“The Elton John AIDS Foundation: our mission is to end the AIDS epidemic.”
Elton John adalah ikon LGBT, namun ia tak pernah menerima hujatan, ia tetap dipuja. Konsernya selalu dipadati penonton, mungkin juga oleh mereka yang anti LGBT. Rekaman lagu-lagunya masih diputar di seluruh dunia menghibur penggemar musik semua generasi.
Musisi Inggris peraih Grammy Award ini pun telah menikah dengan seorang lelaki bernama David Furnish sejak tahun 2005 hingga kini, sebuah pernikahan yang dipublikasikan untuk khalayak. Oleh kerajaan Inggris, berkat dedikasinya yang mendalam dalam dunia musik, ia diberikan gelar Sir.
Dalam masyarakat barat, LGBT punya ruang yang sama dengan warga pada umumnya yang heteroseksual. Di Jerman misalnya, secara tegas undang-undang yang terkait dengan ketenagakerjaan melarang institusi pemberi kerja baik swasta maupun pemerintah, menjadikan agama, ras dan pilihan seksual sebagai pertimbangan dalam rekrutmen. Semua variabel tersebut dipandang sama sekali tidak berkaitan dengan profesionalisme seorang pekerja karena jelas hal-hal tersebut bersifat sangat pribadi dan tak seorang pun bahkan negara boleh mencampurinya.
Itulah yang kemudian terjadi di Singapura yang menerapkan larangan hubungan seks di kalangan homoseksual. Tak disangka-sangka, putra PM Singapura Lee Hsien Loong atau cucu pertama pendiri negara Singapura Lee Kwan Yew yang bernama Li Huanwu rupanya adalah seorang homoseksual. Keluarga perdana menteri pun kemudian menggalang dukungan warga untuk mencabut UU anti homoseksual di negaranya. Kita memang sering berlaku tak adil, atau kurang empati saat kebetulan berada jauh dari penderitaan atau “aib” tersebut.
Tahun 1973, asosiasi psikiater di Amerika mencabut kategori homoseksualitas dari semua kategorinya dari buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Source (DSM-IV). Kemudian tahun 1990, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut homoseksualitas dari Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD). Ini diikuti Kementerian Kesehatan RI mencabut LGBT sebagai penyakit kejiwaan di Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi III pada 1993.
Data-data di atas telah menunjukkan baik secara ilmiah maupun yuridis, ada perkembangan yang cukup positif pada aspek untuk memberi ruang yang setara kepada kaum LBGT. Gagasan tersebut koheren dengan kajian ilmiah bagaimana seorang individu tercipta sebagai LGBT. Memang banyak teori yang menjelaskan perkembangan orientasi seksual sejak perkembangan saraf janin. Jadi ini lebih merujuk pada persoalan genetik ketimbang faktor lingkungan eksternal.
Dalam penelitian yang dilakuan berpuluh tahun itu menunjukan area kecil di hipotalamus otak pada laki-laki homoseksual ukurannya dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki heteroseksual. Sementara tidak ada bukti kuat jika homoseksual ditimbulkan dari pengaruh lingkungan dan proses belajar. Gagasan inilah yang kemudian menjadi viral, dari pertanyaan retorik seorang youtuber sekaligus mentalis terkenal Dedy Cobuzier dalam podcast-nya, “Bisa nggak kamu membuat saya menjadi gay?” Pertanyaan yang diajukannya kepada pasangan gay Ragil Mahardika dan Frederik Bollert yang menjadi tamu acara talk show-nya tersebut.
Dan memang penelitian-penelitian ilmiah menemukan otak manusia dapat membentuk sifat maskulin atau juga feminin. Ini terlepas dari bentuk seksual fisik yang diwakili oleh organ vagina atau penis. Maka, LGBT cukup jelas dalam hal ini adalah kehendak Sang Pencipta. Mirip seperti seseorang yang dilahirkan cacat sebagai manusia cebol atau buta warna misalnya.
Dalam masyarakat timur yang konservatif dan cenderung kaku, hidup lebih sering dibawa pada urusan benar atau salah dan surga atau neraka belaka. Dan orang-orang sangat percaya diri untuk menorehkan garis batas yang sangat jelas di antara keduanya. Aspek sains yang sangat kuat pada fenomena LGBT sulit mendapat ruang melawan persepsi agamis yang otoriter.
Ukuran normal pun diciptakan hanya atas dasar kuantitas dan angka-angka. Begitu berbeda dengan yang “normal” maka itu dekat dengan dosa dan jauh dari Tuhan. Bahkan mereka layak dihujat, dinistakan pun dihukum karena “aib” yang dibuatnya telah menodai kesucian hidup bersama. Padahal, dalam fenomena alam semesta, kita selalu diatur oleh apa yang disebut sebagai kurva normal.
Artinya meskipun sebagian besar dari manusia adalah heteroseksual, namun dalam jumlah yang sangat kecil yang ekstrim ada fenomena homoseksual, entah itu gay ataupun lesbian. Dan tentu saja itu bukan dosa dan kesalahan. Satu-satunya yang membuat kaum LGBT boleh dipersalahkan adalah hanya ketika mereka melanggar hukum sebagai aturan hidup bernegara dan bermasyarakat. Sebagai contoh misalnya, memaksakan kehendaknya kepada yang lain untuk berhubungan seksual. Hal yang tentu saja juga juga berlaku pada kaum heteroseksual. Maka dalam hal ini, jelas ada kesetaraan warga negara di depan hukum.
Sir Elton John atau Ragil Mahardika dan kaum LGBT yang lain, memiliki jalan tersendiri dan sangat pribadi dalam kehidupannya. Mereka tidak pernah merugikan siapapun. Bahkan Elton John kita ketahui bersama, memiliki sebuah yayasan yang didedikasikannya untuk mengatasi persoalan epidemi Aids dunia yang didirikannya sejak tahun 1992. Ini tentu saja belum termasuk berbagai kegiatan amalnya dari panggung musik yang telah menolong dan menginspirasi jutaan warga bumi.
Maka, seharusnya agama bukanlah alat untuk memberi stigma namun stigmalah yang harus dihapus oleh agama.[T]