“Siapa pun yang mempertahankan kemampuan untuk melihat keindahan, tidak akan pernah menjadi tua.” – Franz Kafka.
Penulis berpengaruh berdarah Yahudi, kelahiran Praha, Ceko, itu dengan terang merumuskan fenomena penuaan pada makna kualitasnya bukan pada usia biologisnya. Dan gagasan sang penulis memang telah dikonfirmasi oleh mimpi buruk pada umumnya orang yang merasa segera akan menjadi tua.
Bagi sebagian besar kita, usia tua adalah ibarat gulag bagi ketidakberdayaan, ketergantungan, kesuraman dan sumber beban untuk generasi selanjutnya. Asumsi ini bukanlah semata-mata didasari oleh stigma ataupun firasat buruk semata. Namun berbagai keadaan rentan memang menyeruak nyata baik dari dalam diri seorang lansia maupun yang mengepung dari sekitar.
Dari aspek fisik, tubuh lansia secara alami telah mengalami kemerosotan kualitas fungsionalnya yang ditandai dengan kelemahan umum, penurunan kelenturan dan kekuatan otot sendi, gangguan keseimbangan dan sebagainya. Pun pada sisi mental, lansia akan mengalami penurunan daya ingat, kemampuan analisis atau kekacauan suasana hati.
Belum lagi secara relatif, lingkungan yang pelan-pelan menjadi tak bersahabat, anak tangga yang sulit ditaklukkan, perubahan cuaca yang mengagetkan atau perhatian keluarga yang tampak menjauh.
Nah, Kafka benar, lansia akan tiba pada satu kubangan di mana ia tak sanggup atau sempat lagi menyaksikan keindahan. Mengintip pun mungkin sudah tak punya peluang.
Dari situasi itulah kemudian, di antara kita lantas terjadi berbagai hal menarik, menyikapi persoalan fenomena lansia ini. Karena rasa takut akan terlantar di masa tua, maka kita harus menikah. Karena berdua kita dan pasangan pada akhirnya akan menjadi tua, maka tentu saja kita harus punya anak yang kita harapkan mau merawat kita saat lansia. Karena jika anak perempuan akan diperistri oleh pria yang merupakan jodohnya kelak dan akan menjadi keluarga orang lain, maka kita harus punya anak lelaki.
Maka saya pun punya kenalan yang sampai anaknya yang ke-4 atau ke-5 belum juga laki-laki. Nah situasi dapat menjadi makin ruwet saat strategi selanjutnya adalah perlu istri ke-2 untuk dapat kiranya memberikan anak lelaki mengingat istri pertama tak kunjung memberikannya.
Padahal kita ketahui bersama, apakah anak kita yang lahir kelak lelaki atau perempuan, sepenuhnya ditentukan oleh tipe kromosom dari sel sperma ayahnya. Tipe kromosom Y sel sperma seorang lelaki jika bertemu dengan sel telur istrinya akan melahirkan seorang anak lelaki. Jika tipe X-nya yang membuahi, maka akan menjadi bayi berjenis kelamin perempuan. Maka dalam hal manuver menambah istri lagi, masih baru sebatas harapan belaka, karena belum dapat memberi jaminan.
Hal menarik lain adalah, karena tak punya keturunan atau punya anak namun menyangsikan ketulusan mereka, maka merasa perlu menyiapkan tabungan hari tua yang sebanyak-banyaknya. Sebagai sebuah opsi lain untuk mengarungi hari tua yang penuh ketidakpastian. Uang memang berperan dalam banyak persoalan namun senantiasa dibayangi intip dan intrik.
Pengalaman itulah yang saya temukan saat aset yang sedemikian besar lalu menjadi medan konflik di kalangan kerabat sampingan lansia yang telah almarhum karena ketiadaan dokumen yang kuat dan legal terkait wasiat pembagian warisan mendiang yang tak punya anak.
