Si parañjanaṅañ jaṅan ujar majajar, aji jaiminīnujarakĕnya kĕna, si puyuh alepaka apan paṅĕmĕh, kapitūt ikū wiku mutil makipū.
Si burung parañjanaṅañ berjejer berujar-membahas, Aji Jaimini secara tepat,
Si burung puyuh Alepaka karena kotor, ikut ekor Wiku yang membersihkan bulu dengan tanah.
Kakawin Rāmāyaṇa, XXV-20.
I
Kakawin Rāmāyaṇa yang ditulis di Jawa Tengah “antara tahun 856 dan sekitar 930 Masehi, dengan kemungkinan bahwa bagian terakhir ditambahkan pada periode 900-930 Masehi”1 menyebutkan ajaran AJI JAIMINI.
Istilah ‘Aji Jaimini’ yang dikenal di kalangan tradisional masyarakat ‘mababasan’ atau ‘mababaosan’ di Bali, yang mengkaji sastra-sastra Jawa Kuno yang terwariskan dan dipelajari menjadi suluh dalam kehidupan sosial dan keagamaan di Bali, tidak lain yang dirujuk atau dimaksud adalah ajaran MĪMĀṂSĀ.
Mīmāṃsā disebut sebagai ‘aji’ (ajaran) dari Rĕsi Jaimini karena Sang Rĕsi adalah pendiri aliran ini. Kitab karangannya yang sangat berpengaruh berjudul Mīmāṁsā Sūtra atau Sutra Pūrva Mīmāṃsā, dipekirakan ditulis pada tahun 300–200 Sebelum Masehi.2 Kitab ini adalah salah satu teks filosofis Hindu kuno yang paling penting. Kitab ini menjadi pembentuk dasar-dasar dari Mīmāṃsā, sebagai darśana yang paling awal dari ṣaḍ darśana — yaitu Sāṃkhya, Yoga, Nyāya, Vaiśeṣika, Mīmāṃsā (Pūrva Mīmāṃsā), and Vedānta (Uttara Mīmāṃsā) — enam aliran ortodoks dalam filsafat India yang menerima otoritas Weda (āstika).
Mīmāṃsā berarti “refleksi” atau “penyelidikan kritis” dan dengan demikian mengacu pada tradisi kontemplasi yang tercermin pada makna tertentu teks Weda. Mīmāṁsa dibagi menjadi dua sistem berdasarkan dua pembagian Weda: Karma-khāṇḍa berurusan dengan yajna dan Jñāna-khāṇḍa berurusan dengan pengetahuan spiritual. Keduanya menggunakan metode logis yang sama dalam menangani masalah mereka; keduanya menggunakan bentuk sastra yang sama; tetapi masing-masing memiliki lingkup interpretasinya sendiri yang terbatas. Keduanya ini kemudian menjadi: Pūrva-Mīmāṁsa (Karma Mīmāṁsa) — pūrva berarti “lebih awal”; karena berhubungan dengan bagian awal dari Weda. Ruang lingkupnya adalah untuk menafsirkan yajña yang diperintahkan dalam Weda, yang mengarah ke Pembebasan; dan Uttara-Mīmāṁsa (Jñāna Mīmāṁsa); Uttara berarti “yang terakhir”; karena berhubungan dengan bagian akhir dari Weda. Ruang lingkupnya adalah untuk menafsirkan pengetahuan yang diungkapkan dalam Weda, yang mengarah pada Pembebasan. Kedua sistem ini secara umum disebut hanya sebagai Mīmāṁsa dan Vedānta, keduanya menyelidiki tujuan tindakan manusia, hanya saja keduanya melakukannya dengan sikap yang berbeda terhadap perlunya praksis ritual.
Mīmāṃsā dikenal karena teori-teori filosofis tentang sifat dharma, dalam perspektif atau analisis hermeneutika dari Weda, terutama kitab brahmana dan samhita. Aliran darśana berfokus pada ritual ortodok kuno dari ajaran Weda, yang ribuan tahun dipakai pedoman dan dasar pijakan dalam melaksanakan perintah Vidhi (yaitu ajaran mantra dan ritual yang ada dalam Weda kuno).
Pūrva Mīmāṃsā secara sekilas seperti menutup perdebatan, dengan mengatakan, bahwa ritual- ritual yang Weda atau tradisi kuno itu harus tetap dijalankan karena “memang begitu” (mula- keto) berdasarkan perintah (Vidhi) yang diperintahkan dalam Weda.
