Teman-teman di Gurat Institute sedang mengerjakan sebuah penelitian terkait dengan pengetahuan warna di Bali. Karena itu sejak minggu pertama di bulan November 2021 lalu, bersama mereka saya sering pulang-pergi ke Banjar Sangging di Kamasan, Klungkung, dan sekitarannya.
Tujuannya bukan untuk menikmati mie koples, kerupuk be, serombotan dan rujak bir yang terkenal di sana. Kalau pun itu jadi tujuan, katakanlah itu hanya tujuan kedua kami. Tujuan utamanya adalah untuk menyusuri data-data di Kamasan, lewat senimannya, tokoh-tokoh, maupun masyarakatnya.
Per Januari 2022 kami masih sering bolak-balik ke Klungkung, lebih sering lagi mampir ke studionya I Made Sesangka, pelukis asal Banjar Sangging Kamasan yang juga merupakan murid sekaligus menantu dari maestro I Nyoman Mandra. Lewat mengikuti proses berkarya Pak Dek (panggilan saya padanya), kami mencoba mengenali seni lukis Kamasan secara lebih dekat dan mencoba memahami pengetahuan-pengetahuan yang ada dibaliknya.
Tulisan pendek ini adalah catatan atas pengamatan proses tersebut.
Catatan ini coba membahas dua kedatangan kami ke Kamasan, yakni Minggu 7 November 2021 dan Jumat tanggal 28 Januari 2022 dimana kami berkesempatan untuk mengamati proses ngerus yang merupakan salah satu tahap penting dalam pembuatan lukisan Kamasan.
Ngerus dalam bahasa Bali berarti menggosok, dalam lukis Kamasan ngerus berarti menghaluskan dan melicinkan permukaan kain kanvas menggunakan panas dari gesekan cangkang kerang bulih/ kerang kuwuk bermotif tutul (latin: Cypraea Tigris).
Tahap ngerus dalam lukis Kamasan biasanya dilakukan dua kali, yang pertama ‘ngerus bubuan’untuk menyiapkan kain sebelum disket atau ngreke. Sementara yang kedua, ‘ngerus warnaan’ setelah warna-warna selesai dipasang agar siap untuk dicawi.
Masing-masing proses ngerus itu dipraktekkan oleh I Wayan Suardita (produsen kanvas Kamasan) di dalam ruang dapur rumah yang juga difungsikan menjadi tempat menggerus kain, satunya lagi oleh Pak Dek Sesangka dengan menggunakan alat pengerusan yang ada di Sanggar Wasundari—sanggar lukis Kamasan yang dibangun oleh Nyoman Mandra dan kini dikelola oleh Pak Dek dan Istrinya, Ni Wayan Sri Wedari.
Apa yang terlihat dalam foto-foto di atas adalah teknologi sederhana untuk menggerus yang umum dipakai oleh sangging-sangging kamasan. Karena difungsikan untuk menggerus maka teknologi ini dinamai pengerusan.
Menurut penuturan Pak Dek, pengerusan ini dulu hampir dapat ditemui di tiap rumah sangging atau seniman Kamasan, namun hari-hari ini pengerusan maupun aktivitas mengerus itu hanya dapat ditemui di beberapa rumah yang masih memproduksi kanvas Kamasan, serta studio-studio seniman Kamasan yang mempunyai kebutuhan memberikan workshop atau pelatihan kepada orang-orang yang datang ke mereka untuk belajar melukis dengan stil Kamasan.
Keluarga I Wayan Suardita dan Sanggar Wasundari adalah beberapa diantaranya yang masih menyediakan fasilitas pengerusandan biasanya sering dipinjam oleh para seniman Kamasan untuk menggerus lukisan.
Antara alat pengerus yang dipakai oleh I Wayan Suardita dan Pak Dek Sesangka, kita bisa melihat ada perbedaan pada bentuk pementalan (bambu untuk menekan kerang ke kain) yang dipakai. Apabila pementalan di Sanggar Suwandari hanya memanfaatkan satu bilah bambu, pementalan di dapur I Wayan Suardita dibuat dari dua bilah bambu yang diikat kencang dengan tali yang hampir menutupi seluruh bilah. Dibuat demikian mungkin menyesuaikan dengan fungsinya, karena pengerusan milik keluarga I Wayan Suardita biasanya hanya dipakai untuk menggerus kain kanvas yang baru selesai diberi tepung beras atau mubuhin.