Kisah ini telah memberi kesan kepada kita, betapa sulit dan tak bersahabatnya hidup ini. Semakin ingin kita kuasai dan taklukkan, hidup kian bergolak melawan. Bahkan seorang pangeran Sidharta Gautama pun memilih untuk mundur tak hendak terus menghadapai hidup yang keras ini. Memilih menjadi seorang pertapa, sebelum segala penderitaan yang niscaya menghadang saat berusia lanjut seperti penyakit, proses penuaan dan tentu saja kematian.
Sesungguhnya, ia telah memulai penderitaannya secara sadar sebelum penderitaan datang menghampirinya. Namun bedanya, kelebihannya, sang Budha menyusuri penderitaannya dengan cara yang sedemikian indah. Hingga abadi sampai kini.
Gagasan ini telah bertemu dengan pemikiran Kafka, segalanya akan berubah, penuaan, penderitaan dapat menjelma menjadi keindahan. Suatu keadaan yang berkontemplasi pada hakikat nilai waktu, bukan pada panjangnya waktu atau usia. Jika kita dilahirkan dalam keadaan yang sangat lemah, sendiri dan tak punya apa-apa, bagaimana mungkin saat menjelang akhir hayat, pada posisi kurva yang sama dengan kelahiran, kita berambisi menjadi kuat, banyak pengawal dan berlimpah harta atau kuasa?
Ini jelas tampak sebagai sebuah skenario cerita yang mengundang berbagai risiko dan bahaya. Bukankah seharusnya kita mulai belajar menyendiri lagi? Melonggarkan ikatan harta yang terlampau mengekang kemerdekaan tubuh dan pikiran kita. Lalu ikhlas menerima tubuh kita yang tak lagi perkasa dan otak kita yang tak lagi teliti.
Bagaimana jika kita mulai lagi menikmati betapa asiknya memasak atau mencuci pakaian sendiri. Membersihkan halaman dan merawat tanaman hias kesayangan dengan jejari tangan kita sendiri. Dedaunan kering yang berserakan dan pucuk-pucuk muda tanaman yang menjulur menggapai sinar surya adalah ranting-ranting kisah yang telah menjaga sebatang pohon selalu riang.
Tetap riang ketika menerima entah tetesan air hujan yang dingin atau hangatnya sinar mentari. Juga daun dan dahannya yang tak pernah enggan mengikuti kemanapun hembusan angin. Dari tetumbuhan, kita banyak belajar menjadi lansia yang berkualitas.
Hippokrates mengatakan, jalan kaki adalah obat paling mujarab. Maka lakukanlah itu sejak sekarang, bahkan sejak masih muda untuk menjaga kesehatan kita. Satu aspek yang sangat penting saat seseorang kelak menjadi lansia. Begitu juga membaca dan berdiskusi. Kebiasaan baik ini harus diteruskan untuk mempertahankan sel-sel otak tetap terjaga di kala senja kehidupan kita.
Semakin kaya referensi, akan dapat menuntun seseorang dapat melihat satu isu dari berbagai sudut pandang. Itu syarat penting untuk menjadi bijaksana. Dan seorang lansia memiliki kesempatan itu berkat waktu panjang yang telah dilaluinya melewati berbagai referensi zaman, pengalaman dan peristiwa. Jangan lupa satu keindahan yang lain, yaitu berbagi.
Mengurangi ikatan harta dengan mudah dapat dilakukan dengan berbagi, membantu yang lain. Karena dunia kita saat ini bukanlah era kaum pertapa. Dengan kebaikan ini niscaya belenggu ikatan harta dapat dikurangi dan meringankan langkah-langkah kaki kita yang telah menurun kekuatan fungsionalnya. Mungkin konsep berpikir ini belum sepenuhnya kita pahami, namun kita selalu punya kesempatan menemukan rahasia-rahasia semesta yang masih terpendam.
Pada akhirnya kita akan sampai pada gagasan hebat seorang tokoh masyur Walt Disney, “Menjadi tua adalah wajib, tetapi menjadi dewasa adalah pilihan.” Mari siapkan perahu kebahagian mengarungi samudera hari tua kita.[T]