang di sebut dengan campuhan. Anglukat Agung juga dapat diartikan sebagai sebuah Langkah menghilangkan Kotoran Duniawi serta memberikan Energi Positif untuk kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia.
Foto: Dolanan Lelakut yang dibawakan sekaa gong kebyar anak-anak Kabupaten Badung
***
Penulis melihat materi yang disajikan dipilih dan disusun atas karya terdahulu seperti Tabuh Segara Wera dan Palguna Warsa. Kedua tabuh ini merupakan interpretasi terhadap laut sebagai salah satu sumber air yang mampu memberikan amerta (kemakmuran) jika dimuliakan dan mampu menjadi wisya (bencana) jika disalah gunakan. Selain itu, pemilihan tabuh ini juga sebagai sebuah apresiasi terhadap penciptanya dan penyajian tabuh ini sebagai identitas dari Kabupaten Badung. Karya-karya baru yang disajikan juga tidak kalah menarik dan terkait dengan tema serta konsep Pasir Ukir tersebut
Yang menarik perhatian penulis adalah dihadirkannya karya-karya yang bersumber dari kearifan lokal setempat khususnya yang ada di Kabupaten Badung seperti keberadaan Pura Telaga Waja Sakti berada di Desa Bualu, Kecamatan Kuta Selatan yang menginspirasi lahirnya karya Gegitaan Telaga Waja Sakti, Tabuh Pepanggulan Tapak Ngalu dan Fragmentari Sundari Ciptaning.
Kemudian sebuah tempat di Desa Blakhkiuh Kecamatan Abiansemal yaitu Gili Dukuh yang menginspirsi lahirnya Tabuh Pepanggulan Kreasi Gili Manik. Tradisi Siat Yeh yang berada di Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan menyiratkan esensi mengenai tradisi budaya yang adi luhung yang memadukan permainan tradisional sambil melempar air dengan menggunakan batok kelapa yang diimbangi dengan bercanda gurau, bernyanyi, saling menghormati, menghargai, satu rasa asa kebersamaan.
Penulis rasa sangat penting untuk menggali dan mengangkat kearifan lokal setempat melalui karya seni sebagai media ungkap sehingga masyarakat mengetahui tentang keberadaan potensi yang sangat luar biasa tersebut dan penulis meyakini masih banyak potensi kearifan lokal di Kabupaten Badung yang perlu di ekplorasi dan diangkat ke masyarakat luas salah satunya melalui media karya seni
Interaksi antara penari dan penabuh sudah disuguhkan diawal penyajian tari kreasi toya raga, dimana pada bagian awal beberapa penari masuk kedalam barisan gamelan dari sekeha gong anak-anak yang berada di bagian tengah panggung.
Pada bagian selanjutnya, salah satu penari mendekati sekeha gong wanita tepatnya juru ugal yang saling berinteraksi sehingga melahirkan sebuah gambaran seorang ibu dan anaknya. Interaksi ini berlanjut pada penyajian lainnya dan puncak dari interaksi antara penari dan penabuh adalah penampilan karya Angklukat Agung dengan bagian akhir pagelaran bernyanyi bersama sambil melempar air sebagai visualisasi tradisi siat yeh. Dari interaksi tersebut maka pagelaran Gong Kebyar Duta Kabupaten Badung terlihat sangat atraktif dan komunikatif.
Gerimis hujan ditengah perjalanan sajian duta kabupaten badung yang mengguyur panggung Ardha Candra tidak membuat para penyaji menyelesaikan pagelaran, namun duta Kabupaten Badung ini menikmati setiap tetesan air yang jatuh dari langit. Seketika penulis mengaitkan kejadian tersebut dengan pidato Menteri Dalam Negeri saat membuka Pesta Kesenian bali tahun 2022 waktu lalu yang megatakan “Kalau hujan kita anggap bahwa tuhan meminta kita untuk memuliakan air”.
Maka dapat diambil sebuah hikmah dari hujan yang turun saat pementasan duta Kabupaten Badung yaitu tentang keiklasan mempersembahkan sebuah sajian mengenai pemuliaan air sebagai sumber kehidupan. [T]