“Ngantos ujan nget ked jam dasa kone. Yen nu ujan, buung pentas!” kata seorang penabuh baleganjur kepada temannya. Terjemahan bebasnya; “Menunggu hujan reda hingga pukul sepuluh katanya. Jika masih hujan, batal pentas!”
Penabuh itu menggunakan baju kaos biru lengkap dengan kamen, saputan, senteng dan udeng. Jika dilihat-lihat, pakaian yang dikenakan tak semewah sekaa baleganjur lain yang pentas pada malam itu. Pakaiannya lebih mirip pakaian ngayah, tetapi tentu saja lebih bagus dari sekadar pakaian ngayah.
Malam itu, Selasa, 14 Juni 2022, saya menonton lomba baleganjur “hampir” se-Provinsi Bali (karena Jembrana, Buleleng dan Bangli tidak ikut lomba) – serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) 2022 di Panggung Ardha Candra, Taman Budaya, Art Centre Denpasar. Lombanya diadakan dua hari, dan Selasa malam itu adalah hari kedua.
Karena hujan tiba-tiba turun, saya pun berteduh di celah atap angkul-angkul tempat biasanya para seniman berhias, tepat di bagian selatan panggung terbuka Arda Chandra.
Kalau saya tidak salah mengingat, tahun 2012, pada ajang PKB juga, pementasan Gong kebyar Dewasa Duta Jembrana melawan Karangasem terpaksa ditunda karena hujan. Saya kebetulan menjadi penabuh waktu itu, sedikit tidaknya saya paham kekhawatiran penabuh yang saya ceritakan di awal tadi.
Persiapan sudah matang namun hujan malah datang. Ya. Art Centre kehujanan.
“Mbak Rara tolong dibantu!” teriak salah seorang penonton.
Hujan turun cukup deras sehingga menunda pagelaran lomba malam itu. Padahal saya sudah berangkat selidan supaya dapat tempat duduk yang bagus. Setidaknya posisi duduk yang nyaman untuk menonton.
Senin kemarin, pada lomba baleganjur hari pertama, saya datang agak malam sehingga tidak dapat tempat duduk dan ketinggalan menonton duta Kabupaten Badung yang pentas urutan pertama. Jadi hari itu saya lebih peradang.
Selain ingin merasakan pengalaman menonton langsung pementasan baleganjur setelah sebelumnya hanya lewat Youtube, juga untuk ngagen (sengaja dengan amat sangat) menonton duta Kabupaten Gianyar yang sudah didesas-desuskan “radikal”, “kontemporer”, “mendobrak pakem” atau istilah-istilah lain dari mulut-kemulut yang bisa jadi muncul dari sebuah kelatahan. Saya suka hal yang baru.
Hujan mulai reda, penonton mulai megarang tempat duduk. Saya tidak terlalu suka megarang, jadilah saya duduk di tempat yang tersisa saja. Penonton bersorak ria kala lampu mulai dimatikan. Pokoknya cepat sekali responnya.
Kursi penonton saat itu terlihat penuh, di sebelah barat terlihat semburan uap vape yang terlihat seperti paus-paus yang sedang bernapas di tengah lautan. Di sebelah selatan ada pedagang yang diusir petugas keamanan, sementara petugas lain asik mengabadikan momen tersebut sebagai bahan laporan, atau mungkin untuk dijadikan sebatas kenangan.
Ramai dan Riuh. Walau hujan, mereka tetap semangat menonton. teriakan penonton memuncak kala MC mulai menghaturkan salam. Aacara pun dimulai
Penonton yang Memadati Panggung Terbuka Arda Candra setelah hujan reda | Dokumentasi oleh Gede Yogi Sukawiadnyana
Gianyar dapat urutan pertama. Gianyar diwakili Sanggar Chandra Nada Yowana, Ubud, membawakan garapan berjudul WOS (Wave of Springs).
Dikutip dari tulisan di tatkala.co, garapan ini menceritakan tentang WOS yakni sebuah sungai suci yang membentang dari hulu wilayah Ubud. WOS juga merupakan akronim dari penciptaan karya yang berjudul “Wave of Spring.”
