10 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Jarak, Pecahan Narasi Kota dalam Anthembawu

Jong Santiasa PutrabyJong Santiasa Putra
June 1, 2022
inUlasan
Jarak, Pecahan Narasi Kota dalam Anthembawu

Foto: team dokumentasi Rollfast

KEBERJARAKAN ADALAH MODAL

Saya menulis ulasan ini dengan berbagai keberjarakan.

Pertama, keberjarakan dengan Rollfast, band post rock asal Bali ini yang sebagian besar anggotanya tinggal satu kota dengan saya, di Kota Denpasar. Saya lebih senang melihat mereka saat manggung, dibanding harus mendengar sendiri di platform pemutar musik kesayangan.

Terus terang saja, saya tidak mengikuti album pertama mereka, hanya dua kali menonton langsung dan ikutan pogo di depan panggung. Kata beberapa kawan kepada saya, Rollfast memilih jalur aliran berbeda di album kedua, itu adalah jalan yang berani, dan dengan penuh kesadaran, mereka memahami akan kehilangan pendengar terdahulunya.

“Alirannya Rollfast berbeda sekarang yah, aliran apa namanya?!” kata Pak Dek Unggit pemilik kedai arak Pan Tantri di Sanur, di hari Sabtu bulan Mei 2022

“Aliran apa ya, hehehhee,” jawab Agha vokalis Rollfast

“Kalau dulu kan Rollfast, baru Jangar. Sekarang Jangar lagi naik yah,” lanjut Unggit

“Iya, main di mana-mana,” jawab Agha lagi

Secuil percakapan di atas, saat kami bertiga, Saya, Agha Praditya dan Tisha Sara membeli telur ikan sambel rajang di kedai Pan Tantri.

Untunglah saya bukan pendengar Rollfast dari dulu. Jadi tidak merasa kehilangan atau sakit hati, karena band Rockstar kesayangannya memilih aliran lain dari sebelumnya.

Foto: team dokumentasi Rollfast

Kedua, produksi siaran langsung Rollfast di GOR Yuwana Mandala Tembau yang akan saya telisik, berlangsung akhir tahun 2020 – dua tahun lalu, sementara saya menulisnya di tahun 2022.

Ketiga, keberjarakan isu dalam lagu-lagu yang mereka bawakan, dengan konteks waktu saat saya menulis ini, apakah masih relevan? Apakah masih dibicarakan? Mengingat hidup di kota merupakan pintasan laku  yang dipenuhi berita, gosip, skandal, cerita skena, isu hangat, yang setiap hari kian cepat, kian bersliweran. Seperti kita rebahan di sofa sambil asik menyecroll reels di instagram, tahu-tahu sudah 3 jam  berlalu begitu saja.

Keempat, keberjarakan latar belakang, saya bukan musisi, komposer, anak band, saya seorang penyuka kesenian yang sering menjadi kutu loncat untuk melihat kawan-kawan bergerak. Kalau ada celah bisa ikutan bergerak. Kulo nuwun dulu bagi para penggemar Rollfast di manapun berada, bagi kawan-kawan yang masih mengkotak-kotakkan kesenian, mohon maaf saya orang pertunjukan menulis musik dari sudut pandang saya.

Saya jadi ingat kalimat Mas Raka Ibrahim beberapa bulan lalu, di Ruang Baur Seni Fraksi Epos saat ia mengisi  diskusi menyoal musik dan sekitarannya.

“Ayo… harus ada yang menulis, masak iya, ditulis sama orang teater,” ujar Raka.

Saya pun tertawa terbahak mendengar kalimat itu.

Keberjarakan-keberjarakan yang saya tulis di atas, justru modal untuk saya mengulas Anthembawu. Saya percaya satu karya akan memiliki interpretasi yang berbeda bagi para penikmatnya, karena penonton tidak bebas nilai, memiliki satu konsepsi tersendiri atas apa yang dilihat.

Kali ini saya menonton Anthembawu yang berdurasi 45 menit di youtube yang linknya tidak bebas akses, di bantu dengan jaringan internet yang mempermudah saya untuk mencari data-data terkait.

ANTHEMBAWU

Anthembawu merupakan satu pertunjukan musik yang dilaksanakan di Gor Yuwana Mandala Tembau, Jalan Trengguli No 5 Penatih, Denpasar Timur. Tepatnya di bagian luar gor dekat pintu masuk. Rollfast membawakan sejumlah gubahan mereka yang termaktub dalam album ke dua – Garatuba. Setelah pengambilan gambar, Anthembawu kemudian melalui proses editing, hasilnya berupa video dokumentasi musik yang diputar di Mash Denpasar 9-13 Desember 2020. Saya melihat-lihat sejumlah postingan di Instagram Rollfast dan Instagram projek ini ___insp0_tembavvu ada satu komentar kawan netizen yang menarik .

