Penggunaan istilah Meme sendiri sering dijumpai di semua platform sosial media, baik itu Facebook, Twitter maupun Instagram dan beberapa diantaranya cukup viral. Meme adalah sebuah gambar yang disertai dengan narasi-narasi lucu namun ada juga meme yang berisi kritik, sarkasme, politik dan lain sebagainya. Kemajuan teknologi informatika memudah seseorang untuk menyampaikannya pandangannya terhadap sesuatu melalui meme.
Meme akhir-akhir ini digunakan untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Namun beberapa meme telah melanggar kesantunan. Kesantunan tetap dikedepankan dalam menyampaikan kritik sehingga meme yang dibuat tidak mengandung fitnah, ujaran kebencian, dan bahkan menghina. Hal ini yang terkadang terlupakan dalam membuat meme. Setiap orang berhak memberikan kritik dalam bentuk apapun tetapi hal yang perlu diingat adalah menyampaikan kritik tersebut dalam bingkai kesantunan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 45 A ayat 2 dinyatakan setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Lahirnya UU tersebut pada intinya untuk memberikan efek jera bagi seseorang yang menyampaikan kritik atau pendapat dengan cara yang tidak santun. Namun ada saja pembuat meme melanggar kesantunan dalam bermedia sosial. UU yang ada tampaknya belum ampuh memberi efek jera terhadap pembuat dan penyebar meme.
Akhir-akhir ini ramai dibahas mengenai meme stupa Borobudur mirip Jokowi. Meme tersebut menimbulkan kegaduhan karena dianggap menghina Jokowi sebagai presiden dan menghina umat Buda. Melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah sah-sah saja dilakukan tetapi yang perlu diperhatikan apakah cara melakukan kritik tersebut tidak merupakan penghinaan, menyinggung agama yang lain.
Kasus-kasus seperti ini terus saja muncul. Hal ini mungkin disebabkan karena masyarakat tidak memiliki kompetensi literasi digital. Apabila hal ini diakibatkan oleh tidak dimiliki kompetensi literasi digital, maka pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat berkaitan dengan kompetensi literasi digital dan menyosialisasikan UU Nomor 19 tahun 2016
Menurut Kominfo, Siberkreasi, dan Deloitte (2020) ada empat area kompetensi literasi digital yaitu digital skill, digital culture, dan digital safety. Digital skill adalah kemampuan dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta operasi digital.
Digital culture merupakan kemampuan individu dalam membaca, menguraikan , membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari. Digital ethics adalah kemampuan individu dalam menyadari , mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan , dan mengembangkan tata kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari.
Digital safety merupakan kemampuan individu dalam mengenali, memolakan, menerapkan, menganalisis , dan meningkatkan kesadaran keamanan kesadaran digital dalam kehidupan sehari-hari.
Di dunia digital dikenal netiket (network etiquette) yaitu tata krama dalam menggunakan internet. Hal yang paling mendasar dari netiket adalah disadari bahwa berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain. Pola komunikasi yang santun ini hendaknya dikedepankan sehingga interkasi yang dilakukan tetap dalam bingkai kesantunan. [T]