KEBERJARAKAN ADALAH MODAL
Saya menulis ulasan ini dengan berbagai keberjarakan.
Pertama, keberjarakan dengan Rollfast, band post rock asal Bali ini yang sebagian besar anggotanya tinggal satu kota dengan saya, di Kota Denpasar. Saya lebih senang melihat mereka saat manggung, dibanding harus mendengar sendiri di platform pemutar musik kesayangan.
Terus terang saja, saya tidak mengikuti album pertama mereka, hanya dua kali menonton langsung dan ikutan pogo di depan panggung. Kata beberapa kawan kepada saya, Rollfast memilih jalur aliran berbeda di album kedua, itu adalah jalan yang berani, dan dengan penuh kesadaran, mereka memahami akan kehilangan pendengar terdahulunya.
“Alirannya Rollfast berbeda sekarang yah, aliran apa namanya?!” kata Pak Dek Unggit pemilik kedai arak Pan Tantri di Sanur, di hari Sabtu bulan Mei 2022
“Aliran apa ya, hehehhee,” jawab Agha vokalis Rollfast
“Kalau dulu kan Rollfast, baru Jangar. Sekarang Jangar lagi naik yah,” lanjut Unggit
“Iya, main di mana-mana,” jawab Agha lagi
Secuil percakapan di atas, saat kami bertiga, Saya, Agha Praditya dan Tisha Sara membeli telur ikan sambel rajang di kedai Pan Tantri.
Untunglah saya bukan pendengar Rollfast dari dulu. Jadi tidak merasa kehilangan atau sakit hati, karena band Rockstar kesayangannya memilih aliran lain dari sebelumnya.
Foto: team dokumentasi Rollfast
Kedua, produksi siaran langsung Rollfast di GOR Yuwana Mandala Tembau yang akan saya telisik, berlangsung akhir tahun 2020 – dua tahun lalu, sementara saya menulisnya di tahun 2022.
Ketiga, keberjarakan isu dalam lagu-lagu yang mereka bawakan, dengan konteks waktu saat saya menulis ini, apakah masih relevan? Apakah masih dibicarakan? Mengingat hidup di kota merupakan pintasan laku yang dipenuhi berita, gosip, skandal, cerita skena, isu hangat, yang setiap hari kian cepat, kian bersliweran. Seperti kita rebahan di sofa sambil asik menyecroll reels di instagram, tahu-tahu sudah 3 jam berlalu begitu saja.
Keempat, keberjarakan latar belakang, saya bukan musisi, komposer, anak band, saya seorang penyuka kesenian yang sering menjadi kutu loncat untuk melihat kawan-kawan bergerak. Kalau ada celah bisa ikutan bergerak. Kulo nuwun dulu bagi para penggemar Rollfast di manapun berada, bagi kawan-kawan yang masih mengkotak-kotakkan kesenian, mohon maaf saya orang pertunjukan menulis musik dari sudut pandang saya.
Saya jadi ingat kalimat Mas Raka Ibrahim beberapa bulan lalu, di Ruang Baur Seni Fraksi Epos saat ia mengisi diskusi menyoal musik dan sekitarannya.
“Ayo… harus ada yang menulis, masak iya, ditulis sama orang teater,” ujar Raka.
Saya pun tertawa terbahak mendengar kalimat itu.
Keberjarakan-keberjarakan yang saya tulis di atas, justru modal untuk saya mengulas Anthembawu. Saya percaya satu karya akan memiliki interpretasi yang berbeda bagi para penikmatnya, karena penonton tidak bebas nilai, memiliki satu konsepsi tersendiri atas apa yang dilihat.
Kali ini saya menonton Anthembawu yang berdurasi 45 menit di youtube yang linknya tidak bebas akses, di bantu dengan jaringan internet yang mempermudah saya untuk mencari data-data terkait.
ANTHEMBAWU
Anthembawu merupakan satu pertunjukan musik yang dilaksanakan di Gor Yuwana Mandala Tembau, Jalan Trengguli No 5 Penatih, Denpasar Timur. Tepatnya di bagian luar gor dekat pintu masuk. Rollfast membawakan sejumlah gubahan mereka yang termaktub dalam album ke dua – Garatuba. Setelah pengambilan gambar, Anthembawu kemudian melalui proses editing, hasilnya berupa video dokumentasi musik yang diputar di Mash Denpasar 9-13 Desember 2020. Saya melihat-lihat sejumlah postingan di Instagram Rollfast dan Instagram projek ini ___insp0_tembavvu ada satu komentar kawan netizen yang menarik .