“Live in tembau keto je,” kata akun Pasekdarmawaysya

Artinya kira-kira begini : Live in tembau gitu aja katakan

Saya pun merasakan hal yang sama ketika memulai menulis, apa arti Anthembawu , memang secara pengucapan serasa mirip dengan tembau, tempat pertunjukan musik dilaksanakan. Kata mana yang lebih dulu mereka temukan, Anthembawu atau tembau. Anthembawu yang dicocokkan ke tembau, atau sebaliknya ?

Kemudian saya mencoba mencari arti kata, Anthembawu di internet, nihil – tidak saya temukan. Tapi jika dipisah Anthem dan Bawu. saya menemukan beberapa arti. Anthem dalam bahasa inggris artinya lagu kebangsaan, antem dalam bahasa Bali artinya pukul. Bawu bahasa daerah wolio berarti babi, Bawu dari Bahasa Dayak Maanyan artinya cabai, Bawu adalah sebuah desa di Jepara, – Jawa Tengah, dan terakhir saya mendapat Bawu adalah alat musik china seperti seruling terbuat dari bambu hitam. Arti bebasnya (versi saya) sebuah pukulan kebangsaan dari seruling bambu hitam dari Gor Tembau. Teman-teman dipersilahkan untuk mencari arti Athembawu sendiri, dengan menggunakan arti yang sudah saya tulis, atau dengan pengetahuan masing-masing yang mungkin saja saya belum mengetahuinya.

Proyek Anthembawu dapat saya katakan sebagai pertunjukan site spesifik. Biasanya pertunjukan semacam ini menautkan ruang, bangunan, tempat, insitu ke dalam wacana pementasan tersebut. Ruang didedah dari sudut pandang sejarah,  politik, antropologis, arsitektur, planologi atau cabang ilmu lainnya. Bahkan tidak jarang dari data ruang tersebutlah narasi pementasan bergerak. Anthembawu nampaknya mengarah pada aliran pementasan ini, namun sayang beberapa hari saya mencari catatan tentang Anthembawu tidak ada yang membahas secara mengerucut atas ruang pilihan mereka.

Foto: team dokumentasi Rollfast

Gor Yuwana Mandala Tembau adalah satu diantara gelanggang olahraga yang ada di Denpasar. Bangunan ini diresmikan pada tahun 1983, diperuntukkan dalam pelaksanaan acara olahraga seperti bulutangkis, beladiri, dan lain sebagainya. Di luar gor terdapat area luas untuk belari santai, atau sekedar berjalan agar tubuh berkeringat. Sejumlah ukiran ada di beberapa sisinya terbuat dari paras, berwarna abu-abu dan merah. Saya sendiri sewaktu SMA sering ke Gor Tembau untuk menyaksikan kawan-kawan berlomba marching band. Pintu masuknya seperti pintu sekolah sewaktu SD, dengan ukiran khasnya berbentuk tangga kotak-kotak, lengkungan yang simetris, dan bagian atas ada kotak tiga dimensi menonjol.

Nampaknya dari tangga kotak-kotak itulah inspirasi dari Instalasi altar hijau stabilo yang hadir di video Anthembawu. Intalasi hijau stabilo itu berada di tengah set pementasan, tegak begitu saja, tanpa interaksi, seolah menyiratkan keangkuhan sebuah gedung dalam menatap manusia-manusia yang sedang bergerak di sekitarnya. 

Saya menduga karena beberapa personil Rollfast bekerja di bidang arsitektur, tentu arsitektur yang unik menjadi pilihan. Mereka bermain tidak di dalam gedung, melainkan di luar gedung, jadi terlihat jelas bagian atap seperti tangga menanjak, itu merupakan bagian bawah tempat duduk penonton di dalam gedung. Tiang penyangga yang melintang, ornamen berlubang, ukiran-ukiran paras di beberapa sudut, serta tangga-tangga penghubung pintu masuk. Bentuk bangunan yang unik akan menghasilkan pantulan yang khas, pencaharian inilah nampaknya  yang ingin dicapai.

Sayang, saya tidak menyaksikan pertunjukan ini secara langsung, jika berada di sana waktu itu,  saya akan memiliki perspektif bunyi yang berbeda. Bayangkan saja bunyi terpantul di tembok, kemudian saya menonton dari berbagai sudut, misalnya di depan panggung, di parkiran, di dalam gedung, di sisi belakang gedung, bunyi akan menghasilkan satu teks yang bertaut terhadap bangunan.

