Melakoni hidup sosial (bermasyarakat) tidak semudah yang kita bayangkan. Apalagi di daerah rantauan. Pasalnya, segala perilaku diri (individu) akan menjadi fokus “mata sosial”yang heterogen. Baik-buruknya individu akan memberikan citraan tidak hanya bagi personal, tetapi leluhur keluarga dan termasuk tanah leluhurnya (daerah asal). “Nyen to? Nyen ngelah keluargane to? Nak uli dija to?” (Siapa itu? Keluarganya siapa? Dari mana asalnya?). Inilah “paket asesmen sosial” yang sering digunakan oleh masyarakat untuk menakar kualitas seseorang hingga berujung pada silsilah geografinya.
Risiko sosial inilah yang hendak dicerminkan dalam lagu “Ngajining Nusa” (pencipta dan sekaligus penyanyi, Nanang Mekaplar). Nanang yang asli dari NP dan juga seorang doktor (dosen STAHN di Palangkaraya) ini ingin mengingatkanagarnyama NP dapat menjaga reputasi diri, keluarga dan terutama tanah leluhurnya di negeri rantauan.
Nanang tidak ingin nyama NP terjebak dengan risiko-risiko sosial yang negatif dalam hidup bermasyarakat. Risiko yang akan menjatuhkan harga diri personal dan leluhur keluarga. Risiko yang pada akhirnya akan menjatuhkan tanah leluhur, NP.
Oleh karena itu, lagu “Ngajining Nusa” ini dimulai dengan lirik: Yen saja eda mula getih hang Nusa/ Tara mrokak, brangas, mroset teken timpal/ Tutur manis ngajinin banba ken nyama/ Saling tulung apang pada saling kenyem//. (Kalau Anda memang orang NP, jangan bersikap arogan, kasar, asusila dengan teman. Bertutur kata yang sopan dengan saudara. Hidup saling membantu agar semua tersenyum gembira).
Lirik tersebut hendak mengajak nyama NP untuk mulat sarira menjalani filosofi tri kaya parisudha yakni berbuat baik, berkata-kata dengan baik dan termasuk berpikir yang baik. Implementasi filosofi ini merupakan modal bagi setiap orang untuk menjalankan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik—kapan dan di mana pun, terlebih lagi hidup di negeri rantauan.
Nanang juga menyinggung bahwa pentingnya hidup tolong-menolong, saling membantu dan saling mendukung satu sama lain. Dalam konteks ini, tidak berlaku prinsip “dagelan SMS” yaitu senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Sebaliknya, nyama NP diharapkan bersatu padu membangun pondasi kekompakan, kerekatan dan persatuan dengan siapa saja, terlebih lebih lagi dengan sesama nyama NP.
Implementasi spirit nilai pancasila ini dimaksudkan untuk mencapai kondisi hubungan sosial yang rukun dan harmonis. Jangan sampai ada kecemburuan, saling curiga dan pra sangka-prasangka negatif lainnya—sehingga tercipta kehidupan sosial yang bahagia-menyenangkan (pakedek-pakenyem).
“Sesuhunan” Tanah Leluhur
Prinsip menjalani kehidupan sosial yang baik di rantauan didasarkan pada motivasi menjaga reputasi nama tanah leluhur, NP. Nama tanah leluhur mungkin menjadi semacam alarm (pengingat) bagi nyama NP agar termotivasi berperilaku yang tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku.
Tidak hanya sekadar alarm, jangan-jangan tanah leluhur sudah dianggap menjadi (maaf) semacam “sesuhunan” oleh nyama NP. Sesuhunan dalam artian tanah leluhur NP harus dihargai, dihormati, dan dijaga kesucian reputasinya.
Konsepnya mungkin mirip dengan kita memuja para leluhur (Dewa Yang). Bedanya mungkin terletak pada jarak kedekatan darah dan cakupan keluasan. Memuja para leluhur (keluarga) dilakukan oleh keluarga besar yang memiliki ikatan pertalian darah secara langsung. Silsilah persaudaraan inilah yang dipuja dan disakralkan melalui simbol pura keluarga (Pura Dadya).
Lebih kecil, para leluhur keluarga (yang sudah disucikan) dipuja dan disakralkan di Sanggah Rong Telu atau Kemulan pada masing-masing rumah pribadi. Dari Sanggah Rong Telu dan Pura Dadya inilah, ikatan emosional secara niskala dengan para leluhur dibangun. Secara kasat mata (sekala), pura keluarga juga berperan sebagai media untuk merekatkan tali persaudaraan (persatuan) dengan sakral di antara intern keluarga besar yang masih memiliki pertalian darah secara langsung.
Eksistensi Rong Telu dan Pura Dadya mungkin merupakan wujud sikap kerendahan hati orang Bali (NP) terhadap jasa-jasa para leluhur. Orang Bali sadar bahwa berkat kuasa Tuhan dan peran serta jasa para leluhurlah, kita menjadi ada, sehingga bisa menjalani hidup di dunia ini. Tanpa peran leluhur, pasti tidak ada estafet keturunan seperti sekarang.
Lalu, bagaimana dengan (maaf) “sesuhunan” tanah leluhur? Dalam konteks ini ialah tanah kelahiran, NP. Apa perannya dengan eksistensi diri orang NP? Jawabannya sangat jelas. Tanah leluhur NP berperan memberikan udara (oksigen), air, tanah pijakan dan lain-lainnya kepada kita yang lahir di tempat ini. Kalau tidak lahir langsung di NP, setidak-tidaknya leluhurnya pernah menikmati zat-zat yang menghidupinya di tanah kelahiran, NP.
