Rajangan Barung sesi pertama sudah selesai dilaksanakan. Tiga hari – yaitu 6,7,8 Mei 2022 di Rumah belajar Mahima. Dalam pertemuan singkat itu, selain program yang sudah disiapkan Teater Kalangan sebagai panitia, banyak hal menjadi satu peristiwa bersama. Hal-hal di luar program seperti diskusi santai sampai malam, ketawa-ketiwi sambil membahas gagasan, sampai keribetan dunia perkabelan saat diskusi. Setidaknya kami mengabadikannya melalui foto esai yang akan teman-teman lihat.
Rajangan Barung merupakan kerja-kerja kepenulisan kritik, ulasan atas satu karya seni. Kepenulisan ini berdasarkan praktek artistik penulis, berusaha untuk mengiris pengalaman pribadi mereka atas apa yang akan ditulis. Tidak berupaya menulis kemudian menjadi seorang yang berbeda, namun menjadi diri sendiri dengan pisau bedah masing-masing. Tentu hal ini kami harapkan akan menghasilkan satu tulisan dengan perspektif yang liyan, variatif dan segar.
Dalam Rajangan Barung peserta bertemu dengan 3 seniman yakni Kadek Sonia Piscayanti (sastrawan, sutradara teater dan akademisi), Gusti Made Aryana (dalang wayang dan penulis) dan Putu Satria Kusuma (sutradara teater, Filmaker, penulis). Kami tim publikasi, utamanya yang mengabadikan momen adalah Bertrand Rangga, mencoba melihat dari luar progam, – sandal bertumpuk, sembrautan kabel, foto-foto lawas, jajanan suguhan dan ekspresi-ekspresi tak terduga dari peserta maupun narasumber terlibat.
Bagi saya program ini seperti performing Art , yang mengandalkan keterkejutan langsung di lapangan. Tanpa diukur sebelumnya, tanpa disiapkan, kami bertiga – Saya, Amri dan Bertrand harus was was atas momen itu, kehilangan sudah hal biasa, tapi setidaknya ada yang tertangkap juga.
Karena kerja ini bergerak atas kemungkinan interdisiplin, saya sempat menulis puisi atas kejadian-kejadian tak terduga tersebut. Silahkan disimak – semoga berkenan.
RAJANG-RAJANG
Hari pertama adalah perjumpaan
Hari kedua adalah percakapaan
Hari ketiga adalah pertanyaan kemungkinan ?
Perjumpaan kita diawali oleh kopi panas, di bawah pohon jepun
bunga-bunga jatuh di halaman, jadi hitungan matematika
atas waktu yang dibutuhkan untuk layu, menjadi kering,
lalu menyudut di catatan-catatan kita.
Aku mengenal bunga jepun lain – ternyata
saat perjalanan menyusur gang-gang tembusan di Bale Agung
ada kisah tentang seorang penyair, tumbuh seperti bunga liar
di antara ukiran, sulur-sulur paras di kuri agung,
Penyair itu berkata pada kami
ada saatnya kata-kata tumbuh dewasa,
lalu pindah dari rumah ke rumah
namun benih itu tetap ditubuhmu, simpan baik-baik
perjumpaan dan perpisahan akan mengeramnya
Seperti kisah wayang Blole, anak Tualen
yang tidak pernah dibincangkan, namun tetap tersimpan
pada bayang-bayang kelir di Bakti Seraga
kemudian raksasa mata merah datang kepadaku
menunjukan ujung jalan buntu itu adalah malam yang tidak pernah selesai
“Kapan malam akan selesai ?” tanya Blole pada Dalang
“Mungkin saat kita memahami, bahwa hidup hanya sandiwara yang sedang kupentaskan” jawab Dalang menatap mata Blole.
Blole lantas pergi sendiri, kecewa
ke sarang burung Cetrung di Banyuning.
Cet…cet…cet..trung
Ceeet…ceeeet….ceeeet..trung
Burung-burung itu hendak membuat rumah
di atas kepala penulis lakon,
ia membiarkannya, merelakan rambutnya dirangkai seperti bola-bola daun padi
“Tak ada larangan apapun di rumahku
termasuk di tubuhku ini, sebab kebenaran tidak selalu milik semua orang”jelasnya
sambil menatap sebuah kepala menyerupai burung di dinding-dinding
Di studio kecil itu,
seorang penari mencoba menerjemahkan dirinya
menjadi titik – koma – dan tanda tanya
seorang rantau mulai menghafal larik lirik sebuah cover buku
mana yang lebih cocok untuk memaknai pengembaraan
dua orang lain meniru burung-burung cetrung
membesarkan anak-anak di atas kepala.
Kami bertiga semakin tersesat dalam,
bagaimana jika nanti kita ke pantai
menghitung lumba-lumba yang sengaja datang ke pesisir
menghibur para tamu-tamu dari jauh.
Mereka dari kota besar, yang pepat oleh kita semua.
Foto-foto: Dok Teater Kalangan