Garapan ini mengacu pada pengolahan sumber gelombang air, dan arah penciptaanya berpijak pada transformasi tematik tetesan, aliran, percikan, gelembung, dan gelombang air menjadi bunyi-bunyi teratur dalam bingkai komposisi dengan media gamelan baleganjur.
***
Tiba-tiba lampu mati, penabuh Ubud masuk mengambil posisi. Pemain kendang duduk di depan pemain kempur dan bebende, pamain ceng-ceng dan riong tidur terlentang.
“Kel daki bajune!” Terdengar komentar salah seorang penonton. Peonton mengomentari pakaian penabuh itu yang mungkin akan jadi kotor.
Ya pakaian penabuh itu menggunakan baju kaos dengan jubah putih sebagai luaran. Udeng kain batik berisi bunga pucuk merah. Saputnya terlihat tidak seragam.
MC kemudian membacakan judul garapan yakni Wave of Spring. Penonton langsung bergumam, entah karena tidak mengerti, kaget, atau tidak jelas mendengar, karena jujur saja, saat itu kualitas sound terdengar kurang baik dari sisi selatan panggung, tempat saya duduk.
Dibacakan juga oleh MV tentang orang-orang kreatif di belakang garapan ini. Ada Wayan Sudirana sebagai konseptor. Ada Putu Septa Sueca Putra, Kadek Janurangga, dan Wayan Diana Putra sebagai komposer.
Mereka adalah dedengkot musik baru di Ubud. Sudirana adalah komposer musik baru untuk gamelan sekaligus dosen musik ISI Denpasar. Karya-karyanya tidak perlu diragukan lagi. Bersama kelompok gamelan Yuga Nada ia selalu memberi semangat dan napas baru untuk gamelan Bali.
Septa adalah senior saya. Dia memang “radikal” namun dengan dasar yang sadar, tidak ngawur. Karya-karyanya mulai dari gamelan baru hingga garapan musiknya yang mendapat sentuhan-sentuhan dengan elektronik layak dikagumi.
Diana adalah dosen saya di ISI Denpasar. Ia rajin menulis dan karyanya banyak mengandung semacam refleksi baru yang diolah dari berbagai idiom gamelan. Janurangga di satu sisi adalah komposer muda yang saya segani. Karyanya juga segar dan menarik.
Memang sangat panjang jika menceritakan masing-masing komposer ini. Karena memang mereka memiliki pergerakannya sendiri-sendiri sehingga tidak ada yang seolah berlindung di ketiak orang lain. Mereka seniman yang mandiri.
“Sing misi sinopsis?”gumam salah seorang penonton.
Ya sinopsisnya memang tidak dibacakan. Saya juga bertanya-tanya dalam hati.
***
Lampu kemudian menyala, pembawa papan nama yang mengambil posisi di tengah kemudian membacakan sinopsis dari karya WoS ini. Saya tidak bisa mendengar dengan jelas. Tapi yang menempel di otak saya adalah “mengutamakan esensi daripada sensasi”.
Tentu saja bisa dipertanyakan kembali pembacaan sinopsis oleh pembawa papan nama ini, apakah esensi atau sensasi.
Di luar itu, muncul format yang menarik. Penonton mendadak hening. Instrumen reong dan ceng-ceng bermain dengan lirih bergantian dengan pembacaan sinopsis.
“Gong besi to ae?” tanya seorang penonton di sebelah kanan saya kepada seorang temannya. Jika didengar dari suaranya nampaknya yang dimainkan itu memang gong besi.
Jujur saja alat yang digunakan pun bukan alat yang terbaik. Reongnya agak sedikit bero walaupun tidak sampai ke level yang mengganggu. Sangat kontradiktif dengan konteks “lomba” dimana para peserta akan memastikan alat yang digunakan adalah alat yang terbaik. Bila perlu menyewa dengan harga mahal dan diupacarai supaya lebih “metaksu” (katanya).
***
Saya tidak akan menjabarkan bagian per bagian dari karya ini. Disamping agar tidak terkesan sok tau atau sok paham, rekamannya juga sudah bertaburan di media online seperti YouTube. Saya dengan otak yang sebesar biji kedelai ini akan lebih membicarakan apa yang saya rasakan dan opini saya terhadap karya ini. Serta hal-hal yang menarik yang sekiranya bisa didiskusikan lebih lanjut. Tentunya sangat subyektif dan boleh tidak setuju.
Bagi saya, Gianyar harusnya Juara!
Saya sadar pernyataan itu memang pernyataan yang non populer, namun itulah adanya. Opini saya didasari oleh kriteria lomba yang digunakan sebagai acuan. Kalau tidak salah, teknik pemain memiliki presentase yang paling tinggi di antara parameter penilaian yang lain, disusul oleh ide.
Kalau boleh jujur, Gianyar memiliki tehnik bermain yang lebih unggul dibanding yang lain. Denpasar memang memiliki tenaga dan ketepatan bermain pada tempo tinggi – Saya angkat topi untuk penabuh Denpasar. Namun kalau lebih obyektif, pola yang dimainkan oleh penabuh Gianyar sangatlah rumit, dan mereka bermain seolah tanpa beban. Itu sangat rumit. bukan masalah cepat-cepatan lagi, namun lebih ke arah ketepatan bermain di ketukan yang ganjil, bahkan singkup.
Penonton pun sampai bersorak ketika ada bagian tabuh yang rumit dan dimainkan secara cepat.Masalah tehknik tetekes, tetuek, tentunya penabuh Gianyar terlihat sangat berpengalaman. Rapi dan apik.
Ide yang ditawarkan Gianyar mungkin bukan sesuatu yang spesial namun pilihan menghindari ide-ide medioker seperti air terjun, air suci, atau jenis air lainnya patut ditelisik juga.
Komposer memilih berfokus kepada gelombang air dan teraplikasikan dengan baik pada garapan WoS ini. Terlihat dari komposisi yang naik turun seperti gelombang. Kadang tenang lalu keras di suatu waktu. Perncarian timbre suara juga sangat menarik dan kreatif, semisal menggantung reong dan memukulnya secara terbalik, memainkan reong ala kajar trenteng, mendekatkan cengceng pada kendang membuat saya curiga bahwa hal-hal itu bertujuan untuk mendapat timbre baru – meski pada tehnik ini saya tidak terlalu bisa mendengar hasilnya.
Sangat terlihat usaha para komposer untuk mendorong baleganjur agar bisa menemukan esensi yang baru.
Sepanjang pementasan terdengar komentar-komentar dari para penonton. “Kok begini lagunya?”, “Sing ngerti ake!”, “Nak ngujang ne?”, “ape ne?” dan yang paling menarik adalah “sing kena ban cen pengawakne, cen pengecetne”.
Nah, ini baru seru!
***
Sistem Tri Angga memang selalu menjadi acuan di setiap garapan yang dipentaskan di PKB. Ini berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya selama bergelut di PKB. Seolah itu adalah dasar sebuah karya seni yang bagus. Dan jadilah itu sebuah pakem.
Memang benar Tri Angga sudah menjadi kesepakatan yang konvensional sejak dahulu. dan dianggap sebagai warisan dari leluhur atau tetua kita dahulu sehingga patut dilestarikan.
Sebenarnya Tri Angga sesimpel membagi karya menjadi 3 bagian yakni kepala, badan, dan kaki. Sepertinya ini juga dapat ditemui di berbagai jenis karya seni yang lain. Seperti juga sebuah karya tulisan, ada awalan, isi dan penutup. Di luar adi luhungnya konsep Tri Angga ini perlu disadari juga bahwa itu memiliki keterbatasan juga.
Mari imajinasikan manusia sebagai perwujudan Tri Angga, tentu akan sangat mudah membedakan mana kepala, badan dan kaki. Sekarang imajinasikan ular. Ya kakinya tidak ada, dan ada ekornya. Coba imajinasikan laba-laba, badan dan kakinya menempel.
Bagaimana dengaan jerapah? Apakah lehernya yang panjang juga menjadi bagian yang penting jika dibagi? Sehingga pembagiannya menjadi kepala, leher, badan kaki dan ekor, lalu akankah kita menyebutnya panca angga?
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada pendahulu yang sudah mencetuskan Tri Angga sebagai gegulak dalam berkarya, perlu ditumbuhkan kesadaran juga bahwa bagian pada karya tidak hanya terbatas pada kepala, badan dan kaki. Tentunya bagian akan hadir dan menyesuaikan dengan jenis tubuh yang akan dibangun, entah itu buaya, elang, jerapah, laba-laba maupun ular. Pada seni itu sah!