Menurut tradisi, pendiri Mīmāṃsā Rĕsi Jaimini disebut sebagai salah satu murid Rĕsi Weda Vyasa, penulis Mahabharata. Berikut secara ringkas isi dari Sutra Pūrva Mīmāṃsā karya Rĕsi Jaimini, terdiri dari dua belas bab:3
- Pada bab pertama tentang impor kumpulan kata-kata yang memiliki berbagai arti dibahas. Seperti, perintah (vidhi), bagian penjelasan (arthavada), himne (mantra), tradisi (śmriti) dll.
- Dalam bab kedua, diskusi yang berkaitan dengan perbedaan berbagai ritus, sanggahan dari bukti yang salah dll diadakan.
- Dalam bab ketiga, śruti, pengertian bagian (lingga), konteks (vakya), dan bobotnya masing-masing ketika bertentangan satu sama lain, upacara-upacara yang disebut pratipatti-karmdni, hal-hal yang disebutkan secara kebetulan (anarabhyadhita) dan tugas- tugas pengorbanan dijelaskan.
- Dalam bab keempat, pengaruh pada ritus-ritus utama dan ritus-ritus bawahan lainnya, buah-buah yang disebabkan oleh juhu dan permainan dadu, yang merupakan bagian bawahan dari pengorbanan rajasuya dijelaskan.
- Bab kelima membahas urutan relatif dari berbagai bagian sruti, bagian-bagian yang berbeda dari pengorbanan dll.
- Dalam bab keenam, orang-orang yang memenuhi syarat untuk mempersembahkan kurban, kewajiban mereka, bahan pengganti yang digunakan dalam kurban, ritus penebusan dan berbagai api kurban dijelaskan.
- Dalam bab ketujuh dan delapan, pemindahan upacara dan pemindahan berdasarkan kebajikan dari satu pengorbanan ke pengorbanan lainnya dibahas.
- Dalam bab kesembilan, adaptasi himne ketika dikutip dalam konteks baru (uha), dan melodi (saman) dan mantra dibahas.
- Dalam kesepuluh, diskusi berkisar pada tidak dilaksanakannya ritus-ritus utama dan ritus- ritus dependen, persembahan kepada graha, dll.
- Dalam bab kesebelas, ada diskusi tentang tantra (menggabungkan beberapa tindakan menjadi satu), dan avapa (pertunjukan suatu tindakan lebih dari satu kali).
- Dalam bab kedua belas, prasanga, tantra dan akumulasi dari upacara-upacara bersamaan (samuchchaya) dijelaskan.
II
Tujuan utama dari ‘Aji Jaimini’ atau Mīmāṁsa adalah untuk menetapkan “Perbuatan Benar” atau manut dharma, manut sasana, sesuai dengan Dharma. Premis dasar Mīmāṁsa adalah bahwa “tindakan” adalah fundamental bagi kondisi manusia: Tanpa penerapan, pengetahuan adalah sia-sia; tanpa tindakan, kebahagiaan tidak mungkin; tanpa tindakan, takdir manusia tidak dapat dipenuhi; Oleh karena itu, Perbuatan Benar (Dharma) adalah inti dari kehidupan yang bermakna di bumi.
Fokus utama pragmatisme Mīmāṁsa membabar esensi dari Weda yaitu VIDHI atau “perintah” — dalam bahasa Bali disebut sebagai Sang Hyang Tuduh atau Sang Hyang Widhi — yang didefinisikan sebagai berikut:
- Vidhi adalah teks (Weda) yang mengandung kata kerja atau ekspresi yang mengkomunikasikan instruksi [ritual].
- Dalam konteks Weda, satu-satunya Vidhi yang penting adalah petunjuk-petunjuk ritual.
- Dalam Vedānta, Vidhi juga merupakan pernyataan mengenai Realitas Tertinggi — Brahman, Ātman dan tujuan hidup (puruṣārtha) —semua hal yang tidak dapat dipahami baik oleh persepsi maupun akal.
- Menurut Vedānta pengetahuan harus memiliki penerapan praktis, sehingga oleh karena itu Brahman, jīva dll selalu disebutkan dalam konteks “melakukan” sesuatu yaitu meditasi.
- Dalam konteks Smṛti, vidhi ini berhubungan dengan Dharma dalam situasi apa pun serta semua aspek yurisprudensi dan interpretasi hukum.
- Dalam konteks Tantra, Vidhi berhubungan dengan Dharma, Kebenaran Mutlak serta metode sādhana (latihan spiritual).
Keyakinan sentralnya adalah: Semua ritual, upacara dan meditasi yang diperintahkan dalam Weda, tidak peduli betapa tidak berartinya mereka muncul di permukaan dikatakan pada akhirnya mengarah pada evolusi spiritual dan pencerahan. Mīmāṁsa berusaha untuk menunjukkan bagaimana mereka semua didasarkan pada Dharma dan mengarah pada kesejahteraan spiritual semua makhluk. Mīmāṁsa menafsirkan Weda atas dasar bahwa kebahagiaan abadi dapat dicapai dengan pelaksanaan ritual yang benar yang didasarkan pada Dharma (yaitu praktik), dengan demikian menyimpan pahala yang akan berbuah di kehidupan berikutnya.
