9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Tanah, Pijakan, dan Kegelisahan pada yang Asing | Catatan dari Temu Seni di Kutai

Agus WiratamabyAgus Wiratama
May 31, 2022
inKhas
Tanah, Pijakan, dan Kegelisahan pada yang Asing | Catatan dari Temu Seni di Kutai

Peserta, panitia dan fasilitator acara Temu Seni di Kutai, Kaltim | Foto: dok panitia

Aku tak percaya pada ketinggian—sebagaimana aku percaya pada tanah—ia tak menjanjikan keselamatan dan aku percaya bahwa keselamatan berada pada pijakan. Meskipun, pantat berpijak pada tali yang dibuat kuat, tapi seutas tali tak mampu menandingi, atau sekadar memberi perasaan aman sebagaimana tanah. Betul, orang perlu pegangan, kepercayaan, pijakan, dan tali adalah pijakan. Tapi tali tak mampu memberi kepercayaan: aku tak bisa berpijak pada tali yang kemudian membuat siapa pun meluncur lalu terkejut dengan caranya berhenti.

Di ujung luncur Flying fox, langit seolah rendah, dan tanah tampak begitu jauh di titik awal luncur. Kau tahu, di bawah jalur luncur adalah tanah merah, lalu beton, dan kolam. Tanah merah yang keras tentu tak menjamin keselamatan, sebagaimana beton, dan kolam memberi keyakinan itu, tapi hanya pada orang yang bisa berenang. Aku tidak bisa berenang.

“Aha!” Aku seolah memiliki ide untuk mengatasi ketakutan itu, “Menatap langit sebagaimana menatapnya dari tanah barangkali adalah cara untuk yakin,” pikirku.

Di ujung tatapan, aku sejajar dengan barisan bukit yang dipenuhi rerimbunan, juga awan, tapi sialnya, angin berembus kencang. Kakiku seperti sayur yang dipetik kemarin siang. Aku meminta kepastian aba-aba untuk memastikan persiapanku: mengatur posisi tali, menarik napas, dan berdoa—aku akan berdoa sepanjang jalur luncur—memegang kuat tali pinggang, berteriak agar keluar segala khawatir, tapi jangan berharap rencana berjalan mulus dalam situasi seperti ini. Penjaga mendorongku setelah hitungan ketiga. Kakiku lemas. Di tengah jalan, seolah-olah seutuh ruh tertinggal di tempat awal. “Aku akan pingsan!” gumamku dalam hati.

Berpose bersama penari

Beseluncur pada flying fox barangkali tak ada bedanya dengan memainkan satu pertunjukan. Aku perlu satu pegangan, keyakinan, seperti tanah. Tapi, meluncur pada flying fox memberi peluang lain, dan ini tetap permainan. Tapi, “Sesungguhnya, hal apa yang membuatku takut dengan ketinggian?” pikirku, “padahal, tanah tetap tak menjamin utuh keselamatan.” Ia bisa tiba-tiba retak, sebagaimana yang terjadi dalam film atau berita, longsor yang menimbun banyak orang, tanah berlumpur yang membuat seseorang terpeleset lalu jatuh dan patah tulang ekor, dan sebagainya. Tapi, aku percaya pada tanah.

Kegiatan ini berlangsung di Ladaya, Kutai, Kartanagara, Kalimantan Timur dalam rangka Temu Seni—salah satu rangkaian acara Indonesia Bertutur tahun 2022, diselenggarakan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud Ristek—khususnya Monolog dari tanggal 18-24 Mei. Dan flying fox adalah satu selingan dalam persiapan pertunjukan. Selama kegiatan, kami mendapat luang untuk ngobrol. Dan terjadilah yang mestinya terjadi. Sesuatu yang baru kadang membuat kita merasa asing, meskipun sesuatu itu mirip dengan hal yang ada di sekitar kita: tanah di Kalimantan—sekurang-kurangnya dari yang kulihat—berwarna lebih cerah dari tanah di Bali. Tanah tampak begitu keras.

