Rabu , 11 Mei 2022, Film berjudul Ratna yang disutradarai oleh Hendry Wahana diputar di Mash Denpasar, Jalan Pulau Madura No 3, Denpasar. Penontonnya sebagian besar adalah aktor dan kru yang terlibat, sebagian kecilnya adalah kawan-kawan yang khusus diundang untuk memberikan masukan, kritikan, makian atas film pendek tersebut.
Malam yang hangat, saya dan beberapa kawan mengobrol santai sambil ditemani kopi panas, dan bakpao mini sebelum pemutaran dimulai. Penonton tidak hanya berasal dari Denpasar, ada juga dari Bangli, Tabanan dan Buleleng. Siska selaku produser sedari tadi mengecek atas kedatangan mereka, sejak dua hari sebelum pemutaran ia mewanti-wanti agar undangan mengkonfirmasi kedatangan mereka, karena ini menyangkut kuota duduk di Mash – 30 orang maksimal.
Foto: Saya saat diskusi film pendek Ratna di Mash Denpasar
Acara dimulai pukul 19.10, 10 menit telat dari yang terjadwalkan. Memang pemutaran ini kesannya ekslusif karena semua penontonnya saling mengenal. Namun ada beberapa penonton yang belum mengenal Hendry. Perlu diketahui Hendry dan Siska belum setahun pindah ke Bali, kebetulan Hendry merupakan teman sepergaulan saya di Surabaya. Kami sering terlibat dalam sejumlah proyek kreatif, sering gontok-gontokan gagasan, sering adu pendapat, tapi karena itulah kami sering berkarya bersama.
“Jong, kau makelar penonton yah sekarang?!” kelakar seorang kawan yang baru saja datang. Cukup jeli juga ia membaca situasi.
Dengan sengaja, saya mengundang kawan-kawan yang memiliki latar belakang berbeda, ada linguistik murni, ada peneliti lontar, ada penulis, sastrawan, desain grafis dan lain sebagainya. Wacana interdisplin ini menarik untuk dibawa ke ruang-ruang diskusi untuk mengapresiasi sebuah karya bersama. Sebagai film ia dapat dinikmati, sebagai karya diluar film – menyangkut sistem kultural atau isu diluar film, juga turut mendapat perhatian. Apa pentingnya sebuah karya hadir ditengah kita. Sederhananya film ini sedang mengacu atau mengarah pada isu apa?
Setelah Hendry Wahana memberi pemaparan singkatnya, Ratna di-play. Kami menonton kurang lebih 15 menit. Setelah itu diskusi santai dimulai. Hendry menjelaskan tentang ide karya ini, sebenarnya sudah terpendam cukup lama hampir dua tahunan, hanya dibicarakan, dibincangkan, belum dieksekusi.
Film pendek Ratna mengisahkan tentang seorang perempuan yang dulunya beragama Hindu kemudian menikah dengan suami yang beragama Islam. Namun sayang tidak berselang lama setelah pernikahan, sang suami meninggal. Ratna bingung, harus kemana ia berpijak, menjadi Islam lalu tinggal bersama keluarga suami di luar Bali. Atau kembali ke rumahnya, bersama ajik (ayah) dan biang (ibu). Ratna diceritakan berasal dari keluarga berkasta pada masyarakat Bali.
“Saya sempat kebingungan akan mengeksekusi karya ini, di Bali atau Yogjakarta, sebab pilihan kami pindah dari Surabaya ada di dua kota tersebut. Akhirnya di Bali,” katanya sambil tertawa.
Ia menjelaskan lebih lanjut, bahwa isu ini cukup seksi dibicarakan di Indonesia, tentang pernikahan berbeda Agama. Tapi dalam filmnya ia ingin menjelaskan dari sudut pandang pelakunya, bukan dari faktor eksternal, tapi dari dalam. Mengingat Ratna adalah manusia yang memiliki nalar untuk menjatuhkan pilihannya atas apapun.
Pernyataan Hendry dipertanyakan ulang oleh Wayan Sumahardika – Sutradara dan penulis lakon. Justru Suma tidak melihat motivasi kuat atas pilihan Ratna menikahi suaminya yang meninggal itu. Apakah ada kecendrungan perempuan Bali menikah dengan laki-laki bukan Hindu, apakah ada alasan selain perasaan dan logika yang dapat diperhitungkan. Sehingga tindakan Ratna merupakan dampak dari suatu kultur dan narasi yang lebih besar. Selain itu Suma pula menyinggung satu kebudayaan yang hampir mirip dengan orang Bali saat melaksanakan upacara. Seperti meminjam sejumlah barang, karpet dan kursi. Serta sistem menejenukanpun dipraktekan, hanya saja mungkin jenis barang-barangnya berbeda dengan di Bali.
