22 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Membaca “Sembahyang Bhuvana” Karya Saras Dewi Dari Perspektif Wittgenstein

Kadek Sonia PiscayantibyKadek Sonia Piscayanti
March 18, 2022
inUlasan
Membaca “Sembahyang Bhuvana” Karya Saras Dewi Dari Perspektif Wittgenstein

Membaca Sembahyang Bhuvana karya Saras Dewi bagi saya adalah sebuah perjalanan panjang dari perjalanan tubuh, perjalanan pikiran, perjalanan spiritual, sekaligus pertanyaan yang belum hadir, memungkinkan segala hal yang terjadi; kemungkinan sekaligus segala ketakmungkinan.

Saya merindukan kelas filsafat bahasa yang bagi saya sangat saya gandrungi di kelas doctoral saya, dengan pengampu Prof. Januarius Mujiyanto. Kala itu saya mendapat pemahaman lebih dalam soal filsafat, dan kebetulan saya mendapat tugas membedah Wittgenstein.

 Ketika saya membaca Sembahyang Bhuvana, kembali saya menemukan Wittgenstein disini. Bahwa filsafat memang mempertemukan semua kerinduan pada sebuah pertanyaan yang belum hendak selesai.

Tulisan saya soal Wittgenstein dapat disimak di Tatkala.co:

  • Siasat Filsafat “Tractatus Logico Philosophicus” dalam Hidup Wittgenstein
Siasat Filsafat “Tractatus Logico Philosophicus” dalam Hidup Wittgenstein

Bagi saya, dalam sebuah peristiwa membaca buku, ada banyak realitas dan imajinasi yang dihidupkan kembali. Menariknya, tidak satupun dari model pikiran itu yang dapat kita pahami dengan utuh sebagai sebuah makna yang tunggal, sebab dia hanya representasi gagasan dengan bahasa.

Sementara bahasa tidak akan pernah cukup digunakan untuk merepresentasikan gagasan, sama juga dengan pelukis yang tak pernah bisa menyuguhkan realita dengan gambar, semirip apapun objek dengan subjek yang digambar. Selalu ada hal-hal yang tak dapat dijelaskan oleh bahasa, oleh kata, oleh metafora. Dan disinilah barangkali, ini hanya barangkali, kita bisa menangguhkan kembali keyakinan kita pada apapun. Alih-alih yakin, kita harus terus mengupayakan penerjemahan makna yang baru terhadap apapun. Sebab, lagi lagi, tak ada yang bisa kita bahasakan dengan cukup.

Bagi saya Sembahyang Bhuvana adalah rangkuman dari rentetan pertanyaan, pernyataan, kegelisahan, dan suara Saras Dewi

dalam mencoba merepresentasikan gagasannya dalam tiga hal; tubuh, seni, dan lingkungan. Saya membatasi penjelasan saya pada perspektif Wittgenstein dalam konteks Tractatus-Logico Philosophicus, sebuah batas yang membingkai tulisan ini.

Tubuh sebagai Awal Tanya

Dalam tulisan pembukanya, Saras mengemukakan ide tentang bagaimana dia memulai pelajaran filsafat di jurusan Filsafat, ketika dia berusia 17 tahun. Ditanya buku filsafat apa yang dia baca, sejenak dia menimbang antara Bhagavad Gita atau Apologia nya Plato.

Ruang lingkup ilmu filsafat menjadi sebuah cabang pertanyaan pertama. Batang tubuh filsafat adalah awal tanya. Bagaimana membedakan atau mengkotakkan ilmu filsafat dari sistematika logosnya. Bhagavad Gita bertumpu pada kesadaran manusia sedangkan Apologia bertumpu pada sistematika logos yang kokoh.