Karena itulah, wajar tanah leluhur NP dihormati dan dijaga kesucian reputasinya—walaupun tidak ada wujud fisik sakralnya (berupa pura). Mungkin saat ini, belum ada konsep pura yang merepresentasikan satu wilayah lebih besar seperti Kecamatan NP, tiga pulau, 16 Desa Dinas. Yang ada yaitu Pura Sad Kahyangan Tiga (untuk wilayah satu desa adat) dan Pura Kahyangan Jagat (umum untuk semua umat Hindu).
Akan tetapi, seringkali orang NP (di rantauan) menyembah “sesuhunan” Ida Ratu Gede Mecaling, yang melinggih di Pura Dalem Ped sebagai representasi pertalian tanah leluhur. Di samping berfungsi sebagai Pura Kahyangan Jagat, agaknya reprensentasi Pura Dalem Ped juga dijadikan semacam simbol pura nyama NP (satu wilayah). Begitulah, wujud ekspresi bakti nyama NP yang dilakoni secara spiritual. Bagaimana dengan cara sekala?
Nanang lewat lirik “Ngajining Nusa” memberikan perspektif lirik sebagai berikut: Nyalan bareng-barengin pada saling gelahang/ Tara bales negehang tara bales ngendepang/ Dini ditu kejange masin sambate Nusa// (Ayo miliki NP bersama-sama, jangan terlalu meninggikan atau merendahkan, apa pun yang terjadi dengan nyama NP pasti akan disinggung ke-nusapenidaan-nya (baca:tanah leluhurnya).
Karena itulah, Nanang selalu mengingatkan payung dharma. Menurut lagu ini, pada prinsipnya nyama NP merantau untuk mencari satu yaitu penghidupan yang layak, penghidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera. Namun, tidak semua nyama NP akan mencapai titik penghidupan yang layak itu. Ada yang mendapatkan penghidupan (arta) berlimpah (kaya), sedang, dan ada pula yang kurang (miskin).
Namun, apa pun kondisinya, semua harus dijalani dengan payung dharma. Karena kondisi yang diterima sudah menjadi takdir (karma) dari Tuhan. Karena itu, baik dalam kondisi berada maupun tidak berpunya, mesti konsisten berada di jalur dharma. Deskripsi ini dapat dilihat pada lirik berikut: Srarad-srurud bareng masin lakar ngalih besik/ Sugih-tiwas kejang nyalanang karma/ Hene hente nyalan jani dasarin dharma//. (Di rantauan mana pun kita tinggal, toh ujung-ujungnya akan mencari satu yakni kesejahteraan hidup. Soal nanti sukses atau tidak meraih kesejahteraan itu, semua tergantung karma. Namun, semua harus dijalankan dengan kebenaran (dharma).
Implikasi payung dharma ini berkaitan dengan menjaga citraan tanah leluhur, NP. Nanang mempertegas bahwa tanah leluhur (NP) itu sakral. Kesucian reputasinya sangat tergantung kepada perilaku pribadi nyama NP. Apakah NP akan dicitrakan baik-buruk nantinya? Semua bergantung pada perilaku personal nyama NP. Gambaran ini tercermin pada lirik terakhir sebagai berikut: Gumi Nusa wayah pingit eba ngelahang/ Jelek-bagus eba ngajining eba nadiang//
Penutup lirik tersebut sebetulnya bersifat opsional. Mau dibawa ke mana citra tanah leluhur, NP? Terserah personal nyama NP. Tidak ada keharusnya yang mengikat nyama NP untuk membawa tanah leluhur ke satu arah. Semua dikembalikan kepada pribadi masing-masing, dengan segala risiko yang berdampak terhadap kesucian tanah leluhur, NP.
Dari semua lagu yang diciptakan Nanang, mungkin lagu “Ngajining Nusa” merupakan proses kreatif yang dianggap paling intens. Sangat intens jika dibandingkan dengan lagu-lagu lain ciptaannya. Konten yang diangkat cukup serius, berat dan sangat mendalam.
Bisa jadi lagu berbahasa Bali berdialek khas NP dan berlatar video klip di Pura Segera Kidul (mata air Guyangan) ini lahir dari puncak kesadaran pribadi Nanang terhadap pencapaian hidupnya di negeri rantauan. Ia menyadari bahwa pencapaian hidupnya di negeri orang bukan untuk dibangga-banggakan. Apalagi dijadikan arogansi untuk mengerdilkan dan melupakan tanah leluhurnya.
Sebaliknya, pada puncak pencapaian hidupnya, ia justru merasa rendah diri. Ia merasa kecil. Karena ia menyadari bahwa apapun pencapaiannya kini tidak lepas dari peran tanah leluhurnya. Tanah yang menjadikan dia ada. Tanah yang pernah membesarkannya.
Karena itu, “Ngajining Nusa” sesungguhnya lagu pergulatin batin. Lagu yang mengajak kita untuk melakukan tapa diri. Mulat sarira untuk menemukan esensi diri dan tanah leluhur kita. [T]
______
BACA ARTIKEL TENTANG NUSA PENIDA DARI PENULIS KETUT SERAWAN