Banyuwangi malam itu seperti malam biasanya, tapi tidak bagi saya yang baru pertama kali tinggal di sana. Suhu mencapai 20 derajat celsius. Rasanya, tak lebih dingin dari Kintamani atau Bedugul, tetapi cukup membuat saya menggigil, mencari lipatan baju untuk menyelipkan tangan. saya yang datang terlambat untuk ngobrol sebelum acara dimulai, tak bisa memilih tempat yang lebih hangat: di samping meja kayu atau paling tidak menempel di dinding.
Grand Harvest, tempat kami tinggal dari tanggal 15 Februari sampai 20 Februari 2022 merupakan hotel yang dirancang dengan hamparan sawah sebagai bagiannya, rerimbun pohon kelapa, dan beranda kamar Aris Harianto—tempat kami berkumpul—tidak bisa terhindar dari dingin.
Malam itu, hujan baru saja reda. Don Rare, seorang penulis kontributor tatkala.co, tiba-tiba menghubungi saya ketika saya sedang menyembunyikan diri di balik lipatan selimut, dan rupanya ia sudah memulai obrolan bersama tiga teman dari combine, Zani Noviansyah, Aris, dan Ferdhi F. Putra. Mereka sudah memulai percakapan yang entah dari mana dan sudah sampai mana. Saya tiba-tiba nimbrung, hanya manut mengikuti cerita tentang Bali dan perkara pariwisata. Aris adalah staf multimedia di Combine Resource Institution, rambutnya panjang terburai, dan tatapannya seperti udara malam itu, namun ia menyambut saya, bertanya tentang situasi Bali, dan percakapan mengalir dengan hangat.
Percakapan tentang Bali dan pariwisata yang memang sudah berubah karena pandemi; pariwisata yang menutup banyak kenyataan menyedihkan—seperti listrik, internet, ekonomi—untuk promosi pariwisata segera bergeser. Saya mulai bisa paham dengan pembicaraan dengan topik baru itu: media sosial, password, website, dan pengelolaan media digital.
Saya menduga, percakapan malam itu merupakan awalan untuk kegiatan kami di hari selanjutnya. Dan, tak berselang lama, Zani yang meringkuk di balik jaket, sarung dan topi, dan bersandar di tiang depan kamar seolah paham tebakan itu, dan ia berkata: “Kita obrolin lebih banyak pada saat kegiatan besok.”
Ah, rupanya saya terlalu menyederhanakan persoalan. Dingin malam itu mulai hilang pelahan ketika kami bicara tentang media sosial, yang bagi saya adalah ruang publik yang aman-aman saja, “Toh saya bukan orang penting yang layak untuk diretas, pertemanan tidak terlalu banyak, dan saya tak banyak membagi informasi pribadi,” pikir saya.
Tapi, pikiran itu segera tertunda lagi. Bahkan, saya ingin segera menarik kesimpulan yang kini saya tahu itu keliru, “Jadi keamanan digital belum terlalu penting untuk saya perhitungkan,” kata saya dalam hati dan kini saya sesali. Tentu saja, siapa pun bisa mengalami hal tidak mengenakkan di dunia dengan logika yang berbeda itu meskipun hanya membagikan sedikit informasi pribadi. Dan, pekerja media tentu memiliki peluang kemungkinan untuk diretas dibandingkan dengan orang lain.
Betul saja, ketika pelatihan dengan format yang juga ngobrol, saya mulai mengingat-ingat peristiwa yang pernah saya alami di media sosial. Kesimpulan saya mulai bergeser pelahan. Saya ingat, beberapa kali saya mendapat pesan undian berhadiah, beberapa kali mendapat pesan “mama minta pulsa” dan belakangan, akun teman saya, yang pertemanannya lebih sedikit dari akun saya, menghubungi saya lewat pesan personal dan minta dikirimi uang. Tentu saya tak langsung percaya dengan pesan itu, dan sialnya, saya tak langsung berkesimpulan bahwa saya mungkin di posisi yang sama.
Combine Resource Institution merupakan lembaga swadaya masyarakat yang beritikad mendorong terciptanya warga berdaya secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik, melalui pengelolaan informasi berbasis komunitas. Lembaga ini mendorong penguatan institusi, jejaring warga serta kapasitas warga di bidang informasi tata kelola sumber daya, antara lain dengan memanfaatkan teknologi informasi komunikasi.
Combine mengadakan kegiatan pelatihan keamanan menyeluruh yang diselenggarakan di Grand Harvest, Dusun Sumberwatu, Desa Taman Sari, kecamatan Licin, Banyuwangi. Pelatihan ini diikuti oleh tiga kelompok yaitu, Tatkala.co, sebagai media komunitas, Balebengong.id sebagai media jurnalisme warga, dan Rumah Literasi Indonesia yang basisnya di Banyuwangi, sebagai komunitas pegiat literasi. Saya dan Don Rare berangkat dari Denpasar dan secara kebetulan bertemu dua kawan dari Balebengong.id, yaitu Iin Valentine dan Bayu Saputra.
Di Gilimanuk, kapal peri terasa begitu lama bergerak, saya tak yakin: apakah kapal sudah bergerak atau belum. Bersamaan dengan gerak kapal yang pelan meninggalkan pulau Bali, saya mulai khawatir dengan pelatihan yang digelar selama enam hari ini. “Pelatihan menyeluruh” gumam saya.
Rasanya tema ini begitu besar untuk kapasitas saya yang cukup sulit menangkap percakapan soal hal-hal baru, dan sebagai perwakilan media komunitas, tentu saya menyimpan kekhawatiran yang tak bisa saya gambarkan. Hanya saja, kapal peri telah berlabuh di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, dan saya belum mampu merumuskan satu atau dua kalimat dari kata-kata kunci itu: Pelatihan, media, komunitas, pekerja media, dan sebagainya, dan lokasi Grand Harvest, tempat pelatihan ini, hanya beberapa menit dari pelabuhan.
Ruang pelatihan dirancang bersama, sebelum dimulai, panitia meminta kami untuk menulis hal-hal yang membuat kami tak nyaman. Tentu saja, hal ini tidak dilakukan tanpa alasan khusus, dan hal ini berkaitan dengan aspek keamanan dan kenyamanan selama beberapa hari mengikuti pelatihan. Pelatihan ini rupanya membahas soal media digital, psikososial, dan mitigasi.
Ketiga hal itu terkait dengan kelancaran dan keamaan ketika sedang melakukan pekerjaan, semisal meliput dan sebagainya. Tentu kini saya sepakat dan paham dengan penggunaan terma “menyeluruh”; tentu tidak semua pekerja media mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan, jika kita merumuskan hal itu sebagai: intimidasi, ancaman, dan sebagainya. Ada hal-hal sederhana lainnya yang juga perlu diperhatikan dan di sanalah letak menyeluruh itu.
Menulis hal-hal yang membuat tidak nyaman di awal pertemuan rupanya terkait dengan aspek penerimaan materi dan tingkat stress yang dibahas Dini Zakia pada materi psikososial. Ah, kami tampak semakin sibuk untuk mulai menelisik diri. Dini memaparkan beberapa ciri-ciri stres, dan beberapa di antaranya pernah saya alami dan tentu semua peserta mengidentifikasi diri dan “Aha!” hampir seluruh peserta memang pernah mengalaminya. Hal ini bisa muncul karena pengaruh dari luar, tapi sebagian besar mengakui bahwa hal itu merupakan pengaruh dari dalam diri: cemas, gelisah, dan sebangsanya. Hal ini tentu mengurangi produktivitas ketika bekerja, maka dari itu hal-hal kecil, seperti mengapresiasi diri, mengenal emosi, mesti mendapat perhatian khusus.
Tunggul Harwanto, seorang pegiat literasi dari Rumah Literasi Indonesia, memiliki banyak cerita menarik yang tentu saja sayang jika tidak saya catat. Pengalaman tidak mengenakkan beberapa kali ia alami. Pengalaman itu membuat saya dan peserta yang baru mendengar kisahnya merasa lebih waspada. Kisah itu ia mulai dengan cerita tentang membuka ruang donasi untuk hal tertentu. Nomor narahubung, poster, dan pengumuman lainya telah disebar.
Tiba-tiba, seseorang menghubunginya lewat telepon dan mengatakan telah mengirim sejumlah uang ke rekening. Tentu saja, perasaan syukur dan rasa haru mulai muncul. Tapi, setelah beberapa lama, ia ditelepon lagi dengan alasan bahwa si pengirim membutuhkan uang dan hendak menarik kembali uang itu. Ia yang kala itu tidak memiliki M-Banking dan atm tentu dibuat kelimpungan. Tetapi, ketika itu hari libur, ia tidak bisa segera mengirim uang, bank tutup, dan ia mulai panik. Untungnya, Tunggul diingatkan oleh teman-temannya untuk lebih tenang dan berpikir jernih. Alhasil, ia menemukan cara untuk menguji kebenaran itu dan ia sadar itu penipuan.
“Cara yang cerdas,” pikir saya. Sejak mendengar cerita itu, saya berniat untuk membagikannya pada teman-teman. Bagi saya, cara itu cukup canggih dan berpeluang untuk menggait korban lain jika tidak berhati-hati. Pelatihan yang digelar selama 5 hari ini dilakukan dengan format bercerita tentang pengalaman para peserta, dan menariknya para pemateri—Dini Zakia, Aris Harianto, dan Zani Noviansyah—juga membagi pengalaman di samping memberi penawaran atas pengalaman tidak menyenangkan itu.
Setelah mengikuti sesi, hari terasa melesat lebih cepat dari yang saya duga. Tiba akhirnya kami pada tanggal 20 Februari. Kami mulai merumuskan rancangan sop untuk komunitas masing-masing—menimbang yang kami miliki dan menimbang kemungkinan yang paling tidak mengenakkan untuk menyiapkan solusi sebelum hal itu terjadi. [T]