“Live in tembau keto je,” kata akun Pasekdarmawaysya
Artinya kira-kira begini : Live in tembau gitu aja katakan
Saya pun merasakan hal yang sama ketika memulai menulis, apa arti Anthembawu , memang secara pengucapan serasa mirip dengan tembau, tempat pertunjukan musik dilaksanakan. Kata mana yang lebih dulu mereka temukan, Anthembawu atau tembau. Anthembawu yang dicocokkan ke tembau, atau sebaliknya ?
Kemudian saya mencoba mencari arti kata, Anthembawu di internet, nihil – tidak saya temukan. Tapi jika dipisah Anthem dan Bawu. saya menemukan beberapa arti. Anthem dalam bahasa inggris artinya lagu kebangsaan, antem dalam bahasa Bali artinya pukul. Bawu bahasa daerah wolio berarti babi, Bawu dari Bahasa Dayak Maanyan artinya cabai, Bawu adalah sebuah desa di Jepara, – Jawa Tengah, dan terakhir saya mendapat Bawu adalah alat musik china seperti seruling terbuat dari bambu hitam. Arti bebasnya (versi saya) sebuah pukulan kebangsaan dari seruling bambu hitam dari Gor Tembau. Teman-teman dipersilahkan untuk mencari arti Athembawu sendiri, dengan menggunakan arti yang sudah saya tulis, atau dengan pengetahuan masing-masing yang mungkin saja saya belum mengetahuinya.
Proyek Anthembawu dapat saya katakan sebagai pertunjukan site spesifik. Biasanya pertunjukan semacam ini menautkan ruang, bangunan, tempat, insitu ke dalam wacana pementasan tersebut. Ruang didedah dari sudut pandang sejarah, politik, antropologis, arsitektur, planologi atau cabang ilmu lainnya. Bahkan tidak jarang dari data ruang tersebutlah narasi pementasan bergerak. Anthembawu nampaknya mengarah pada aliran pementasan ini, namun sayang beberapa hari saya mencari catatan tentang Anthembawu tidak ada yang membahas secara mengerucut atas ruang pilihan mereka.
Foto: team dokumentasi Rollfast
Gor Yuwana Mandala Tembau adalah satu diantara gelanggang olahraga yang ada di Denpasar. Bangunan ini diresmikan pada tahun 1983, diperuntukkan dalam pelaksanaan acara olahraga seperti bulutangkis, beladiri, dan lain sebagainya. Di luar gor terdapat area luas untuk belari santai, atau sekedar berjalan agar tubuh berkeringat. Sejumlah ukiran ada di beberapa sisinya terbuat dari paras, berwarna abu-abu dan merah. Saya sendiri sewaktu SMA sering ke Gor Tembau untuk menyaksikan kawan-kawan berlomba marching band. Pintu masuknya seperti pintu sekolah sewaktu SD, dengan ukiran khasnya berbentuk tangga kotak-kotak, lengkungan yang simetris, dan bagian atas ada kotak tiga dimensi menonjol.
Nampaknya dari tangga kotak-kotak itulah inspirasi dari Instalasi altar hijau stabilo yang hadir di video Anthembawu. Intalasi hijau stabilo itu berada di tengah set pementasan, tegak begitu saja, tanpa interaksi, seolah menyiratkan keangkuhan sebuah gedung dalam menatap manusia-manusia yang sedang bergerak di sekitarnya.
Saya menduga karena beberapa personil Rollfast bekerja di bidang arsitektur, tentu arsitektur yang unik menjadi pilihan. Mereka bermain tidak di dalam gedung, melainkan di luar gedung, jadi terlihat jelas bagian atap seperti tangga menanjak, itu merupakan bagian bawah tempat duduk penonton di dalam gedung. Tiang penyangga yang melintang, ornamen berlubang, ukiran-ukiran paras di beberapa sudut, serta tangga-tangga penghubung pintu masuk. Bentuk bangunan yang unik akan menghasilkan pantulan yang khas, pencaharian inilah nampaknya yang ingin dicapai.