Namun kemudian Saras menyadari bahwa tubuh adalah wahana yang digunakan untuk mengurai makna, memaknai realitas, atau mendudukkan realitas, yang tidak semata tercapai dengan struktur yang formal dan logis, namun juga dengan struktur yang sakral, struktur yang tak dapat terkatakan, seperti dalam konteks budaya Bali, dimana tubuh seringkali menjadi sebuah sarana untuk upacara sakral semacam Tari Sang Hyang. Ada struktur yang tak dapat terdefinisikan dengan jernih, karena keterbatasan kita memberi definisi, atau juga karena keterbatasan pengalaman dan imajinasi.

Campagna dalam tulisan Saras ini meminjam Chandogya Upanisad soal keterbatasan bahasa. Disinilah kemudian Saras juga mengupas rasa frustasi Wittgeinstein soal keterbatasan bahasa. Bahwa apapun yang belum dapat dikatakan dengan jernih, harus dibuang dalam kesunyian, atau tak dikatakan sama sekali.

BACA JUGA:

Seni Dalam Lipatan Pandemi
Seni Dalam Lipatan Pandemi

Bagi Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus, khususnya dalam tractatus nomor 1.1 The world is the totality of facts, not of things

Dunia ini kumpulan fakta, dan bukan kumpulan benda. Fakta itu sendiri bukan datang dan jatuh tiba-tiba, sendiri dan terpisah dari fakta lainnya. Hal ini dia nyatakan dengan tractatus 1.11. The world is determined by the facts, and by their being all the facts.

Tubuh, dalam perspektif Wittgenstein, adalah kumpulan fakta-fakta, bukan benda. Bukan object. Bukan sama sekali. Ia adalah kumpulan fakta, yang tidak berdiri sendiri.

Pada pengantarnya ia menjelaskan bahwa tractatus berusaha memberi batasan pada pikiran, atau pengejawantahan pikiran, dimana di dalam pembatasan pemikiran itu, kita harus menentukan batas apa yang terpikirkan dan yang tak terpikirkan. Jadi pembatasan bertumpu pada bahasa, dan apa yang tak dapat dibahasakan adalah nonsense.

Dan secara rendah hati dia mengatakan bahwa kekuatannya tak cukup untuk menyelesaikan semua problem pikiran dan bahasa, dan menyilakan filsuf lain melengkapinya. Dan bahkan diapun kelak menggugat pikirannya sendiri.

Kembali ke Sembahyang Bhuvana, Saras Dewi mencoba menguraikan persoalan tubuh dengan lebih kompleks, bahwa tubuh tidak sesederhana yang kita lihat, karena dia merangkum segenap fakta-fakta, sebab-sebab, akibat-akibat, trauma-trauma, dan banyak pertanyaan lainnya. Sehingga definisi tubuh tidak akan pernah mungkin menjadi definisi tunggal, jernih, dan terang-benderang, namun harus terus menerus dikupas, bahkan hingga muncul lapisan-lapisan baru yang mengejutkan dan tak dapat dijelaskan.

Tubuh memiliki suara yang dibawanya dan memiliki beban yang diwakilinya secara ideologi dan spiritual. Bahwa tubuh memiliki sebuah kekebasan yang bergerak ke ‘dalam’ dan ke ‘luar’, sebagai tubuh yang mewakili diri sendiri, dan sebagai tubuh yang mewakili sistem pikiran masyarakat. Seperti yang ditulis Merleau-Ponty soal tubuh dan keterjalinannya dengan lingkungan, dimana menurut Merleau-Ponty bahwa tubuh adalah sebuah keterjalinan antara manusia dengan alam, dimana manusia diwakili oleh tubuhnya berinteraksi dengan alam.

Seni sebagai Angan untuk Pembebasan

Seni adalah sebuah gagasan yang kita rindukan, karena sesungguhnya kita rindu pada kebebasan. Kita rindu pada kebebasan, barangkali sekali saja, sebelum semua berakhir sia-sia (?) atau berakhir tak sesuai harapan. Lalu kematian menjemput. Jadi apakah seni?