III
‘Mula keto’ (memang begitu) atau “demikian adanya maka harus diterima dan dijalankan” — jika kaji dalam perspektif Pūrva Mīmāṃsā — berdasarkan derajat ortodoksi ‘mula-keto’ sekiranya bisa dibagi menjadi tiga bagian4, dari secara berurutan:
- Apūrvavidhi (vidhi/perintah absolut);
- Niyamavidhi (perintah pembatasan) dan;
- Parisaṃkhyāvidhi (perintah pengecualian).
1. Apūrvavidhi (vidhi/perintah absolut) adalah “mula-keto” yang bersifat absolut.
Apūrvavidhi memerintahkan sesuatu yang tidak diperoleh dengan kesaksian lain — tidak bisa dicari alasannya kecuali memang karena itu adalah perintah berdasarkan tradisi suci yang sudah dijalankan atau diperintahkan untuk dijalankan secara turun-temurun. Di sini sebuah ritual atau sesuatu, yang mutlak atau sama sekali tidak bisa dicarikan penjelasannya, yaitu sesuatu tidak ditetapkan karena ada cara untuk pembuktiannya.
Laugākṣi Bhāskara memberikan penjelasan bahwa:
“pramāṇān-tareṇāprāptasya prāpako vidhir apūrvavidhiḥ.”
Artinya “The injunction, which establishes (a matter which is) not established by any other means of proof is a new or original injunction.” [Perintah yang menetapkan (suatu hal yang) tidak dapat dibuktikan dengan alat pembuktian lainnya adalah perintah yang asli].
Dalam tradisi Weda diperintahkan: “Untuk mencapai surga, lalukan upakara”.
“yajeta svargakāmaḥ” [Seseorang yang menginginkan surga harus berkorban].
Kalimat atau perintah ini tidak bisa dibuktikan. Untuk membuktikan, harus ada yang pernah ke surga. Ke surga persyaratannya adalah mati. Sementara itu, ada yang mengaku pernah mati atau ke surga, tapi orang yang mengaku itu tidak mati.
Menolak atau mengatakan perintah itu tidak benar, atau mengatakan bahwa “tidak benar upakara bisa menyebabkan dapat surga” juga tidak bisa valid. Kalau mengatakan bahwa upakara tidak menjamin masuk surga, orang harus pernah mati dan mengalami. Tidak seorangpun bisa membuktikan kesalahan atau ketidakbenaran perintah tersebut.
Perintah “yajeta svargakāmaḥ” dijalankan karena begitulah “perintah” (Vidhi) yang disebutkan dalam Weda. Alasannya karena memang begitulah (mula-keto) berdasarkan perintah/petunjuk — dalam bahasa Bali dan Jawa Kuno disebut sebagai Hyang Tuduh (Hyang Perintah/Takdir/ Penentu Ketetapan) atau Vidhi — maka tidak ada lagi perdebatan yang bisa menganulir, atau bisa mengatakan itu tidak valid atau tidak terbukti, maka dijalankan tanpa perlu pembuktian.
Tanpa perlu ada pembuktian sebuah tindakan ritual dilakukan, karena memang demikian adanya perintah (Vidhi) dari Sang Hyang Tuduh (Sang Hyang Vidhi). Apūrvavidhi dijalankan karena tidak ada logika yang juga bisa “menggagalkan” dengan pembuktian terbalik.
“etadvākyāpravṛttidaśāyāṃ svargaphalajanakatvaṃ yāgasya pramāṇāntareṇa na viditam, anenaiva tadvidhānāt samanvaya ityarthaḥ”
In case of non-application of this sentence [‘yajeta svargakāmaḥ’] the state of being the producer of heaven of sacrifice can not be known by any other proof of knowledge. Only by this sentence it has been laid down. So, there is connection [causal relationship between sacrifice and heaven]. This is the purport here.
[Jika kalimat ini tidak diterapkan (‘ yajeta svargakāmaḥ ‘) keadaan sebagai penghasil surga pengorbanan tidak dapat diketahui dengan bukti pengetahuan lainnya. Hanya dengan kalimat ini telah ditetapkan. Jadi, ada adalah koneksi [hubungan sebab akibat antara pengorbanan dan surga].Inilah maksudnya di sini].