“Jika hujan, kita masih aman, tapi setelah hujan, jalan akan menjadi lumpur dan kita harus menunggu alat berat untuk meratakan jalan, membersihkan lumpur,” kata Rende Preyatno, seorang peserta Temu Seni asal Tenggarong yang tetiba menjadi pemandu kami.

“Begitu terus setiap hujan?” balasku.

“Ya.”

“Aspal?”

Dia tersenyum dan mengangkat bahu.

Sesi diskusi | Foto: Andi Eswe

Pada 20 Mei 2022, jadwal sedikit berubah: tak ada berbagi metode, tak ada latihan olah tubuh. Kami menuju Desa Lekaq Kidau, kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Sepanjang perjalanan, aku tak bisa tidur, dan tidur adalah bentuk kantuk yang paling bebal di jalan menuju perkampungan Dayak Kenyah itu. Sehari sebelumnya, fasilitator memanggilku pasca diskusi antar peserta.

“Kita ngobrol sebentar, Agus,” kata Andy Eswe selaku fasilitator.

“Kenapa, Mas?” balasku.

“Agus mau pentas besok?” katanya.

Aku tak bisa segera menjawab. Dua fasilitator, Andy Eswe dan Sri Qadariatin yang akrab disapa Uung, tetap pada posisi duduknya, menungguku mengangguk atau menggeleng, barangkali.

Pilihan yang sulit. Ini adalah kali pertama aku berkunjung ke Kalimantan, begitu pula dengan perkampungan dan orang-orangnya tapi cerita yang aku bawa berangkat dari mitos lokal, tentang maling yang mengencingi Bulan Pejeng tapi ini peluang pentas di tempat yang barangkali hanya kukunjungi sekali seumur hidup tapi seharusnya persiapan lebih panjang dan matang tapi tidakkah terlalu cepat bila diterima? tapi kesempatan tak akan datang lagi tapi bagaimana kalau semua mengalir saja? Ah….

Dengan gegas aku menjawab, “Iya”.

Aku, Fuadi S Keulayu asal Aceh, dan Novita Andriani Butar Butar asal Medan tampil di Lamin, semacam pendopo bagi masyarakat suku Dayak Kenyah. Pagi itu, Fuadi lebih mirip teh hangat ketimbang bening pagi, dan novita yang biasanya bicara dengan lugas, sepanjang jalan tak terlalu banyak berkisah, dan aku sudah menelan antimo agar lelap, tapi tentu sebagaimana kukatakan sebelumnya, aku tetap terjaga. Ada hal yang membuat kami tampak gelisah: tentu saja.

Tanah terlihat merah, kadang orange, cokelat pekat, dan tampak keras. Warna yang sama juga mendominasi air sungai Mahakam yang menjadi jalur penyeberangan kami, dan sesampai di Lekaq Kidau, hatiku berdegup. Di pinggir jalan yang tampak seperti rawa-rawa, jejeran bunga lotus putih tumbuh rimbun seperti taman bunga. Sebagian tanaman itu sedang mekar-mekarnya, sebagian lagi didominasi daun. Aku tetiba terbayang taman bagi para kaisar Jepang, barangkali juga karena orang di Lekaq Kidau memiliki kulit dan mata yang mirip dengan orang di negara itu.

Di ujung pandangan, bebukitan berbaris. Aku tak melihat satu pun rumah di bukit itu, tapi udara gerah begitu aku baru turun dari mobil, suhu mencapai 28 derajat celcius, sinyal lenyap, keringat tak ada putusnya dan orang-orang tersenyum dan tetua adat menyambut kami di pintu depan Lamin dan membacakan doa dengan bahasa setempat: berahap hal buruk terputus begitu memasuki pintu Lamin.

Lamin itu kurang lebih seukuran lapangan voli—tentu sangat luas untuk menjadi sebuah panggung—terbuat dari kayu, dan berdiri di atas rawa. Di dalam Lamin, terdapat beberapa tiang, sebuah panggung kecil di tepi, cukup kecil untuk ukuran bangunan seluas lapangan volly; tribal sepanjang tembok yang tersusun dari kayu ulin, dan jendela tak berdaun dan bebukitan terlihat dari sana. Keasingan kadang membawa kita pada bayangan tertentu: bukit dan benteng, misalnya.