Dalam tulisannya “Seni dalam Lipatan Pandemi”, Saras mengatakan bahwa seni bisa menjadi sebuah cara mengekspresikan rasa, sebuah luapan perasaan yang terpendam selama pandemi, sebuah komunikasi antar batin yang membangkitkan empati dan sekaligus sebuah harapan, sebagai salah satu pegangan dalam mengatasi keputusasaan.

Seni adalah sebuah halaman yang lapang untuk mempertahankan kemanusiaan kita, bahwa masih ada harapan, masih ada hal-hal yang perlu dikerjakan. Setidaknya masih ada makna yang bisa dicapai atau dilengkapi.

Karya seni pada akhirnya adalah salah satu cara bagi manusia berbagi kegelisahan melalui simbol-simbol realita.  Bahwa tujuan tidak pernah benar-benar kita raih, seperti rasa frustasi Wittgenstein pada realitas bahasa. Bahwa kita tak pernah benar-benar sampai. Ataukah apa mungkin kita benar-benar ingin sampai?

Saras menelusuri hal-hal yang lebih mendalam soal bagaimana seni mewakili hal-hal yang tak dapat kita terjemahkan dengan bahasa. Bahwa segala sesuatu adalah fenomena yang belum sepenuhnya dapat kita definisikan seperti bahasa yang belum dapat mengungkap dengan jernih sebuah fakta atau realita. Misalnya pada dunia Tari Sang Hyang dimana ada dua realitas tubuh; tubuh empiris dan tubuh non empiris. Di dalam dua realitas itu, selalu ada yang tak dapat dikatakan, sebuah fakta yang tak sesederhana bahasa, atau struktur logika.

Alam Sebagai yang Tak Terbatas Seluruhnya

Alam adalah sebuah realitas yang paling luas yang tak dapat didefinisikan dengan bahasa. Alam memiliki struktur sendiri, yang meskipun dikuliti dengan berbagai pendekatan saintifik, tetap menyisakan lubang besar dan hitam yang misteri. Apapun yang dilakukan oleh alam, hanya dapat dipahami oleh alam itu sendiri, dia bergerak dengan keinginannya sendiri, meskipun dapat dipicu atau diprovokasi oleh manusia.

Serangkaian fakta-fakta alam terlalu mustahil diterjemahkan dengan bahasa, sehingga dalam konteks laku budaya, alam memiliki pertautan dengan budaya. Dimana budaya memelihara alam, memuliakan alam adalah bahasa yang seharusnya digunakan untuk terus membuat alam ada, memelihara manusia dengan kebutuhannya.

Namun konteks ini berubah seiring dengan kemajuan jaman, bahwa alam diperalat untuk memahami manusia, bahkan dikerdilkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sehingga alampun membuat bahasa sendiri, yang sering disebut bencana.

BACA JUGA:

Benang Merah Wayang dan Realita | Antara Pesan dan Lelucon yang Dikehendaki
Benang Merah Wayang dan Realita | Antara Pesan dan Lelucon yang Dikehendaki

Saras Dewi dengan tawaran ekofeminisme mengatakan bahwa alam dan manusia harus berjalan beriringan, bukan berlawanan. Melalui kajian ritual Sang Hyang Dedari, Saras Dewi mengaktualisasikan teori Merleau-Ponty soal dualisme sisi alam yaitu sisi visible dan invisible. Sekala-niskala. Bhuana alit dan bhuana agung. Diri dan alam. Mikrokosmos dan makrokosmos. Seperti kata Wittgenstein dalam tractatus nomor 6.522. There are, indeed, things that cannot be put into words. They make themselves manifest. They are what is mystical.

