Jika lewat di depan Kantor Lurah Pedungan di Denpasar Selatan, kita akan temukan pedagang nasi jingo yang selalu ramai pengunjung. Tumpukan nasi jingo berbagai jenis menumpuk di atas meja, dan seseorang akan melayani pembeli dengan riang-gembira.
Nama warungnya, Nasi Jinggo Binal. Pengelola sekaligus owner, sekaligus pedagangnya bernama Gede Bobir, dipanggil Bobit. Nama lengkapnya Gede Purwa Mahardika. Usianya 29 tahun. Ia berasal dari Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng.
Nasi jingo itu ramai, mungkin karena di situ tersedia berbagai jenis nasi jingo. Sebut saja nasi jinggo pindang, ayam sisit (suir), ayam sambal bongkot, ayam pedas . ayam geprek, ayam sambal ijo, ikan teri, ayam telur, ati ampela, ayam rending, sapi, cumi, dan nasi jingo gurita.
Gede Bobit adalah anak desa, tepatnya dari Desa Les. Setamat SMA sekira tahun 2010-an ia merantau ke Denpasar dan bekerja apa saja asalkan ia bisa hidup di kota besar itu. Ia sempat kerja di bandara sebagai pekerja outsourching, sempat sebagai sopir dan sempat juga sebagai pegawai kargo.
Tiba-tiba ia punya keinginan untuk mandiri, misalnya membikin usaha sendiri. Alasannya agar bisa punya waktu lebih banyak bersama istri dan anak-anaknya. Maka, ia pun menjadi pengusaha nasi jinggo.
Warung itu dibangun tahun 2018. Inspirasi ia dapatkan ketika sering berkunjung ke pedagang nasi jingo di seputaran Denpasar. Ia tertarik dan yakin bahwa usaha nasi jingo punya peluang besar untuk bisa menjadi usaha yang besar, bukan sekadar iseng-iseng jualan di tepi jalan.
Awalnya ia membuat nasi jingo ayam geprek dan dititipkan pada seorang pedagang nasi goreng dengan pembagian keuntungan yang proporsional. “Kebetulan ayam geprek saat itu sedang hits, sehingga saya bikin nasi jingo ayam geprek,” kata Bobit.
Nasi jingo ayam geprek itu ternyata cukup digemari. Untuk itu, keinginannya membuka tempat atau warung untuk berjualan nasi jinggo harus diwujudkan segera. Dan, ia pun membua tempat.
Ia resmi berjualan dengan proses yang ternyata tak begitu mudah. Banyak tantangan. Jatuh bangun, untung rugi dan hal-hal gagal lain dilalui Gede Bobit. Mungkin karena ia memang tak punya pengetahuan tentang manajemen bisnis. “Saya hanya bermodal semangat dan terus belajar saja,” katanya.
Belajar dari keberhasilan dan kegagalan yang silih berganti, ia pun mulai menemukan rumus-rumus untuk menjual nasi jingo agar tetap laku dan setidaknya tidak rugi.
Alhasil, sebelum pandemi, Nasi Jinggo Binal sudah mempunyai empat cabang dengan omset mencapai kurang lebih Rp 90 juta sebulan. Omset yang fantastis di tengah masih besarnya gengsi untuk berjualan di pinggir jalan bagi anak muda.
Selama pandemi praktis semua cabangnya tutup. Tetapi berkat inovasi tiada henti, tempat yang menjadi cikal bakal Jinggo Binal tetap ia buka. Dengan satu warung itu saja omzetnya bisa mencapai Rp 45 juta sebulan. Selain berasal dari jualan nasi jingo, omzet sebesar itu dikumpulkan juga dari jualan gorengan dan minuman.
Saat pandemi, ia sempat merumahkan sejumlah karyawan, namun saat ini setidaknya tiga karyawan sudah dipekerjakannya kembali.
Sistem penggajiannya juga unik. Ada gaji bulanan dan harian. Dengan diberikan gaji harian, maka karyawan bisa menggunakan gaji itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. “Sehingga gaji bulanan mereka bisa ditabung,” kata Bobit.
Sungguh konsep dan ketulusan luar biasa dari laki-laki muda yang sudah punya dua anak ini.
Bagaimana jika dagangannya nasi jinggonya belum habis atau terdapat sisa? “Nasi akan saya berikan kepada teman-teman kuli bangunan atau pemulung sampah di pagi harinya,” ujar Bobit.
Besar harapannya agar semakin banyak ada anak muda di Bali yang terjun di dunia bisnis. Meski kecil-kecilan dan di emper jalan. Dan pesan dari lelaki yang memang agak nakal di masa remajanya ini adalah belajarlah “mendengarkan”, karena dari mendengarkan akan kita dapatlan banyak hal untuk kemajuan diri kita. Dan sekolah sebenarnya adalah “jalanan”.[T]