Dalam video yang saya tonton, perspektif bunyi tidak hadir seperti bayangan saya menonton live, yang ada, saya seperti menonton video klip biasa.

SIMBOL-SIMBOL

Seluruh lagu dalam album Garatuba dinyanyikan dalam proyek Anthembawu yaitu Garatuba, LDR, Grand Theft Atma, Bally, Pajeromon, Methanol, Mctanol dan Rare. Saya tertarik dengan sejumlah aktor, adegan, benda rekaan yang mereka buat, untuk merepresentasikan sesuatu dalam lagu. Ada 6 yang saya suka, di antaranya pecalang perempuan, sosok perempuan virtual, sosok berbulu gading, natab by videocall,  bungkusan Mctanol dan scene timelapes bagian akhir.

Pecalang perempuan yang keluar di gubahan Garatuba merupakan simbol autokritik Rollfast dalam satu sistem masyarakat Bali, yang kental dengan budaya patriarki. Budaya ini mengupayakan anak laki-laki diprioritaskan dalam berbagai lini, pengambilan keputusan,  pewarisan harta, tulang punggung keluarga, yang bertangggung jawab atas rumah serta  mengurus keluarga dan leluhur. Anak perempuan menjadi nomor dua. Termasuk dalam memilih pecalang di Desa Pekraman atau Banjar.

Pecalang selalu identik dengan laki-laki, karena mengurus keamanan desa jika ada upacara. Urusan perempuan ya membuat banten, membuat kopi, menyiapkan hidangan. Bukan maksud saya untuk membandingkan pekerjaan, memang semua sudah diatur sesuai komposisinya, namun jarang saya temukan peran ini saling bertukar. Laki-laki ngurus banten, perempuan jadi pecalang.

Perempuan pecalang pada Anthembawu memakai kuku palsu ukuran panjang berwarna hijau stabilo. Saya maknai sebagai perempuan selalu dituntut untuk menjaga penampilannya di manapun, kapanpun, saat bertugas sekalipun. Cap cantik harus tersemat, kalau tidak, para netizen akan berkoar sekenanya.

Sosok perempuan virtual berwarna hijau terang diLDR. Dapat dimaknai kecintaan kawan-kawan  muda terhadap dunia game. Seperti kita tahu game sedang merajalela, menjadi komoditi yang sering dibincangkan, ada pertukaran nilai uang di dalamnya, bahkan sejumlah kawan rela bermain game dua malam suntuk untuk mendapatkan suatu hadiah tertentu. Kecintaan ini berbuah pada  bagaimana kawan-kawan muda  berinteraksi terhadap lingkungan sekitar, komunitas yang dekat dengannya, teman yang nyata hadir berbentuk fisik, keluarga yang kian waktu ada menemani.

Dunia virtual menawarkan satu bentuk komunitas, dunia lain yang sama seperti dunia nyata, jadi para pemainnya lebih nyaman ada di dunia virtual untuk menjadi siapa saja. Identitas kemudian mulai dipertanyakan, siapa kita, siapa dia di dunia virtual. Kecendrungan kawan-kawan penyuka game sulit untuk berinteraksi secara nyata, kemudian ia mencari eksistensinya di dunia virtual dengan getol mencari tantangan atau mencari penghargaan dalam game.

Fenomena ini sudah berjalan mungkin sejak 10 tahun terakhir, jika  ini dikaitkan dengan kehidupan di Bali yang pada dasarnya menyama braya. Banjar, tempekan, desa pekraman semakin hari akan kehilangan anak muda aktifnya. Anak-anak muda mungkin saja akan membuat banjar virtual , banjar yang lebih mengakui diri mereka dengan kesenangan yang digeluti masing-masing. Pertanyaannya begini, siapa yang akan kena pengaruh, banjarkah yang harus berubah, atau anak-anak mudanya ? tapi sebagian anak muda menganggap menjadi STT tidak bisa nyambung obrolan, karena masih berkutat pada wilayah domestik, tidak mampu melihat keluar sesuatu yang lebih kongkret.

Waduh saya sebagai orang Bali juga susah menjawab ini, masih perlu menelaah lebih jauh..

