BIBIR Luh Sekar dan Gusti Komang berpagutan. Asmara mereka begitu panas. Ini malam pertama mereka sebagai pasangan suami istri yang sah.
Tiba-tiba Luh Sekar menatap tajam mata Gusti Komang.
“Seperti apa rasanya mati?” tanya Sekar pada suaminya.
Kening Gusti Komang berkerut. Dia tak pernah menduga istrinya akan menanyakan hal itu. Apalagi saat mereka bergumul di atas kasur.
“Kenapa kau menanyakan itu?” kata Komang.
“Aku hanya penasaran. Orang-orang bilang kau pernah mati suri. Apakah kau sudah pernah melihat surga? Apakah kita akan reinkarnasi atau moksa?” tanya Sekar lagi.
Komang menarik nafas panjang. Dia menceritakan tragedi itu. Komang teringat. Dia pernah mati suri. Saat itu usianya baru 11 tahun. Dia mendatangi rumah pamannya, sekitar 50 meter di sisi barat griya tempatnya tinggal kini.
Tiba-tiba saja Komang ingin menceburkan diri ke sumur itu. Dia jenuh dengan tuntutan orang tuanya. Komang dituntut selalu juara di kelas. Padahal kemampuannya biasa-biasa saja.
Kegemarannya bermain layangan di lapangan desa juga ditentang. Bila terlambat pulang Ajik Gusti, ayahnya, tak segan-segan memukuli Komang. Bila Komang menangis, maka kepalanya akan diguyur dengan air. Hingga tangisnya berhenti.
Dia memutuskan memanjat sumur yang ada di halaman belakang griya pamannya. Lalu menjatuhkan diri ke sumur sedalam 12 meter itu. Terdengar suara berdebur dari arah sumur. Pamannya, Gusti Ketut, berlari ke belakang rumah. Ke arah sumur.
Tubuh Gusti Komang ditemukan mengambang di sumur. Masyarakat gempar. Mereka bahu membahu menyelamatkan Gusti Komang.
“Lalu aku merasa terbang. Aku bisa melihat diriku mengambang di sumur itu, dengan posisi terlentang. Aku melihat Om Gustut membopong tubuhku dari dasar sumur. Aku juga melihat Biang pingsan,” katanya lagi.
“Apakah kau sudah sampai di nirwana?” tanya Sekar lagi.
“Sepertinya tidak. Buktinya aku di sini bersamamu. Bila sudah sampai di sana, mungkin kita tidak akan pernah menikah,” ujar Komang sambil melirik istrinya.
“Tidak usah gombal. Aku benar-benar ingin tahu. Apa kau bertemu Sang Suratma?” Sekar merajuk.
“Aku bertemu sesosok gaib. Aku tidak tahu apakah dia Sang Suratma. Mungkin saja leluhurku. Dia bilang ‘Cening kari wenten karma. Malih duang dasa tiban, mare cening dados meriki. Mangkin margiang dumun karma cening ring marcapada’. Itu saja yang aku ingat. Setelah itu aku terbangun, dan aku sudah di UGD rumah sakit,” tuturnya.
“Lain kali ceritakan lebih panjang,” ujar Sekar seraya memagut bibir suaminya. Mereka saling memeluk. Berpeluh hingga fajar tiba.
***
LUH Sekar merupakan buah bibir di kampungnya. Mantan suaminya meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan tragis.
Rem sepeda motor yang dikendarai suaminya saat itu rusak. Sehingga melaju tak terkendali. Sepeda motor itu terjun bebas ke dasar jurang berbatu. Tubuh suaminya baru berhasil dievakuasi tim SAR setelah 6 jam.
Saat jenazahnya dibawa ke rumah duka, Luh Sekar tidak menangis. Dia seolah sudah siap dengan kematian suaminya.
“Suamiku pernah bercerita, dia pernah mati suri. Mungkin Sang Suratma menagih takdirnya. Aku tidak bisa mencegah,” kata Luh sekar kala itu.
Tapi warga desa menganggapnya tidak wajar. Mereka bergunjing. Meyakini Luh Sekar punya kekasih lain.
“Mana mungkin dia bisa tabah seperti itu? Istri manapun pasti akan menangis. Dia pasti punya mitra di luar sana,” kata warga.
* * *
DUA tahun setelah suaminya meninggal kecelakaan itu Luh Sekar berjumpa dengan Gusti Komang. Orang tua Gusti Komang sebenarnya menolak menikahi Luh Sekar.
“Biang tidak setuju kamu menikah dengan perempuan itu. Dia seorang janda. Apa kata semeton di griya nanti?” kata Biang Ayu, ibu Gusti Komang.