Mengatakan bahwa melaksanakan upakara tidak ada bukti bisa menjamin seseorang masuk surga, juga tidak bisa dibuktikan. Tapi dengan melakukan upakara dan doa, maka terbentuk hubungan sebab akibat. Upakara adalah ikhtiar atau upaya memunculkan akibat yaitu surga.
Hubungan sebab-akibat dari upakara dan surga minimal terbentuk. Dalam pelaksanaan terletak pada bagaimana ketepatan dalam melaksanakan perintah untuk melaksanakan upakara tersebut.
Untuk mendapatkan akibat (atau hasil) yang tepat, harus diupayakan sebab (atau usaha) yang tepat.
Di sinilah pentingnya melaksanakan Vidhi (perintah atau aturan) secara ortodok berdasarkan Weda.
2. Niyamavidhi (perintah pembatasan) adalah perintah “mula-keto” dengan pembatasan.
Contoh dari perintah Niyamavidhi yang ditemukan dan dilaksanakan di Bali adalah “vrīhīn avahanti” artinya dalam upakara dimulai dengan beras harus ditumbuk.
Di Bali dikenal berbagai upakara kuno “ngingsah baas” (membersihkan beras) sebagai pembuka upakara besar. Dahulu dimulai dengan “menumbuk beras” (vrīhīn avahanti) sebelum “ngingsah baas”.
Cara menumbuk gabah ada beberapa cara. Bagaimana caranya, ini yang dibatasi untuk mengikuti perintah ini. Kenapa odalan atau upakara dimulai dengan menumpuk beras “vrīhīn avahanti” adalah perintah Weda yang tidak perlu diperdebatkan lagi, tapi yang ditentukan adalah batasan bagaimana “mengupas beras”. Cara ini yang dibahas dalam Niyamavidhi.
Penjelasan Niyamavidhi dijelaskan oleh Laugākṣi Bhaskara, sebagai berikut:
“nānāsādhanasādhyakriyāyām ekasādhanaprāptau aprāptasya aparasādha-nasya prāpak vidhir niyamavidhiḥ”
An injunction of restriction is the injunction, which establishes or makes available or enforces another instrument which has not been established, when one instrument has been established [i.e. is likely to be adopted] in [the case of] an action which can be done by different means.
[Perintah pembatasan adalah perintah, yang menetapkan atau menyediakan atau memberlakukan instrumen lain yang belum ditetapkan, ketika satu instrumen telah ditetapkan (yaitu kemungkinan akan diadopsi) dalam (kasus) suatu tindakan yang dapat dilakukan dengan cara yang berbeda].
Ada banyak cara untuk perontokan/mengupas gabah. Perontokan atau pengupasan sekam padi ini dapat dilakukan dengan alu, alat pencacah, mesin dll. Jika upakara dimulai dengan menumbuk dengan alu, maka larangan ini tidak berlaku di sini. Tetapi jika serorang melakukannya dengan alu atau dengan mesin, maka perintah ini berlaku. Di sini ‘vrīhīn avahanti’ membatasi jalan dan mengatakan bahwa gabah harus disimpan di atas lesung kayu dan sekamnya harus dipisahkan atau dibersihkan dengan menggunakan alu. Jadi, perintah ini tidak berarti menyelip/memisahkan gabah dan sekam menjadi beras saja. Karena dapat diperoleh dengan cara kesepakatan (anvaya) dan cara perbedaan (vyatireka).
Jika ada ‘A’, ada ‘B’ — inilah dalil atau struktur metode kesepakatan.
Jika tidak ada ‘A’, tidak ada ‘B’, atau jika tidak ada ‘B’, tidak ada ‘A’—inilah bentuk metode pembedanya.
Di sini jika salah satu sarana ada, akan ada pengupasan dan jika sarana tidak ada, tidak akan ada pengupasan yaitu tidak akan terjadi. Tapi ini bukan maksud dari kalimat Weda ini. Jika beberapa hasil yang tidak terlihat akan dihasilkan dengan mengupas, maka itu harus dilakukan hanya dengan lesung dan alu. Perintah ini memenuhi alternatif yang tidak diperoleh yang harus diikuti. Ketika upacara atau ritual, jika padi dikupas dengan mengupas mesin, maka perontokan dengan lesung dan alu menjadi tidak didapat terjadi. Kitab Arthaloka menjelaskan bagaimana contoh Niyamavidhi dalam hal perintah memulai upakara yang dimulai dengan nepuk (perontokan padi) dengan lesung dan alu yang didapat:
“tuṣavimokāya yadā nakhavidalanaṃ sādhanaṃ parigṛhṇāti tadāvahananasya yā aprāptiḥ tatprāptisampādanam ayaṃ vidhiḥ karoti ityarthaḥ”.
