Seberapa urgen tulisan ini untuk Buleleng? Haruskah membuat destination branding? Kalau harus, lalu bagaimana caranya?
Itulah pertanyaan-pertanyaan awal yang melintas di pikiran saya saat saya mulai menulis artikel ini.
Sebagai pengusaha yang erat berkomunikasi dengan publik dalam menawarkan produk atau jasa, tentu saja saya selalu bersinggungan dengan aktivitas membangun brand, mulai dari proses penciptaan nama usaha, logo, value, visi misi dan hal-hal lain sebagai proses awal membangun usaha dan brand, hingga akhirnya bisa menjadi brand yang dipercaya customer.
Acap kali publik mengartikan bahwa merk atau brand itu dalam bentuk sebuah logo semata. Padahal logo itu sendiri hanya sebagian kecil dalam proses branding itu sendiri. Banyak sekali printilan yang terkandung dalam brand. Tidak hanya logo.
Di dalam brand, ada yang namanya visual identity, positioning, target market, value, marketing, distribution, dan beragam lainnya.
BACA JUGA:
Menurut Braderkay, seorang Brand Developer, terdapat 6 komponen dalam visual identity, yakni Brand Name, Logo, Shape, Colour, Photography, Font dan Typhography. Jadi logo itu hanya sebagian kecil dalam proses branding itu sendiri.
Namun kenapa orang lebih gampang mengingat logo sebagai perwakilan dari sebuah brand? Tentu karena logo merupakan salah satu identitas yang paling sering muncul dalam ragam media komunikasi. Logo adalah garda terdepan dalam pengenalan brand. Dengan melihat logo, orang akan lebih mudah mengasosiasikan brand. Sampai di sini, sudah bisa dipahami yah? Okey lanjuuuuttt…
Apa Itu Brand?
Dalam buku “Logo, Visual Asset Transitions” dikatakan bahwa brand adalah konsep ideal bersama yang dianut oleh masyarakat untuk mengidentifikasi hal tertentu secara spesifik. Setiap kali kita mendengar kata tertentu, kita akan menvisualisasikannya, mengasosiasikan dengan kesan tertentu dan menghubungkan dengan segala pengetahuan tentangnya.
Perlu diketahui bersama bahwa brand itu tidak melulu berkaitan dengan bisnis. Brand adalah sebuah entitas.
Soebiakto atau dikenal sebagai Pak Bi, seorang pakar branding, secara gamblang mengatakan bahwa “Brand = Nama + Makna”. Selama sebuah entitas itu memiliki nama dan makna/persepsi, maka itulah Brand.
- Undiksha adalah sebuah brand
- Belayag Muntagi adalah sebuah brand
- Pemuteran adalah sebuah brand
- Buleleng adalah sebuah brand
- Putu Agus Suradnyana adalah sebuah brand
- Pantai Penimbangan adalah sebuah brand
Ragam entitas itu adalah sebuah brand yang semuanya memiliki nama dan juga makna/persepsinya masing-masing. Meskipun dalam benak setiap individu mungkin saja berbeda, namun dalam pikiran kita, pasti terdapat kesamaan konsep yang diakui bersama. Hal inilah yang kemudian menjadi pembeda, karakter khas, yang harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin menjadi keunggulan ketika dibandingkan dengan brand lainnya.
Ketika kita bicara Pantai Penimbangan misalnya, akan muncul beragam persepsi di masyarakat umum semisal pantai berpasir hitam, tempat nongkrong anak muda, dagang jagung bakar, tempat pacaran, ataupun persepsi lainnya. Dari ragam persepsi itu, akan muncul persepsi dominannya bisa disepakati bersama, misalnya saja Pantai Penimbangan adalah tempat nongkrongnya anak muda Singaraja.
- Ketika bicara individu, maka disebut Personal Branding.
- Ketika bicara produk, maka disebut Product Branding
- Ketika bicara perusahaan, maka disebut Coorporate Branding
- Ketika bicara destinasi, maka disebut Destination Branding
Haruskah Melakukan Branding?
Ketika pemahaman tentang brand bisa kita samakan dulu persepsinya, baru kita bisa melangkah lebih jauh lagi dalam proses membangun brand. Jika sebuah brand adalah pandangan dan perasaan pelanggan, maka Branding adalah proses dalam membangun persepsi di benak customer.