Sementara itu Nirartha – sutradara dari Film Sarad , lebih banyak membahas teknis dan kualitas gambar yang masih kurang dibeberapa bagian. Masih adanya noise – gambar kotor pada adegan dapur, saat Ratna membuat minuman. Ada potongan-potongan suara yang kurang halus, sehingga perlu diperbaiki. Terakhir adegan teriakan Ratna yang dihantam dengan lagu, semestinya dapat ditimbang volumenya, menjadi berantakan dan terkesan menganggu karena kurang teliti dalam racikan suara tersebut.
“Mungkin itu bisa dihilangkan saja lagunya, saya lebih suka mendengar teriakan lantang nya Ratna sampai di akhir film,” ujar Nirartha.
Dharma Putra seorang akademisi dan peneliti lontar mengutarakan pendapatnya bahwa ada tatanan bahasa yang tidak biasa dilakukan dalam bahasa Bali. Saat percakapan Ayah dan Ratna terdengar seperti Bahasa Indonesia yang mengalami terjemahan ke Bahasa Bali, jadi logika-logika Bahasa Indonesia masih terasa.
“Kayak,….. nike sane Gek kenehang, itu aneh di dalam Bahasa Bali, biasanya ….nike sane kenehang Gek. Saya nggak tahu siapa yang menerjemahkan bahasanya yah, tapi terasa kayak bahasa Indonesia,” ujarnya.
“Aku, aku yang ngerjain itu!” kata saya lantang, sambil tunjuk tangan, disambut dengan tawa penonton termasuk Dharma Putra
Saya pun menjawab, bahwa wacana ini bergerak dari analisis-analisis tokoh yang ada dalam film. Ratna tumbuh di Kota dalam hal ini Denpasar, yang sudah mengalami pembauran penduduk, karena banyak kawan-kawan rantau yang datang untuk bekerja di kota. Identitas kemudian mengalami gejolak karena banyak mendapat pengaruh, termasuk identitas Bahasa.
Ratna seorang bangsawan yang hidup dalam keluarga konvensional dan konservatif, tapi lingkungannya sungguh cair, sehingga berdampak pada cara dia berbahasa. Konteks ini juga sedang terjadi saat ini, betapa tegangnya bahasa kita hari ini, karena mendapat sisipan, serapan, atas trend media sosial, lingkungan dan bahan bacaan.
Hendry Wahana menjelaskan bahwa atas kemepetan waktu, segalanya dilakukan dengan tergesa-gesa. Sebenarnya karya ini dijadwalkan pada Desember tahun 2021, namun karena pepatnya pekerjaan, dan mesti diselesaikan, maka terkesan karya ini diselesaikan terburu-buru. Terutama soal teknis yang disampaikan oleh Nirartha, dan riset -riset kecendrungan pola masyarakat Bali yang masih dapat dieksplorasi lebih dalam lagi.
Menanggapi hal ini, Mas Edo selaku punggawa Mash Denpasar, memberi pujian karena karya ini hadir tanpa founding sama sekali. Namun sayang dikerjakan secara cepat dan terburu-buru, justru sebenarnya dapat dikerjakan lebih santai karena tidak ada tuntutan apapun dalam pengerjaannya.
“Apa yang dikejar sebenarnya , kok terburu-buru begini?” tanya Mas Edo
Hendry menjelaskan dirinya selaku kreator punya kebiasaan buruk, tidak menyelesaikan satu garapan, bahkan hanya berujung pada draft naskah. Tidak pernah benar-benar selesai, Ratna menjadi satu capaian yang ia banggakan karena selesai, walapun tetap telat dari jadwal yang disepakati. Karya ini suatu lompatan bagi dirinya sendiri, dan senang karena bisa dikerjakan di Bali, hal ini mengantarkannya pada ruang-ruang pertemanan yang lebih luas.
Acara diskusi santai selesai, padahal saya sudah todong satu persatu untuk bertanya, rupanya tidak yang ingin mengutarakan isi hati. Acara dilanjutkan di luar Mash, dengan dua botol arak serta beribu cerita menjelang tidur. Acara tukar pikiran ini sudah lama saya rindukan, akhirnya terjadi lagi, semoga tidak ada halangan global yang menghalangi.[T]