Laugāksi Bhāskara telah memberikan definisi singkat menurut pembacaan Kumārila Bhaṭṭa—
“pakṣe’prāptasya prapako vidhir niyamavidhiḥ”
(Perintah, yang menetapkan suatu hal, yang tidak ditetapkan dalam alternatif, adalah perintah pembatasan).
Dalam konteks pelaksanaan ritual tradisional kuno di Bali prosesi upakara dilakukan di pura dengan nepuk padi dengan ketungan dan alu. Penjelasan, berdasarkan Sraddha ajaran Weda, dengan itulah suara orang “nepuk padi” menumbuk padi sebagai awal upakara maka semua Bhuta Kala dan semua penghalang dari dunia bawah atau bhuta berlari tidak mengganggu upakara yang akan dilangsungkan. Demikian juga disebutkan bahwa suara nepuk dan ngingsah baas adalah penghusiran atau penghalau semua rintangan bhuta kala dalam melakukan karya, odalan atau upakara. Karena itulah dahulu kala semua pura di Bali memiliki ketungan dan alu. Memiliki alat dapur lengkap di pewargan (dapur Pura) tempat nepuk padi dan mulainya prosesi upakara berdasarkan Weda.
Rig Weda menjelaskan bagaimana Manu melakukan upakara Yadnya: “Salah seorang dari pendeta memukul batu gilingan padi dengan banji dan menghasilkan bunyi-bunyi tetabuhan, dipukulkan ke lesung, alat penumbuknya dipukulkan ke dinding dan bawah dari pada tempat penumbukan (lesung)”. Memukulkan alat penumbuk (alu dan lesung) adalah pembuka upacara yang dilakukan secara tradisi di Bali, bersumber Satapatha-Brahmana (aturan upakara yadnya) yang merupakan bagian dari Rg Weda.
Kenapa begitu?
Karena “mula-keto” menurut perintah Weda: “vrīhīn avahanti” — tumbuk padi menjadi beras untuk melakukan (membuka/memulai) upakara suci.
Perintah dengan “pembatasan cara” ini disebut sebagai Niyamavidhi (perintah pembatasan).
Upakara Purnama dan Tilem di Bali di masa lalu dimulai dengan “vrīhīn avahanti”, ketika ketaatan “mula-keto” pada perintah Satapatha-Brahmana masih dipegang sangat baik.
Contoh lain dari Niyamavidhi adalah:
“same yajeta” (Seseorang harus yadhnya di tempat yang datar)
Jika upakara atau yadnya yang penting atau utama dilakukan di tempat yang tidak rata, maka tempat yang rata atau datar yang diperintahkan menjadi tempat yadnya tidak terpenuhi.
“Same yajeta” adalah perintah yang melarang yadnya di di tempat yang tidak rata dan memerintahkannya untuk melakukannya di tempat yang rata. Jika dia tidak memedulikan hukum Weda ini, siapapun tidak akan mendapatkan hasil yang baik; justru akan menimbulkan dosa.
Selain alasan logis bahwa yadnya tidak baik dilakukan di tempat miring, upakara yadnya akan memang nyaman dilakukan di tempat datar, ini adalah perintah Weda. Yang melanggar bukan mendapat pahala yadnya, malah mendapat dosa. Inilah yang dimaksud atau penjelasan niyamavidhi atau perintah pembatasan.
Berdasarkan perintah tersebut, semua tempat suci di Bali (pura atau lapangan) untuk yadnya diratakan halamannya. Halaman depan pura, tengah, dan utama pura di Bali diratakan atau dibuat datar untuk menjamin bahwa upakara yadnya di pura dilakukan sesuai perintah Weda: “Same yajeta”.
“Same yajeta” adalah perintah Weda yang diterjemahkan dalam arsitektur di Bali dengan membuat mandala luar, tengah dan dalam dalam pura di Bali, untuk implementasi bahwa upakara wajib hukumnya dilakukan di tempat datar.
3. Parisaṃkhyāvidhi (perintah pengecualian).
Pada saat Ekadasi direkomendasikan tidak puasa, tapi hanya makan buah saja. Bukannya puasa, tapi hanya makan buah dianjurkan. Buah dikecualikan, makanan lain tidak bisa menjadi pengganti buah. Bagaimana dengan tidak makan sama sekali? Dibolehkan. Yang tidak diperbolehkan adalah buah tidak bisa digantikan dengan makanan lainnya. Puasa penuh boleh, tetap makan buah sebanyak-banyaknya yang diajurkan, tanpa makan yang lain.