Ada sosok menarik yang hadir di lagu Grand Theft Atma, sosok yang tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu gading, perawakannya masih memiliki tangan dan kaki sebagaimana manusia. Hanya saja ia tidak memiliki wajah, ia bergerak cepat, berlarian ke panggung, berlarian ke celah-celah pemain, mengecat dinding, merangkak seperti kadal. Sosok ini begitu asing di mata saya, kecuali bulu-bulu yang tumbuh itu, seperti bulu barong atau rangda. Hemat saya ia adalah atma yang sedang kehilangan arah, bingung mencari jalan pulang untuk perjalanan selanjutnya.

Ini dikuatkan dengan teks-teks yang hadir berbentuk berita jalan, menyoal sulitnya mengadakan upacara kematian jika orang tersebut terkena sangsi adat. Laku mati orang Bali berbanding lurus dengan laku selama hidupnya. Belum lagi ditambah dengan kebijakan-kebijakan desa pekraman, statemen pejabat yang tanpa dasar, bisa menjadi boomerang bagi orang Bali sendiri.

Foto: team dokumentasi Rollfast

Ada juga adegan natab banten melalui video call whatsapp. Kebetulan dalam adegan itu sang drummer yang meotonan. Ini terjadi ketika jarak terlampau jauh, kemudian banten disiapkan di rumah, ditatab anaknya yang sedang bekerja. Aduh…..miris tapi lucu. Bagaimana orang Bali beradaptasi dengan teknologi. Teknologi nampaknya membuat segala simpul kehidupan berubah drastis.

Belum lagi dalam teknologi makanan, dalam Mctanol disinggung dengan ragam pecahan gambar, logo salah satu toko waralaba bidang makanan diplesetkan menjadi Mctanol. Budaya konsumerisme di Bali tinggi, makanan tradisi berdampingan dengan budaya cepat saji. Silahkan tinggal pilih, semakin banyak manusia Bali memilih akan ada fenomena baru terbentuk, dan orang-orang seperti Rollfast akan menjadikannya materi lagu, karena mereka juga sedang berada dalam pusara kebimbangan kebudayaan itu. Rollfast merekamnya menjadi karya, tapi sayang sejarah pemikiran mereka hingga sampai di Garatuba tidak berjejak, hanya diskusi-diskusi di depan leneng yang tak terdokumentasi.

Kemudian pada akhirnya keruwetan budaya yang gagu dan ragu itu dinetralkan oleh lagu Rare dengan visual timelapse persiapan menuju konser. Sebenarnya Rare tidak cocok di dalam album ini, entahlah saya merasa tidak pas, tapi dalam ketidakpasan itu lah, saya mendapat pencerahan bagaimana sebenarnya waktu bermula – waktu berusai. Rare mengingatkan lagi pada masa kanak kita, yang tanpa berpengetahuan, beranjak, berlalu, tanpa disadari penuh dengan intrik, stigma, dogma, dan doktrin. Kita, dari lahir tidak bebas nilai rupanya.

Rare mengajarkan satu hal, nanti jika saya punya anak, saya akan membebaskan nilai yang ingin ia teguhkan dalam kehidupannya. Saya akan mendukungnya menjadi berbeda.

Dalam catatan ini, Bali yang saya maksudkan mengerucut pada kota Denpasar yah, sampai penulisan ini selesai, kedai kopi semakin menjamur di jalan-jalan Denpasar, perusahaan cepat saji semakin marak di gang-gang buntu, mama saya sibuk belajar video call hanya untuk melihat cucunya mandi di sungai, ayah sibuk mencari teman SDnya diakun-akun Facebook untuk mengenang masa muda yang selalu berkumpul di Banjar, warung dengan wifi semakin banyak dikunjungi anak muda, saban malam hingga subuh bermain game online atau judi slot.

Tolong….tolong…kami sedang sekarat, setidaknya dalam pikiran kami sendiri-sendiri…

Sosok atma berbulu datang menghampiri saya, lalu bertanya

“Jaen hidup di Denpasar? Hahahahhahaa,” tanyanya lalu berlalu

Saya diam, menyelesaikan tulisan ini, kirim ke Bayu Krisna dan Agha. [T]

Tags: band indie balimusikRollfast
Previous Post

Sistem Persekolahan Bali Mandara: Pembasmi Kemiskinan Absolut | Tinjauan Ekonomi Politik

Next Post

Membedah Walli Jing-Kang dan Teka-Teki di Dalamnya

Jong Santiasa Putra

Jong Santiasa Putra

Pedagang yang suka menikmati konser musik, pementasan teater, dan puisi. Tinggal di Denpasar

Next Post
Membedah Walli Jing-Kang dan Teka-Teki di Dalamnya

Membedah Walli Jing-Kang dan Teka-Teki di Dalamnya

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co