Sayang, saya tidak menyaksikan pertunjukan ini secara langsung, jika berada di sana waktu itu, saya akan memiliki perspektif bunyi yang berbeda. Bayangkan saja bunyi terpantul di tembok, kemudian saya menonton dari berbagai sudut, misalnya di depan panggung, di parkiran, di dalam gedung, di sisi belakang gedung, bunyi akan menghasilkan satu teks yang bertaut terhadap bangunan.
Dalam video yang saya tonton, perspektif bunyi tidak hadir seperti bayangan saya menonton live, yang ada, saya seperti menonton video klip biasa.
SIMBOL-SIMBOL
Seluruh lagu dalam album Garatuba dinyanyikan dalam proyek Anthembawu yaitu Garatuba, LDR, Grand Theft Atma, Bally, Pajeromon, Methanol, Mctanol dan Rare. Saya tertarik dengan sejumlah aktor, adegan, benda rekaan yang mereka buat, untuk merepresentasikan sesuatu dalam lagu. Ada 6 yang saya suka, di antaranya pecalang perempuan, sosok perempuan virtual, sosok berbulu gading, natab by videocall, bungkusan Mctanol dan scene timelapes bagian akhir.
Pecalang perempuan yang keluar di gubahan Garatuba merupakan simbol autokritik Rollfast dalam satu sistem masyarakat Bali, yang kental dengan budaya patriarki. Budaya ini mengupayakan anak laki-laki diprioritaskan dalam berbagai lini, pengambilan keputusan, pewarisan harta, tulang punggung keluarga, yang bertangggung jawab atas rumah serta mengurus keluarga dan leluhur. Anak perempuan menjadi nomor dua. Termasuk dalam memilih pecalang di Desa Pekraman atau Banjar.
Pecalang selalu identik dengan laki-laki, karena mengurus keamanan desa jika ada upacara. Urusan perempuan ya membuat banten, membuat kopi, menyiapkan hidangan. Bukan maksud saya untuk membandingkan pekerjaan, memang semua sudah diatur sesuai komposisinya, namun jarang saya temukan peran ini saling bertukar. Laki-laki ngurus banten, perempuan jadi pecalang.
Perempuan pecalang pada Anthembawu memakai kuku palsu ukuran panjang berwarna hijau stabilo. Saya maknai sebagai perempuan selalu dituntut untuk menjaga penampilannya di manapun, kapanpun, saat bertugas sekalipun. Cap cantik harus tersemat, kalau tidak, para netizen akan berkoar sekenanya.
Sosok perempuan virtual berwarna hijau terang diLDR. Dapat dimaknai kecintaan kawan-kawan muda terhadap dunia game. Seperti kita tahu game sedang merajalela, menjadi komoditi yang sering dibincangkan, ada pertukaran nilai uang di dalamnya, bahkan sejumlah kawan rela bermain game dua malam suntuk untuk mendapatkan suatu hadiah tertentu. Kecintaan ini berbuah pada bagaimana kawan-kawan muda berinteraksi terhadap lingkungan sekitar, komunitas yang dekat dengannya, teman yang nyata hadir berbentuk fisik, keluarga yang kian waktu ada menemani.
Dunia virtual menawarkan satu bentuk komunitas, dunia lain yang sama seperti dunia nyata, jadi para pemainnya lebih nyaman ada di dunia virtual untuk menjadi siapa saja. Identitas kemudian mulai dipertanyakan, siapa kita, siapa dia di dunia virtual. Kecendrungan kawan-kawan penyuka game sulit untuk berinteraksi secara nyata, kemudian ia mencari eksistensinya di dunia virtual dengan getol mencari tantangan atau mencari penghargaan dalam game.
Fenomena ini sudah berjalan mungkin sejak 10 tahun terakhir, jika ini dikaitkan dengan kehidupan di Bali yang pada dasarnya menyama braya. Banjar, tempekan, desa pekraman semakin hari akan kehilangan anak muda aktifnya. Anak-anak muda mungkin saja akan membuat banjar virtual , banjar yang lebih mengakui diri mereka dengan kesenangan yang digeluti masing-masing. Pertanyaannya begini, siapa yang akan kena pengaruh, banjarkah yang harus berubah, atau anak-anak mudanya ? tapi sebagian anak muda menganggap menjadi STT tidak bisa nyambung obrolan, karena masih berkutat pada wilayah domestik, tidak mampu melihat keluar sesuatu yang lebih kongkret.