Pendeta Hindu Bali tidak diwajibkan vegetarian. Tapi daging tertentu saja yang dibolehkan. Tidak makan daging-daging itupun tidak dilarang. Artinya tidak dilarang makan daging dengan pengecualian. Dalam kependetaan Hindu Bali dikenal kitab Wrati Sasana yang merupakan teks sasana untuk seorang wrati yaitu orang yang melaksanakan wrata atau brata yaitu janji dan realisasi hidup yang didasari oleh ajaran agama. Ini adalah kitab turunan dari Manusmerti yaitu bab khusus tentang aturan makan bagi pendeta Hindu. Tidak ada larang makan daging di dalamnya, tapi jelas sekali perintah pengecualian atau Parisaṃkhyāvidhi.
Disebutkan: Seperti daging manusia, daging kera, daging sapi, daging harimau, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging keledai, daging ayam rumah, daging babi rumah, daging singa. Semuanya itu dikatakan daging yang tidak suci bagi seorang pandita.
“Kadyangga ning daging ing wong, daging ing wre, daging ing sapi, daging ing macan, daging ing liman, daging ing jaran, daging ing asu, daging ing gardabha, daging ing tetep umah, daging ing celeng umah, daging ing singha, ika ta kabeh inaran acoksa mangsa.”
Selanjutnya dijelaskan apa boleh dimakan sebagai perintah pencualian atau Parisaṃkhyāvidhi.
“Muwah ikang praIi kremi nga. bhith kremi nga, kadyangga fling uler mungguh ing lemah, bhUkita nga, semut momah ing lemah, lawan ta salwir ikang prapi kagila-gila, kinelikan de fling sarwwaloka, ikang prapi bheda riipanya, kadyangga fling lintah, cacing kuricak iris-irispoh uler kawedi- wedi singgat ityewamadi, tan kinagreddha ning mulat, ika ta kabeh sinanggah kanitha mangsa nga.”
“Kalawan ikang sinanggah camah, ikang mrega, de sang siddhanta Suddha brata, kadyangga fling luwak, wingsang langkapan kendo wantirah wuk wirog ruti taledu huwa- huwa wurangutan kadal kararap lalawa tekek cecek tilap tunggelit, tan yogya ika bhaksan de sang siddhanta suddha brata.”
[Dan bangsa cacing yaitu bhuh kremi yaitu cacing yang hidup di tanah, bhukita yaitu semut yang tinggal di tanah, dan semua jenis binatang yang menjijikkan, dibenci oleh orang banyak, binatang yang bentuknya aneh seperti lintah, cacing, kuricak, iris-iris poh, ulat, yang ditakuti orang dan sebagainya, tidak disenangi oleh orang yang melihatnya, semua itu dipandang daging yang nista].
[Dan lagi binatang yang dipandang tidak suci oleh penganut siddhanta yang melaksanakan brata yang suci, ialah musang, wingsang, langkap, kendo, wantirah, babi, wirog, ruti (sebangsa biawak), kalajengking, huwa- huwa, orang hutan, kadal, klarap (sejenis kadal terbang) kelelawar, tokek, cecak, tilap, tunggelit, semua itu tidak boleh dimakan oleh penganut siddhanta yang melaksanakan brata yang suci].
[Dan lagi yang boleh dimakan burung belibis, bayong, kalong. Inilah yang pertama boleh dimakan: ikan sungai dan ikan laut itu semua boleh dimakan, tetapi tidak termasuk buaya dan ikan-ikan yang amat besar, yang rupanya amat menakutkan].
[Dan lagi yang tidak boleh dimakan oleh Sang Siddhanta yang melaksanakan brata yang suci ialah santapan yang dihinggapi oleh lalat, nyamuk, kutu busuk, agas, tuma, kapinjal, catak- catak, limpit, tengu, yang demikian itu cemar adanya, tidak benar itu dimakan].
Seorang pendeta Hindu Bali mengomentari aturan kitab ini sebagai berikut: “Itu artinya tidak dilarang makan daging, tapi persyaratannya dan ketentuannya sangat rumit dan banyak yang tidak mudah ditemukan. Artinya ini semacam pelarangan. Saya memilih menjadi vegetarian bukan karena tidak menangkap bahwa perintahh tersebut bukan perintah wajib menjadi vegetarian tapi menganjurkan bagi para pendeta ‘nekung dewek’ (menuntun dan membatasi diri) agar bisa focus pada kesucian”.
Demikian juga semacam perintah lain, yang dipegang di Bali dalam hal penampahan Galungan (ritual menyembelih hewan sehari sebelum hari raya Galungan). Jika ditafsirkan secara lebih luas, yang dimaksudkan sebagai bagian dari upacara adalah hanyalah penyembelihan hewan ketika hari penampahan Galungan. Menyembelih babi pada hari lainnya tidak dilarang, tapi yang dihitung sebagai pahala upakara hanya saat terkait dengan Galungan atau bagian dari upakara. Makan daging babi tidak dilarang pada kesempatan lain, tapi ini bukan ajuran yang bagian daripada ritual yang berpahala.