Menurut Dodi Zulkifli, seorang pakar branding, mengatakan kesalahan yang terus berulang terjadi dalam hal membangun brand, umumnya dikarenakan 4 hal, yaitu ;
- Tidak memiliki Brand Blueprint, tidak jelas konsep dasarnya
- Memahami brand delivery sebatas logo dan iklan
- Tidak kontinyu dan konsisten dalam melakukan Brand Communication
- Tidak pernah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap Brand Equity
Kesalahan ini terjadi karena tidak adanya pemahaman akan pentingnya Branding ataupun baru memahami sekelumit saja. Padahal sejatinya, bisnis dan brand itu harus seiring sejalan di bangun. Segala aktifitas yang dilakukan itu harus runut dan dikomunikasikan sesuai dengan persepsi yang diinginkan.
Ketika aktifitas yang dilakukan tidak runut, tidak berkonsep, hanya memikirkan jangka pendek, maka hasilnya pun sudah pasti bisa ditebak. Tidak akan mudah dari sisi publik untuk mengingat brand itu dengan cepat dan baik.
BACA JUGA:
Braderkay, seorang pakar Branding, juga menambahkan ketika tidak ada Brand Blueprint, maka sering terjadi pergantian strategi tanpa dasar yang kuat. Ini juga menyebabkan brand itu kehilangan maknanya. Braderkay pun mencontohkan seperti Ayana Resort yang konsisten melakukan design iklan yang sama selama 2 tahun di semua media komunikasinya. Tujuannya jelas agar konsumen bisa secara perlahan mengenal dan mengingat brandnya.
Bagi pelaku branding, kepala manusia itu hanya mampu mengingat sedikit merek dari beragam merek yang ada di luar sana. Kepala manusia itu kurang lebih seperti filing cabinet yang isinya terbatas untuk benar-benar mengingat sebuah brand. Oleh karena itu, tidak semua brand bisa terekam baik di kepala.
Hal ini bisa kita uji kepada diri sendiri. Sebutkan dengan cepat, 5 merek air mineral dalam kemasan yang anda ingat? Hayooo.. Coba disebutkan dengan cepat. Saya meyakini merek Aqua pasti tersebut karena memang merk ini sebagai Top of Mind di kategori bisnis ini. Diikuti oleh brand-brand lainnya. Umumnya hanya mampu mengingat merk dalam hitungan jari saja.
Dari test di atas, khususnya kepada orang asli Buleleng yang sudah mencoba self-test, apakah ada yang menyebutkan brand ‘Yeh Buleleng’? Kalaupun anda, di urutan nomer berapa merek itu disebutkan? Atau malahan tidak ada yang menyebutkannya sama sekali.
Dari percobaan ini, kita bisa tahu kira-kira sudah seberapa kuat brand kita di masyarakat. Memang sudah sampai di benak customer ataukah jangan-jangan tidak ada diingat sama sekali. Cilaka bener kalo ga ada yang tau brand kita.
Apa itu Destination Branding?
Sebelum mengulas detail soal Destination Branding, maka kita perlu pecahkan dulu pemahaman akan apa itu Destination dan apa itu Branding.
Destinasi, tepatnya Destinasi Pariwisata, menurut UNWTO atau United Nation World Tourism Organization, adalah ruang fisik yang memiliki batas-batas fisik dan administrasi yang mencakup campuran dari layanan, produk serta daya tarik. Jadi suatu tempat bisa dikatakan sebagai destinasi ketika menyediakan atraksi pariwisata (tourism attraction) atau tourism site yang bisa dijadikan sebagai salah satu daya tarik dari suatu destinasi, selain komponen produk wisata lainnya, seperti fasilitas, aksesbilitas, dan lainnya.
Branding berasal dari kata brand atau merek. Fungsi dari brand atau merek sendiri adalah sebagai pembeda atau pembanding dengan merek-merek lainnya. Kegiatan komunikasi perusahaan dalam rangka proses membangun, membesarkan, dan menguatkan brand itulah yang disebut dengan branding. Tanpa adanya kegiatan komunikasi atau publikasi tersebut maka sebuah brand atau merek tidak akan berarti apa-apa pada calon konsumen. Tidak ada value yang terdeliver di benak customer.
BACA JUGA:
Jadi secara umum bisa kita katakana bahwa Destination Branding itu adalah proses membangun persepsi pada suatu destinasi pariwisata. Goalnya jelas, agar destinasi tersebut bisa dikenal dengan ciri khasnya sesuai dengan value yang ingin dicitrakan.
Sekarang kita kembali ke pertanyaan dasar, apakah Buleleng perlu dibangun strategi Destination Brandingnya? Saya akan ulas lebih dalam lagi di tulisan selanjutnya. Cheers. [T]
BACA JUGA: