Ubud, desa tradisional yang bertransformasi hingga menjadi desa wisata yang paling dikenal seantero jagat raya. Desa yang tak pernah sepi oleh wisatawan, mulai wisatawan domestik hingga mancanegara tiap harinya berkunjung, singgah hingga bermukim di sana. Gegap gempita seni pertunjukan terasa di setiap harinya. Masyarakat lokal tidak henti-hentinya menghibur setiap wisatawan dan memberikan pelayanan yang terbaik yang dimilikinya. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa adat, tradisi, seni, dan budaya yang dimiliki adalah aset yang dapat mendatangkan perubahan bagi hidup di setiap masyarakatnya.
Jika menoleh ke belakang, Ubud dapat dikatakan sebagai pusat kebudayaan Bali. Perkembangan kebudayaan banyak terjadi di desa ini, lebih banyak lagi seniman-seniman hebat yang lahir dari desa ini. Berbagai kelompok yang diperuntukkan untuk menghimpun seniman beserta ide dan kreasinya pun muncul di tengah-tengah masyarakat yang pada akhirnya banyak menghasilkan berbagai kreasi seni baru yang dapat menarik perhatian mata dunia. Tentu warisan-warisan tersebut menjadi magnet yang kuat bagi Ubud untuk menarik wisatawan datang dan berlama-lama di Ubud.
Tapi siapa sangka pandemi covid-19 menghantam dunia? Dunia dipaksa berhenti barang sejenak. Semua aspek kehidupan merasakan dampaknya, mengingat penyakit ini dapat menular begitu cepatnya, bahkan ada yang mengatakan penyakit ini dapat menular hanya karena berpapasan dengan orang yang sedang terjangkit. Kalau sudah begitu, apa daya daerah yang mengandalkan sebagian besar perputaran ekonominya dengan mengumpukan banyak manusia di satu titik? Tampaknya Bali harus gigit jari dan menepi barang sejenak.
Ubud sebagai pusat kebudayaan milik Bali dapat saya dan anda baca melalui satu buku yang diinisasi oleh Yayasan Janahita Mandala Ubud. Sebuah Yayasan yang lahir di tengah ganasnya pandemi covid-19 yang berhasil merenggut keramaian dari Ubud. Yayasan ini coba bergerak di bidang penguatan-penguatan kebudayaan dan dengan terbitnya sebuah buku berjudul “Sarasastra II – Pusparagam Pemikiran Kebudayaan Bali” adalah wujud penguatan yang dilakukan, khususnya penguatan narasi. Sehingga setelah narasi kuat, aksi-aksi lainnya dapat terealisasi dari tangan-tangan orang lain yang memiliki visi misi serupa.
Kehadiran Tokoh : Kunci Berkembangnya Budaya di Ubud
Perkembangan tersebut tidak bisa dilepaskan oleh salah dua dari tokoh Puri Ubud. Pertama, Tjokorda Gde Raka Sukawati, dan kedua, Tjokorda Gde Agoeng Sukawati yang merupakan adik kandung dari Tjokorda Gde Raka Sukawati. Nampaknya dua saudara ini memiliki visi dan misi serupa dengan gaya yang juga dapat saling menunjang satu dengan lainnya.
Tjokorda Gde Raka Sukawati adalah sosok yang terbuka dengan seniman-seniman asing, bahkan mengundang mereka untuk datang dan tinggal di Ubud. Beberapa diantaranya: Walter Spies (1925) dan Rudolf Bonnet (1929). Sedangkan sang adik Tjokorda Gde Agoeng Sukawati bersama dengan Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan I Gusti Nyoman Lempad mendirikan Pita Maha, sebuah wadah interaksi antar seniman yang bertujuan untuk melakukan perluasan ideologi berkesenian yang lahir dari geliat seni seniman-seniman Ubud dan sekitarnya (1936).
Ubud semakin dikenal sebagai pusat perkembangan seni dan budaya di mata dunia karena beberapa kali telah dituliskan oleh penulis luar, salah satunya adalah tulisan dari Walter Spies yang berjudul “Dance and Drama in Bali”. Hal tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari peran seorang Tjokorda Gde Raka Sukawati yang pada masa itu menjadi Anggota Volkraad (parlemen). Karena akses yang dimiliki, ia berhasil membawa kelompok Gong Belaluan untuk tampil di Festival Pasar Gambir di Batavia (Jakarta) dengan sukses. Berangkat dari kesuksesan tersebut, ia juga berhasil membawa grup gamelan dan tari dari Desa Peliatan, Ubud untuk tampil di perhelatan The International Colonial Exposition di Prancis tahun 1931. Lewat penampilan di Prancis tersebut, seni dan budaya Bali mendapat perhatian dunia.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, Tjokorda Gde Raka Sukawati bersama adiknya Tjokorda Gde Agoeng Sukawati adalah sosok yang terbuka. Berkat mereka Walter Spies dapat melakukan studi dan perekaman terhadap kesenian-kesenian Bali yang kemudian diabadikan melalui piringan hitam karya label rekaman Jerman, Odeon dan Beka. Kemudian, hasil rekaman inilah yang membuat Colin McPhee tertarik dengan jenis instrumen yang dapat membuat suara yang bertekstur, indah, dan rumit.
Peran penting dua sosok ini memperkenalkan seni dan budaya Bali ke kancah internasional tidak hanya berdampak pada banyaknya wisatawan datang ke Ubud, tetapi berhasil menarik perhatian kampus-kampus luar terutama di Amerika Serikat untuk mengajak seniman-seniman yang berasal dari Ubud. Artinya, tidak hanya mendapat keuntungan dari segi finansial, seniman-seniman dari Ubud bahkan mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan hingga negeri Paman Sam.
Seni dan Budaya Bali Membutuhkan Sosok Maesenas
Setiap gerakan, apa pun itu memerlukan pemimpin sebagai sosok yang dipercaya untuk membawa gerakan sampai pada tujuannya. Tidak hanya pemimpin, wadah pun tak kalah penting sebagai tempat untuk orang-orang yang memiliki minat yang sama berinteraksi. Interaksi tersebut dapat membuka berbagai kemungkinan, salah satunya adalah lahirnya sebuah kreativitas. Dua hal tersebutlah yang dibutuhkan oleh seni dan budaya Bali.
Hal ini tampak sudah terbukti jika melihat uraian sebelumnya. Bagaimana Tjokorda Gde Raka Sukawati dan Tjokorda Gde Agoeng Sukawati berhasil mengembangkan seni dan budaya Bali, sekaligus memperkenalkannya ke dunia luar. Mereka juga berhasil melahirkan banyak seniman hebat yang bahkan diminta untuk menjadi artist in resident di kampus-kampus luar. Lewat hal tersebut, tidak hanya menciptakan kreasi-kreasi baru dari seni dan budaya Bali, seniman-seniman Bali yang lahir di Ubud pun memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi di luar negeri.
Apa yang telah dilakukan oleh dua sosok di atas tentu sangat penting tidak hanya untuk Ubud, tapi juga untuk Bali. Dalam hal tersebut, Tjokorda Gde Raka Sukawati dan Tjokorda Gde Agoeng Sukawati beserta Puri Ubud telah memainkan perannya dengan baik sebagai Maesenas—pelindung seni dan seniman, serta sebagai dermawan sehingga aktivitas berkesenian menjadi sangat hidup dan bergairah. Mendatangkan seniman luar, mengajak mereka merekam segala seni dan tradisi di Bali yang kemudian diabadikan lewat tulisan atau medium lain sehingga dapat menarik mata dunia—alhasil banyak seniman Bali yang berkiprah di luar.
Jika dilihat lebih jauh, apa yang dilakukan oleh dua tokoh tadi sebenarnya meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya. Raja ketiga Ubud Ida Cokorda Rai Batur telah melakukan hal serupa saat masa pemerintahannya. Sebagai seorang seniman, ia telah merintis kehidupan seni menjadi lebih semarak dan hal ini menjadi jalan untuk menambah jenis kesenian lainnya.
Meski hingga kini Ubud masih memiliki seniman-seniman luar biasa seperti: Dewa Alit. Wayan Sudirana, Dewa Made Suparta, Dewa Ketut Alit Adnyana, dan Anak Agung Krishna Sutedja, seni dan budaya Bali harus memiliki sosok maesenas yang dapat mengarahkan kreasi seni dan budaya Bali. Tidak hanya mengandalkan warisan masa lalu, tetapi tetap berusaha untuk melahirkan seni-seni baru yang dapat menjadi inovasi seni ke depan. Karena tidak hanya teknologi saja yang berkembang, seni dan budaya juga harus adaptif dalam merespon perkembangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para pendahulu.
Tantangan Hari Ini: Nostalgia dan Industri Pariwisata
Ruang nostalgia sering digunakan untuk menarik memori lama. Kerap juga menjadi medium mengenang kejayaan masa lampau dengan harapan dapat terjadi di masa sekarang. Tentu hal tersebut juga berlaku bagi Bali, mengingat Bali di setiap jengkal tanahnya selalu memiliki cerita-cerita heroik para pendahulunya. Cerita-cerita heroik tersebut banyak termuat dalam prasasti, lontar, nyanyian-nyanyian, hingga cerita yang masih lestari hingga kini.
Tentu tidak salah untuk kita hari ini bernostalgia mengenang bagaimana mereka yang berbeda zaman berjuang. Apalagi hal-hal yang diperjuangkan masih serupa. Tapi tentu terjebak dalam kenangan maupun nostalgia bukanlah pilihan bijak. Cerita-cerita masa lalu para pendahulu cukup dijadikan batu pijakan untuk kita yang berjuang di masa sekarang. Jangan biarkan nostalgia memberi batas untuk berbuat lebih baik dari pendahulu sebelumnya. Hal serupa berlaku untuk kehidupan seni dan budaya di Bali hari ini. Kehadiran Sarasastra II – Pusparagam Pemikiran Kebudayaan Bali, seolah-olah mengingatkan bahwa sudah saatnya berbuat lebih baik dari sebelumnya. Sudah seharusnya sadar bahwa seni dan budaya Bali harus diarahkan, dijaga, dan dikembangkan—tentu hal tersebut membutuhkan sosok maesenas yang murni kepentingannya untuk seni dan budaya Bali.
BACA ULASAN BUKU LAIN:
- Memahami Tuhan, Manusia, dan Keterikatan Dalam Tutur Damuhmukti
- Matinya Kritisme: Ancaman Nyata Bali Hari Ini
- Cerpen “Sumur” Eka Kurniawan | Air Dengan Segala Persoalan yang Ditimbulkan
- Memikirkan Kembali Tradisi, Adat Istiadat dan Budaya Bali dalam “Wanita Amerika Dibunuh di Ubud”
- Menatap Ketangguhan Sosok Perempuan dalam Novel “Luh”
- Merefleksikan Etika Melalui Kebajikan Universal Bali
- Antara Pengorbanan dan Pengkhianatan | Ulasan Novel “Doben” Karya Maria Matildis Banda
Memang kehidupan seni dan budaya di Bali tampak semakin semarak dengan hadirnya berbagai festival seni budaya. Tapi rasa-rasanya semarak hanya dirasakan saat festival saja, di luar itu tampak perlu dipikirkan kembali. Festival-festival tersebut tak lebih sekadar program yang harus dijalankan dalam waktu, tempat, dan tentu saja anggaran yang telah ditentukan. Hal tersebut juga tak lepas dari paham pariwisata budaya yang sudah merangsek ke pikiran masyarakat Bali sejak tahun 1970-an. Sejak saat itulah pariwisata mengambil peran sebagai panglima bagi ekonomi Bali. Budaya seolah-olah hanya sebagai komoditas untuk memenuhi hasrat wisatawan yang berkunjung ke Bali.
Berbagai seni mulai masuk hotel, restoran, dan infastruktur lainnya. Beberapa seni yang harusnya dilaksanakan pada waktu tertentu mulai digarap agar dapat ditunjukkan kepada khalayak wisatawan secara berkala. Pertunjukan seni dan budaya Bali secara masal seperti ini tentu berdampak pada apresiasi yang diterima oleh para seniman—orang-orang yang menggeluti dunia seni dan budaya Bali dengan penuh cinta. Minimnya perhatian dan apresiasilah dampak dari pertunjukan masal tersebut. Bukankah masih sering kita melihat para seniman yang akan tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) “diangkut” menggunakan Truk yang juga digunakan untuk mengangkut sapi?
Membaca buku Sarasastra II – Pusparagam Pemikiran Kebudayaan Bali telah memberi saya kesadaran untuk lebih peduli terhadap segala yang telah dimiliki dan diwariskan generasi sekarang. Tapi hal yang lebih penting lagi, Bali diingatkan untuk segera menemukan sosok maesenas yang dapat mengarahkan, menjaga, dan mengembangkan seni dan budaya Bali. Mengeluarkan seni dan budaya Bali yang hadir hanya untuk kepentingan pariwisata. Pertanyaan yang timbul di kepala saya di penghujung tulisan ini, apakah Puri Ubud dapat kembali memainkan perannya sebagai maesenas yang lebih tangguh dari para pendahulunya? [T]