Dalam tiga bagian “mula-keto” Pūrva Mīmāṃsā — Apūrvavidhi (vidhi/perintah absolut), Niyamavidhi (perintah pembatasan) dan; Parisaṃkhyāvidhi (perintah pengecualian) — bagian pertama (Apūrvavidhi) yang paling absolut, tidak bisa lagi diperdebatkan. Sementara yang kedua (Niyamavidhi) masih bisa diperbincangkan ada pembatasan, dan yang ketiga (parisaṃkhyāvidhi) sudah terbuka ada “nalar”, seperti aturan puasa yang sifatnya tidak larangan tapi pengecualian yang bisa dimaknai sebagai “diet” atau aturan hidup yang memberikan tuntunan untuk meningkatkan efektifitas kesucian menjalankan perintah Vidhi.
IV
Jejak-jejak ‘Aji Jaimini’ atau Mīmāṁsa dalam sastra Jawa Kuno atau kehidupan masyarkat Bali kita temukan dalam keterkenalan konsep Tri Pramana, 3 cara prinsip di mana pengetahuan dan informasi diperoleh:
- Persepsi langsung (pratyakṣa) — bukti nyata.
- Inferensi/alasan (anumāna) — bukti berdasarkan alasan.
- Kesaksian/ajaran yang sah (śabda) — saksi yang dapat dipercaya.
Menurut Jaimini, “pengetahuan Dharma” hanya dapat diperoleh dengan kesaksian verbal (śabda/āgama = Weda) dengan kata lain melalui media bahasa. Untuk mendukung posisinya ia meletakkan 5 proposisi:—
- Śabda memiliki kekuatan yang melekat dan abadi untuk menyampaikanmaknanya. Jaimini berpendapat bahwa arti kata-kata Sansekerta tidak tergantung pada hak pilihan manusia dan dimiliki oleh kata-kata itu pada dasarnya.
- Śabda [ajaran Weda] bersifat substantif dan tidak bergantung pada sumber lain mana pun untuk maknanya; jika tidak, ia akan terlibat dalam kekeliruan regressus ad infinitum.
- Dalam hal-hal yang berhubungan dengan alam tak kasat mata (niṣkala), Śabda — ajaran Weda — adalah satu-satunya panduan yang sempurna.
- Pengetahuan yang diturunkan dari Śabda disebut Upadeśa (ajaran).
- Śabda bersifat otoratif.
Tradisi mababasan atau mababaosan di Bali, dengan meletakkan focus pada pembelajaran bahasa dan kata pada konteksnya, pada konteks kakawin atau naskah yang dibahas, menjadi penciri kuatnya tradisi interpretasi gaya Mīmāṁsa, yang mana menurut pendalilan ini dinyatakan bahwa: Apa pun sumber pengetahuannya, sesuatu hanya dapat diartikulasikan dengan menggunakan kata-kata yang memiliki makna yang dipahami secara umum. Setelah ditulis, sebuah “wahyu” dengan demikian mengambil bentuk deskripsi dan proposisi yang dapat dinilai secara rasional. Di sisi lain, penilaian itu cenderung mengungkapkan lebih banyak tentang keterbatasan konsep dan logika daripada tentang “pengetahuan asli” yang ingin mereka ungkapkan.
Mirip seperti cara pandang tradisi mababasan atau mababaosan di Bali: Anda dapat mengingat sesuatu tanpa konsep, tetapi Anda tidak dapat memikirkannya tanpa konsep. Anda dapat menggambar tanpa konsep tetapi Anda tidak dapat menjelaskannya tanpa konsep. Dengan cara pikir ini tradisi mababasan atau mababaosan mencari konsep di balik semua kata-kata yang dibahas, baik ketika kata atau ungkapan itu berdiri sendiri, atau dalam konteksnya dengan naskah tertentu dan naskah lain.
Mīmāṁsa mendalilkan: Begitu agama melampaui wilayah pengalaman religius pribadi, ia bertemu dengan akal manusia, dan hasilnya adalah bahasa. Dalam tradisi mababasan atau mababaosan bahasa atau ungkapan kalimat yang merupakan pengalaman para Kavya (penyair suci) di masa lalu dibahas dan diperdebatkan dalam dialog dan pembahasan bersama kata demi kata. Mababaosan adalah tradisi untuk mengungkap pesan spiritual tersembunyi yang ada dalam bahasa sang Kawi.