“Biang juga yakin dia itu bekung. Tidak mungkin memberi keturunan. Buktinya, dari perkawinan terdahulu, dia tidak mengandung. Padahal mereka sudah menikah selama empat tahun. Kalau kau cepung, siapa yang akan meneruskan trah keluarga ini,” imbuh Biang Ayu.
Gusti Komang tidak mau ambil pusing dengan hal itu. Dia sudah terlanjur jatuh cinta dengan Luh Sekar. Di matanya, Luh Sekar adalah wanita yang sempurna. Wajahnya lonjong. Lesung pipit selalu terlihat saat dia tersenyum. Gusti Komang makin mabuk kepayang saat melihat Luh Sekar mengenakan kebaya.
Hanya butuh waktu 6 bulan bagi Gusti Komang menaklukkan hati Luh Sekar. Mereka akhirnya menikah, meski sempat ditentang keluarga besar.
“Aku mencintai Luh Sekar apa adanya. Kalaupun perkawinan kami tidak membuahkan keturunan, ada Kak Gusde yang meneruskan trah keluarga. Aku tidak pernah menuntut apa-apa pada keluarga ini. Tapi kali ini, tolong beri restu pada pernikahan kami,” pinta Gusti Komang.
Keluarga besar akhirnya luluh. Pernikahan keduanya digelar. Jamuan digelar selama semalam suntuk. Mengundang semeton griya dari penjuru Bali.
* * *
PERNIKAHAN Luh Sekar dan Gusti Komang sudah berusia empat tahun. Keduanya kini terlibat cek-cok. Gusti Komang kecewa karena Luh Sekar tak kunjung memberikan keturunan.
Kini Gusti Komang jarang di rumah. Dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Menenggak arak di poskamling yang ada di sudut banjar.
Dia hanya pulang saat sudah mabuk. Biasanya dia langsung memeluk Luh Sekar. Melampiaskan hasratnya.
Bila Luh Sekar menolak, Gusti Komang tak segan-segan menampar istrinya. “Dasar bekung tak tahu diuntung. Aku sudah memberikanmu makan dan rumah. Layani saja aku,” ujar Gusti Komang.
Perilaku Gusti Komang yang makin temperamental membuat Sekar kecewa. Semula dia bersedia menikahi Gusti Komang, karena sikapnya yang penuh kasih.
* * *
WARGA Desa Padang Bawak geger. Tubuh Gusti Komang ditemukan tak bernyawa di dasar sumur. Sumur yang sama tempat dia tercebur saat berusia 11 tahun.
Luh Sekar, lagi-lagi tidak menangis saat tahu suaminya meninggal. “Dia sudah pernah mati suri saat tercebur di sumur itu. Mungkin Sang Suratma menagih takdirnya,” katanya.
Namun keluarga Gusmang curiga. Mereka tahu bila Gusti Komang tak mungkin mendekati sumur itu. Apalagi keluarga sudah memasang turus bambu di sekitar sumur, agar orang lain tidak mudah mendekat.
“Gusmang trauma mendekati sumur itu. Sudah 20 tahun Gusmang tidak pernah mendekati sumur itu. Tidak mungkin dia mati di sana,” kata Biang Ayu histeris.
Sepekan kemudian, Luh Sekar digelandang ke kantor polisi. Polisi meyakini Gusti Komang tewas karena dibunuh.
“Hasil otopsi tim forensik menunjukkan tidak ada air di dalam paru-paru korban, sebagaimana lazimnya orang meninggal karena tenggelam. Sebaliknya tim forensik menemukan luka lebam di leher korban. Diduga korban meninggal karena dicekik,” kata seorang perwira kepolisian.
Hasil penyelidikan polisi menunjukkan, Gusti Komang diduga dibunuh Luh Sekar. Polisi menduga Luh Sekar melakukan pembunuhan berencana.
“Ada anomali dari hasil tes kejiwaan. Kami juga sedang membuka kembali kasus kecelakaan yang terjadi beberapa tahun lalu. Patut diduga tersangka adalah pelaku pembunuhan berseri,” imbuh polisi.
Di hadapan wartawan, Luh Sekar sama sekali tidak menyangkal pernyataan polisi. “Mereka hanya menginginkan aku jadi mesin pembuat anak. Lagi pula mereka sudah pernah mati. Aku hanya membantu mereka menemukan takdirnya,” kata Sekar. [T]
- Cerpen ini hasil workshop cerpen sehari langsung jadi dalam acara Tatkala May May May 2022 yang digelar tatkala.co, Sabtu 21 Mei 2022.