Pengerusan ini juga digosok maju-mundur menggunakan dua tangan, sehingga terkesan menghasilkan kekuatan gosokan yang lebih kuat. Berbeda dengan teknik mengerus yang dipraktikkan oleh Pak Dek Sesangka, yakni menggunakan satu tangan dan tampak tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga untuk menekan kerang ke kain.
Menurut Pak Dek pula, untuk menggerus lukisan-lukisan Kamasan yang berukuran kecil jarang dipergunakan pengerusan dengan pementalan, artinya yang diandalkan hanya cangkang kerang bulih dan tangan tukang gerusnya itu sendiri. Menurutnya hal tersebut untuk meminimalisir tekanan gesekan yang terlalu keras yang berisiko merusak kain.
Berdasarkan pengamatan atas dua proses ngerusyang diperlihatkan oleh I Wayan Suardita dan Pak Dek, maka komponen-komponen pembentuk alat pengerusan beserta fungsinya coba saya urai menjadi beberapa bagian, antara lain:
- Lambang (tiang bagian atas), fungsi utamanya sebagai penopang atau tempat memasang pementalan.
- Pementalan, satu paket komponen yang terdiri dari sebuah balok kayu yang pada bagian tengahnya dibuat sedikit berongga untuk tempat memasang bilah bambu sehingga menghasilkan tekanan kepada kerang bulih. Panjang pementelan menyesuaikan antara tinggi lambang, alas papan, dan tebal kerang bulih agar menghasilkan daya tekan dan gosok yang kuat.
- Kerang bulih, kerang yang dipakai untuk menggerus biasanya memiliki cangkang licin seperti jenis kerang kuwuk atau Cypraea Tigris.
- Papan, papan tebal yang permukaannya rata sebagai alas tempat membentang kain, biasanya papan berukuran memanjang mengingat arah gosokan dengan pengerusan ini dominan hanya maju-mundur.
Cara mengaplikasikan pengerusan ini sederhana. Selain syarat utamanya harus menggunakan kerang bulih, kunci untuk menyukseskan proses pengerusan ini juga terletak pada kain kanvasnya sendiri. Agar kain dinyatakan siap digerus maka kain harus dijemur terlebih dahulu untuk memastikan kain dan warna (pada tahap ngerus warnaan) telah benar-benar kering.
Biasanya jika tidak (cukup) dijemur dan langsung digerus, warna akan terangkat dan belobor, merusak bagian-bagian pada lukisan. Setelah dijemur, kain yang masih dalam keadaan hangat langsung dibentang diatas alas papan tebal, kemudian cangkang kerang yang telah dihubungkan ke bambu pementalan ditaruh diatas kain kanvas, selanjutnya cangkang digosokkan secara maju-mundur.
Tahap ngerus dalam lukis Kamasan sendiri biasanya terjadi sebanyak dua kali, ngerus pertama yakni pada tahap setelah mubuhin-sebelum ngreke disebut ‘ngerus bubuan’ berfungsi untuk membuat pori-pori kain terbuka agar warna dapat terserap dengan baik.
Sementara proses ngerus yang kedua pada tahap setelah ngewarnin disebut ‘ngerus warnaan’ berfungsi untuk melekatkan, merapatkan dan mengencangkan warna pada kain kanvas. Proses ngerus juga berfungsi untuk mempermudah pelukis ketika akan melanjutkan beberapa tahapan akhir seperti nyawi (kontur), nyocain (memberi warna merah pada bagian permata), dan meletik (memberi warna putih/highlight pada bagian gigi, kuku, ornamen).
Bagaimana untuk mengetahui dan mengukur hasil gerusan? Menurut Pak Dek Sesangka kita cukup menggunakan tangan untuk meraba tekstur kanvas apabila dirasa permukaan kain telah rata dan licin maka menandakan jalannya ujung kuas tidak akan tersangkut-sangkut. Selain meraba kanvas, biasanya permukaan kain yang sudah cukup digerus akan terlihat lebih mengkilap daripada yang belum digerus.
Semula kegiatan menggerus ini terlihat mudah dipraktikkan, namun setelah teman-teman di Gurat Institute sendiri mencoba mempraktikkan ngerus ini sepulang dari Kamasan barulah kami memahami betapa banyak usaha mulai tenaga dan fokus yang harus disiapkan oleh para sangging maupun para ‘tukang gerus’ pada tahapan ngerus ini.
Catatan singkat ini ingin mengapresiasi hal tersebut, terutama keluarga I Wayan Suardita di Banjar Sangging yang sampai saat ini masih melanggengkan pengetahuan membuat kanvas kamasan hingga mengerus ini secara turun temurun. [T]
Batubulan, Februari 2022