Dalam tradisi mababasan dan tataran praksis atau praktek penyelenggaraan yajña, selain “mula- keto” —Apūrvavidhi (vidhi/perintah absolut); Niyamavidhi (perintah pembatasan) dan; Parisaṃkhyāvidhi (perintah pengecualian) — ada etika positif yang punya otoritas kebenaran dan mengikat, yang dikondisikan oleh enam faktor, terbagi dalam 3 faktor objektif dan 3 faktor subjektif, yaitu:
3 faktor objektif
- Deśa —tempat
- Kāla —waktu
- Pātra —keadaan
3 faktor subjektif
- Svabhāva —watak seseorang
- Bhūmika —tingkat perkembangan seseorang
- Adhikāra —kesesuaian seseorang
Dalam prakteknya semua faktor tersebut harus dilihat dengan bijak, antara Vidhi (teks Weda) dalam membandingkan tingkat otoritas dan penerapannya.
Ajaran Deśa, Kāla, Pātra — tanpa banyak dipahami bersumber dari tradisi Mīmāṁsa — menjadi jargon yang sangat popular di masyarakat Bali. Demikian juga ajaran Tri Pramana yang berbasis dari ajaran pramāṇa, yang secara harfiah berarti “bukti” dan “sarana pengetahuan”, adalah ajaran filsafat Vedic dari tradisi Mīmāṁsa, di Bali dijadikan panduan atau sarana pemerolehan pengetahuan, dan berfungsi sebagai salah satu konsep inti dalam berbagai lontar- lontar Jawa Kuno dan Bali sebagai panduan epistemologi.
Tri pramāṇa telah menjadi salah satu sarana pikir utama yang banyak diperdebatkan dalam tradisi teks Jawa Kuno dan Bali diperkirakan semenjak era Bali kuno. Tri pramāṇa adalah teori pengetahuan, dan dipegang dalam tradisi sastra dan kependetaan di Bali sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan yang akurat dan benar. Tri Pramāṇa berfokus pada bagaimana pengetahuan yang benar dapat diperoleh, bagaimana seseorang mengetahui, bagaimana seseorang tidak tahu, dan sejauh mana kedalaman dan kerunutan pengetahuan seseorang,5 menjadi saran mendedah berbagai wacana atau teks lisan dan tertulis yang diwariskan di Bali.
______
1 Menurut Stuart Robson: Kakawin Rāmāyaṇa Jawa Kuno ditulis antara tahun 856 dan sekitar 930, dengan kemungkinan bahwa bagian terakhir ditambahkan pada periode 900-930, dimuat dalam Old Javanese Ramayana. Tokyo: Tokyo University of Foreign Studies, 2015. Sebelumnya C. Hooykaas, 1955, The Old-Javanese Rāmāyaṇa kakawin, VKI 16, The Hague: Martinus Nijhoff. Menjelaskan dengan gambling bahwa versi Jawa Kuno ini bersumber dari versi India Bhaṭṭi-kāvya. Hendrik Kern, 1900, Rāmāyaṇa Kakawin, Oudjavaansch heldendicht’s Gravenhage: Martinus Nijhoff — mengupas berbagai hal yang kembali dikaji ulang oleh R.M.Ng. Poerbatjaraka dalam menjelaskan dan menterjemahkan, serta mengkaji ulang karya sastra ini. Soewito Santoso, 1980, Rāmāyaṇa kakawin, New Delhi: International Academy of Indian Culture. 3 volumes — menterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris kitab ini dengan berbagai keterangan yang didedikasikan ke Prof. R.M.Ng. Poerbatjaraka. Mengenai ringkasan dari Kakawin Rāmāyaṇa bisa dibaca di halaman 218-233 buku Kalangwan, karya P. J. Zoetmulder, 1974, Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature, The Hague: Martinus Nijhoff.
2 Baca halaman 130 dari buku The Essentials of Indian Philosophy karya Hiriyanna, M. (1995). Delhi: Motilal Banrasidass.
3 Cowell, E. B.; Gough, A. E. (2001). The Sarva-Darsana-Samgraha or Review of the Different Systems of Hindu Philosophy: Trubner’s Oriental Series. Taylor & Francis. Halaman 178–179.
4 Baca Mimamsa interpretation of Vedic Injunctions (Vidhi) oleh Shreebas Debnath, 2018.
5 Tentang hal ini silahkan baca Karl Potter (2002), Presuppositions of India’s Philosophies, Motilal Banarsidass, India.
____
- Tulisan (versi draft) ini disampaikan dalam forum diskusi ‘March-March-March’ Mahima, 18 Maret 2022 — 08.30 PM – 10.00 PM, Live Streaming Youtube: Komunitas Mahima