Memang sangat sulit untuk membaca bagian karya WoS ini jika menggunakan kaca mata Tri Angga. Bukan karena karyanya tidak jelas, namun kaca mata yang digunakan kurang tepat. Saya merasakan perpindahan bagian disetiap “jeda” yang dibangun pada karya ini. Meski saya tidak bisa menebak secara pasti itu berapa bagian. Tidak penting juga untuk menebak itu.
Secara penampilan, Gianyar juga memberi banyak tawaran baru dan rasional. Koreografer De Krisna piawai dalam membangun suasana serta tensi pertunjukan lewat permainan posisi, ekspresi serta tempo gerak. Tidak ada gerakan yang aneh-aneh seperti bermain cengceng sambil kayang, push up, nengkleng, ningkang, berguling dan lainnya – gerak seperti ini biasanya bertujuan untuk menunjukkan kalau penabuh memiliki kemampuan akrobatik – palingan pemainnya hanya tiduran dan itu tidak mengganggu sama sekali.
Saya pun menikmati karya ini tidak hanya sebagai karya musik namun karya tari juga.
***
Gianyar penting untuk menjadi juara. Menonton penampilan Gianyar, saya menjadi bergairah. Mendengar bahwa penonton juga menikmati karya seperti ini membuat saya berfikir, ternyata penonton tidak sepenuhnya awam. Hampir di setiap kejutan-kejutan penonton bersorak – meski tidak se-intens Denpasar yang penampilannya memang memukau – ini menandakan bahwa meraka menikmati sajian dari garapan balaganjur ini. Bukan karena mereka mengerti namun karena merasakan pengalaman yang hadir ketika mendengar karya ini.
Jika Gianyar juara, sepertinya – sesuai dengan kebiasaan lomba – peserta lainnya akan ikut menggunakan format yang digunakan Gianyar. Namun harus benar-benar diingatkan bahwa yang penting adalah esensinya bukan sensasinya. Kadang-kadang banyak yang salah menduga bahwa karya yang ditampilkan Gianyar “hanya sekedar beda”. Kesahadugaan itu kemudian melahirkan karya-karya ngawur seperti kelatahan kontemporer.
Semangat kebaruan Gianyar sangat perlu diapresiasi. Ini tidak terlepas dari creator-kreator yang bekerja di baliknya
Satu hal mungkin yang saya kritik dari karya ini adalah bagian tengah yang terasa monoton. Curiga saya ini terjadi karena hal baru yang intens di bagian awal membuat saya jadi terbiasa dengan hal baru yang akan datang selanjutnya. Karena ini pertunjukan musik, mau tidak mau hal-hal ini mesti diperhatikan.
Namun kejutan di akhir garapan sukses membuat saya kagum. Pemain cengceng memainkan pola yang begitu cepat, seolah berkata “Cang nak sakti masih main ceng-ceng” – Saya sakti juga main cengceng.
Ya, pada karya itu pun disambut dengan sorakan, tepuk tangan dan pakrimik dari penonton. Ada yang memuji, ada yang menyindir, ada yang mencaci, ada yang kebingungan, ada juga yang seolah paham dan mencairkan suasana.
Setelah Gianyar, dilanjutkan penampilan duta Kabupaten Klungkung. Bersamaan dengan itu, hujan kembali turun dengan deras. Saya pun memutuskan untuk melanjutkan menonton via daring. Saya salut dengan penabuh Kelungkung yang tampil all out meski keadaan sedang hujan. Demikian juga dengan Karangasem yang sangat semangat pada penampilannya. Meski saya menonton via live YouTube
Kesimpulannya, apakah karya WoS ini salah panggung? Ya! Seharusnya karya ini ditampilkan di panggung yang lebih prestisius. PKB masih terlalu dini untuk menerima karya seperti ini. Tapi perlu diingat juga, pernikahan dini belum tentu serta merta membuat hidup sengsara, jangan-jangan itu hanya dugaan.
Telepon saya berbunyi, “Jak kude kau kal mai?”. Itu teman saya Heri mengirim chat, saya ada janji mencoba rawon di warungnya. Heri seorang musisi, dan jago memasak. Saya lalu berpikir, Heri itu kontemporer! [T]
Juni 2022