Waduh saya sebagai orang Bali juga susah menjawab ini, masih perlu menelaah lebih jauh..
Ada sosok menarik yang hadir di lagu Grand Theft Atma, sosok yang tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu gading, perawakannya masih memiliki tangan dan kaki sebagaimana manusia. Hanya saja ia tidak memiliki wajah, ia bergerak cepat, berlarian ke panggung, berlarian ke celah-celah pemain, mengecat dinding, merangkak seperti kadal. Sosok ini begitu asing di mata saya, kecuali bulu-bulu yang tumbuh itu, seperti bulu barong atau rangda. Hemat saya ia adalah atma yang sedang kehilangan arah, bingung mencari jalan pulang untuk perjalanan selanjutnya.
Ini dikuatkan dengan teks-teks yang hadir berbentuk berita jalan, menyoal sulitnya mengadakan upacara kematian jika orang tersebut terkena sangsi adat. Laku mati orang Bali berbanding lurus dengan laku selama hidupnya. Belum lagi ditambah dengan kebijakan-kebijakan desa pekraman, statemen pejabat yang tanpa dasar, bisa menjadi boomerang bagi orang Bali sendiri.
Foto: team dokumentasi Rollfast
Ada juga adegan natab banten melalui video call whatsapp. Kebetulan dalam adegan itu sang drummer yang meotonan. Ini terjadi ketika jarak terlampau jauh, kemudian banten disiapkan di rumah, ditatab anaknya yang sedang bekerja. Aduh…..miris tapi lucu. Bagaimana orang Bali beradaptasi dengan teknologi. Teknologi nampaknya membuat segala simpul kehidupan berubah drastis.
Belum lagi dalam teknologi makanan, dalam Mctanol disinggung dengan ragam pecahan gambar, logo salah satu toko waralaba bidang makanan diplesetkan menjadi Mctanol. Budaya konsumerisme di Bali tinggi, makanan tradisi berdampingan dengan budaya cepat saji. Silahkan tinggal pilih, semakin banyak manusia Bali memilih akan ada fenomena baru terbentuk, dan orang-orang seperti Rollfast akan menjadikannya materi lagu, karena mereka juga sedang berada dalam pusara kebimbangan kebudayaan itu. Rollfast merekamnya menjadi karya, tapi sayang sejarah pemikiran mereka hingga sampai di Garatuba tidak berjejak, hanya diskusi-diskusi di depan leneng yang tak terdokumentasi.
Kemudian pada akhirnya keruwetan budaya yang gagu dan ragu itu dinetralkan oleh lagu Rare dengan visual timelapse persiapan menuju konser. Sebenarnya Rare tidak cocok di dalam album ini, entahlah saya merasa tidak pas, tapi dalam ketidakpasan itu lah, saya mendapat pencerahan bagaimana sebenarnya waktu bermula – waktu berusai. Rare mengingatkan lagi pada masa kanak kita, yang tanpa berpengetahuan, beranjak, berlalu, tanpa disadari penuh dengan intrik, stigma, dogma, dan doktrin. Kita, dari lahir tidak bebas nilai rupanya.
Rare mengajarkan satu hal, nanti jika saya punya anak, saya akan membebaskan nilai yang ingin ia teguhkan dalam kehidupannya. Saya akan mendukungnya menjadi berbeda.
Dalam catatan ini, Bali yang saya maksudkan mengerucut pada kota Denpasar yah, sampai penulisan ini selesai, kedai kopi semakin menjamur di jalan-jalan Denpasar, perusahaan cepat saji semakin marak di gang-gang buntu, mama saya sibuk belajar video call hanya untuk melihat cucunya mandi di sungai, ayah sibuk mencari teman SDnya diakun-akun Facebook untuk mengenang masa muda yang selalu berkumpul di Banjar, warung dengan wifi semakin banyak dikunjungi anak muda, saban malam hingga subuh bermain game online atau judi slot.
Tolong….tolong…kami sedang sekarat, setidaknya dalam pikiran kami sendiri-sendiri…
Sosok atma berbulu datang menghampiri saya, lalu bertanya
“Jaen hidup di Denpasar? Hahahahhahaa,” tanyanya lalu berlalu
Saya diam, menyelesaikan tulisan ini, kirim ke Bayu Krisna dan Agha. [T]