Tarian dimulai, sebuah pertunjukan yang mengisahkan pernikahan adat dan pertarungan.

Kegiatan di Lamin, Lekaq Kidau | Foto dok pribadi

Aku duduk bersama peserta Indonesia Bertutur di tengah, dan masyarakat Lekaq Kidau duduk di pinggir. Penari perempuan memainkan bulu burung yang sudah tersusun di tangannya, menyusul sebaris laki-laki yang memegang tameng kayu, menghentak-hentak kaki di lantai Lamin. Tetiba, seseorang seperti menjerit. Aku tak tahu asal suara itu. Mataku pun sibuk mencari sumber suara, lalu orang lain membalasnya, ruangan menjadi ramai, dan suara seperti mengitari kami.

Suara lantai yang dihentak-hentak ikut memenuhi ruangan. Kaki para penari terlihat begitu kokoh, sebagaimana Lamin yang berdiri di atas rawa itu. Situasi ini mengingatkanku pada situasi tanah Bali dan bentuk gerak kaki pada tari Bali. Tanah sawah yang berlumpur dan gerak menginjak lumpur untuk pematang. Barangkali, Kondisi tanah berperan besar untuk membidani bentuk, atau jenis kesenian tertentu. Sementara itu, apakah karena tanah merah itulah kemudian lahir bentuk hentakan seperti itu?

Hal yang sama kurasa ketika mendengar pertunjukan dari Fuadi S Keulayu. Ia membawakan satu kesenian dari Aceh, yaitu hikayat dengan bahasa ulang alik Indonesia-Aceh. Aku tertegun karena sepanjang jalan di awal pertemuan, Fuadi mengisahkan kecemasannya pada pentas, dan permainan biola yang ia katakan seadanya, “Hanya sebagai pengiring,” terangnya. Tapi, ia berhasil membangun suasana pesisir dalam pertunjukannya; aku seperti mendengar desau angin, ombak, dan nyanyian di antara situasi itu. Aku merasakan kesenian yang lahir dari tanah pesisir itu.

Pertunjukan-pertunjukan ini pula yang membuat aku memikirkan kembali tentang ketakutanku dengan ketinggian, kepercayaan pada tanah tapi sesungguhnya kaki dibatasi sandal atau sepatu, keseharian di depan ponsel, laptop, sepeda motor. Hal apa yang lahir dari semua kebiasaan itu? Pertunjukanku berlangsung setelah pertunjukan Fuadi. Apakah aku akan meluncur? Bisakah aku percaya pada seutas tali yang sedikit lebih besar dari ibu jari? Aku harap mengalir! [T]

Tenggarong-Denpasar, 2022

Tags: KalimantanSeniseni pertunjukan
Previous Post

Dokter Arya: Kesehatan, Bukan Hanya Harus Dijaga, Tapi Juga Harus Ditulis

Next Post

BELAJAR DARI DESA PEDAWA: RATU SURAT-MELAYU & RATU NGURAH MELAYU

Agus Wiratama

Agus Wiratama

Agus Wiratama adalah penulis, aktor, produser teater dan pertunjukan kelahiran 1995 yang aktif di Mulawali Performance Forum. Ia menjadi manajer program di Mulawali Institute, sebuah lembaga kajian, manajemen, dan produksi seni pertunjukan berbasis di Bali.

Next Post
HINDU & KEJAWEN BERHALA?

BELAJAR DARI DESA PEDAWA: RATU SURAT-MELAYU & RATU NGURAH MELAYU

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more

ORANG BALI AKAN LAHIR KEMBALI DI BALI?

by Sugi Lanus
May 8, 2025
0
PANTANGAN MENGKONSUMSI ALKOHOL DALAM HINDU

— Catatan Harian Sugi Lanus, 8 Mei 2025 ORANG Bali percaya bahkan melakoni keyakinan bahwa nenek-kakek buyut moyang lahir kembali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co