Alam adalah pemilik segala pengetahuan yang maha. Kita hanya sebagian kecil yang menerka-nerka, mencoba-coba berusaha, memahami dengan keterbatasan. Akhirnya kita tiba pada tractatus nomor 7. What we cannot speak about we must pass over in silence. Dan segala hal yang belum dapat disampaikan dengan jelas, jernih, dan betul-betul pasti, harus kita lempar dalam kesunyian. [T]

Referensi

  • Dewi, S. (2022). Sembahyang Bhuvana: Renungan Filosofis tentang Tubuh, Seni dan Lingkungan. Pojok Cerpen dan Tanda Baca.
  • Lycan, W.G. (2000). Philosophy of Language. Routledge Contemporary Introductions to Philosophy.
  • Wittgenstein, L. (1974). Tractatus Logico Philosophicus. Routledge Classic.

Catatan:

  • Tulisan ini akan disampaikan dalam acara panel diskusi Philosophy in Language and Thought, Mahima March March March, 19 Maret 2022
Tags: Bukufilsafatresensi bukuSaras DewiUlasan Buku
Previous Post

Tiga Upaya yang Sebaiknya Dilakukan Untuk Menyelamatkan Joged Bumbung Klasik

Next Post

Hewan Pemakan Suara | Cerpen Fatah Anshori

Kadek Sonia Piscayanti

Kadek Sonia Piscayanti

Penulis adalah dosen di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Next Post
Hewan Pemakan Suara | Cerpen Fatah Anshori

Hewan Pemakan Suara | Cerpen Fatah Anshori

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Galungan di Desa Tembok: Ketika Taksi Parkir di Rumah-rumah Warga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

HP Android dan Antisipasi Malapetaka Moral di Suku Baduy

by Asep Kurnia
May 21, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

DALAM beberapa tulisan yang pernah saya publikasikan, kurang lebih sepuluh tahun lalu saya sudah memperkirakan bahwa seketat dan setegas apa...

Read more

Mari Kita Jaga Nusantara Tenteram Kerta Raharja

by Ahmad Sihabudin
May 20, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

Lestari alamku, lestari desaku, Di mana Tuhanku menitipkan aku. Nyanyi bocah-bocah di kala purnama. Nyanyikan pujaan untuk nusa, Damai saudaraku,...

Read more

PACALANG: Antara Jenis Pajak, Kewaspadaan, dan Pertaruhan Jiwa

by Putu Eka Guna Yasa
May 20, 2025
0
PACALANG: Antara Jenis Pajak, Kewaspadaan, dan Pertaruhan Jiwa

MERESPON meluasnya cabang ormas nasional yang lekat dengan citra premanisme di Bali, ribuan pacalang (sering ditulis pecalang) berkumpul di kawasan...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Menyalakan Kembali Api “Young Artist Style”: Pameran Murid-murid Arie Smit di Neka Art Museum
Pameran

Menyalakan Kembali Api “Young Artist Style”: Pameran Murid-murid Arie Smit di Neka Art Museum

DALAM rangka memperingati 109 tahun hari kelahiran almarhum perupa Arie Smit, digelar pameran murid-muridnya yang tergabung dalam penggayaan Young Artist....

by Nyoman Budarsana
May 21, 2025
I Made Adnyana, Dagang Godoh Itu Kini Bergelar Doktor
Persona

I Made Adnyana, Dagang Godoh Itu Kini Bergelar Doktor

“Nu medagang godoh?” KETIKA awal-awal pindah ke Denpasar, setiap pulang kampung, pertanyaan bernada mengejek itu kerap dilontarkan orang-orang kepada I...

by Dede Putra Wiguna
May 21, 2025
Ubud Food Festival 2025 Merayakan Potensi Lokal: Made Masak dan Bili Wirawan Siapkan Kejutan
Panggung

Ubud Food Festival 2025 Merayakan Potensi Lokal: Made Masak dan Bili Wirawan Siapkan Kejutan

CHEF lokal Bali Made Masak dan ahli koktail Indonesia Bili Wirawan akan membuat kejutan di ajang Ubud Food Festival 2025....

by Nyoman Budarsana
May 20, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co