Bagi umat Hindu di Bali, momentum hari suci Galungan menjadi waktu yang banyak dimanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga, tidak terkecuali saya sendiri. Seperti halnya yang saya lakukan sebelum-sebelumnya, saya menjalani hari suci Galungan di tanah kelahiran, yakni di Kubutambahan, Buleleng.
Kalau sudah hari raya, saya dan saudara-saudara pasti diharuskan bangun lebih pagi dari biasanya—meskipun begitu saya tetap bangun siang. Hehe. Kira-kira jam 10 pagi, saya dan keluarga berangkat menuju pura-pura yang ada di wilayah Desa Kubutambahan, lebih tepatnya 5 (lima) pura, yakni: Pura Desa, Pura Dalem, Pura Maduwe Karang, Pura Segara, dan Pura Dalem Puri Desa Kubutambahan.
Tapi momen yang paling ditunggu-tunggu adalah keesokan harinya—Umanis Galungan. Hari ini kerap kali dimanfaatkan untuk mengunjungi daerah wisata terdekat. Kalau bicara soal jarak, maka destinasi wisata terdekat dari kampung halaman saya adalah “Air Sanih”.
Kalau saya cek di aplikasi Google Maps, jarak antara kampung halaman saya dengan Air Sanih sekitar 4,3 km atau memakan waktu tempuh selama 5 menit. Akhirnya pada Kamis pagi, saya dan keluarga (tidak semua) berangkat menuju Air Sanih, berbekal roti tawar satu bungkus, sekaleng susu kental manis, dan dua pack yakult—saya sudah minum dua, hehe.
Sedikit Cerita Tentang Air Sanih
Kolam Air Sanih sudah menjadi destinasi wajib untuk saya kunjungi ketika saya berada di Kubutambahan—ya mungkin sudah sejak saya duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Kalau diingat-ingat, dulu saya bersama Ninik sering menggunakan Bemo (Angkutan Umum di desa) saat ingin pergi ke Air Sanih.
Menurut babad “Besi Mejajar”, “Air Sanih” yang juga akrab disebut “Yeh Sanih” yang dalam bahasa Bali berasal dari kata “Ersania” yang memiliki arti kelod kangin (timur laut)—mungkin ini juga menunjukkan keberadaan Air Sanih. Konon juga air yang ada di kolam Air Sanih ini bersumber dari Danau Batur, mungkin nanti saya harus menanyakan ini pada sahabat saya Jero Penyarikan Duuran Batur, hehe.
Sampai hari ini, Air Sanih menjadi destinasi favorit bagi warga yang berada di sekitaran Buleleng Timur, bahkan di luar itu pun kerap kali berkunjung ke tempat ini. Seiring berjalannya waktu, berbagai pengembangan dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung. Perkembangan terakhir yang saya lihat, seperti: sudah ada semacam kolam arus yang tidak terlalu dalam dan banyak dimanfaatkan oleh anak-anak untuk bermain di bawa pengawasan orang tuanya.
Kemudian saya lihat fasilitas seperti ruang ganti semakin banyak jumlahnya, termasuk tempat membilas diri setelah mandi di kolam. Dan (mungkin) yang menjadi favorit bagi kalangan anak-anak adalah perosotan air dengan besar yang bervariasi—kebetulan adik sepupu saya menghabiskan 2 jam hanya untuk bermain di sana. Meski pengembangan telah dilakukan di berbagai sisi, tapi kalau bicara soal tiket masuk, pihak pengelola masih mematok tarif yang bisa dikatakan terjangkau. Orang dewasa dikenakan Rp. 8.000, dan anak-anak sebesar Rp. 5.000. Terjangkau bukan?
Kenyamanan atau Pendapatan: Bisakah Kita Menangkan Semuanya?
Suatu destinasi wisata harus menghadirkan kenyamanan bagi setiap pengunjungnya. Sekiranya, itulah yang saya yakini sampai detik ini. Bukan tanpa alasan, terbukti di setiap destinasi wisata yang ada di Bali berlomba-lomba memperbaiki infrastrukturnya guna menghadirkan kenyamanan pengunjungnya—wisatawan lokal khususnya, dan wisatawan manca negara utamanya. Kenyamanan tidak semata-mata dihadirkan lewat infrastruktur, tapi bisa juga dihadirkan melalui kebijakan ataupun sistem yang diterapkan dalam satu destinasi wisata.
Tentu bukan hanya saya dan keluarga saya saja yang berpikiran kalau Umanis Galungan menjadi momen untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, tapi masih banyak lagi yang berpikiran demikian. Momen yang pas, ditambah tarif tiket masuk yang terjangkau menjadikan Air Sanih menjadi destinasi utama bagi warga Buleleng khususnya di bagian timur. Ratusan orang tumpah ruah di tempat wisata ini. Banyak anak-anak berebut untuk menaiki wahana baru yang sudah saya sebutkan tadi, tapi lebih banyak lagi anggota keluarga yang mencari tempat menunggu anggota keluarga lain yang sedang berenang—dan itu saya rasakan.
Ratusan pengunjung pada hari Umanis Galungan tentu menjadi pemasukan yang menggiurkan bagi pengelola. Tapi saya rasa itu bukanlah hal yang bijak, apalagi Indonesia belum mendeklarasikan diri telah melalui pandemi Covid-19. Sehingga, penting kemudian menurut saya untuk pihak pengelola membatasi jumlah tiket yang dijual pada hari tersebut, tentu dengan pemberitahuan sebelumnya. Hal ini penting untuk menciptakan kenyamanan bagi para pengunjung.
Apabila hal tersebut sulit untuk dilakukan, cara lain bisa dilakukan dengan menambah areal berteduh atau menunggu bagi anggota keluarga yang tidak ikut berenang, setidaknya hal ini dapat menambah rasa nyaman para pengunjung.
Dan saya rasa, pihak pengelola pasti memiliki data pengunjung di setiap tahunnya. Sehingga data tersebut dapat menjadi pedoman dalam memperkirakan kapan lonjakan pengunjung. Jadi sebelum gelombang pengunjung itu datang, pengelola harus mempersiapkan infrastruktur sebaik mungkin.
Sebagai tempat wisata yang dikelola oleh masyarakat, sudah seharusnya masyarakat menunjukkan profesionalitas dalam hal pengelolaan dan penerapan sistem. Hal ini juga sudah pernah saya lihat saat Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Ambengan dengan penuh keseriusan mengelola sistem dan membangun infrastruktur destinasi wisata Air Terjun Jembong (dekat Posko KKN saya semasa mahasiswa).
Jadi, meski Air Sanih kerap dikunjungi wisatawan lokal, jangan sampai hal tersebut mengurangi niat pengelola untuk menghadirkan kenyamanan bagi pengunjungnya. Betul apa betul? [T]