Haruskah kutulis kesedihan dari kepergianmu
Sedang di luar, rumput-rumput terus menumbuh
Dicium rintik air hujan
Ketika aku tengah menyentuh
Kapan terakhir kau mendekapku.
Sore menuju maghrib, ketika langit sedang mendung, Jumat, 11 Februari 2022. Seorang kerabat mengirimkan saya pesan via WA. “Man, Ustadz Mar’i meninggal.”
Pesan itu sampai ketika saya berada di Malang. Dan. tepat selesai membaca pesan tersebut, hujan turun begitu lebat.
Lalu entah kenapa saya berdiri dan membuka laptop, mencari-cari foto saya dengan Ustadz Mar’i yang tersimpan di dalam folder yang berlapis-lapis itu. Saya temukan foto itu. Foto itu diambil sekitaran tahun lalu, menggunakan kamera HP beliau, sewaktu saya selesai mengajar sekaligus berpamitan, untuk kembali lagi menimba ilmu di Kota Malang.
Beliau memberi pesan pada saya untuk belajar yang sungguh-sungguh, sholat jangan pernah dilupakan, meski suasana di tempat rantau tidak seperti di rumah di Singaraja. Dan beliau meminta jikalau saya sudah kembali ke Singaraja, untuk datang lagi mengajar di rumah tahfidz, sebuah tempat untuk menimba ilmu al’quran, yang beliau empu.
Genap sebulan saya berada di Malang, terdengar kabar bahwa beliau masuk rumah sakit. Saya sempat pulang, dan berkeinginan untuk silaturahmi. Namun kondisi beliau saat itu masih dalam tahap pemulihan. Jadi saya undurkan niat, sampai tiba waktu saya kembali lagi ke Malang.
Dan ternyata, hari di mana foto itu diambil, adalah hari terakhir pertemuan saya dengan beliau. Betapa hancur hati saya.
Saat melihat foto itu. Saya tak menangis, saya tak menghubungi siapapun, saya tak bertanya ke banyak orang kapan beliau akan dimakamkan, disholatkan di mana dan semacamnya. Saya hanya mengingat senyuman beliau yang tak pernah alpa kepada banyak orang, termasuk kepada saya sendiri.
Beliau lahir dari keluarga keturunan Arab. Ustadz Mar’i Aly Baslom. Beliau adalah ulama ternama di Singaraja, gurunda yang dicintai banyak orang, sosok tokoh agama yang disegani masyarakat luas.
Ia pimpinan Madrasah Diniyah Tahfidzul Qur’an, tempat di mana anak-anak menimba ilmu al-Qur’an, juga tempat saya pernah menjadi tenaga pengajarnya.
Hal yang mungkin selalu diingat dari warga muslim di Singaraja, adalah keramahannya, tak peduli mereka seorang maksiat atau seorang alim. Semua seperti sama di mata beliau. Itulah alasan kenapa beliau selalu disegani dan dicintai masyarakat muslim di Singaraja.
Di tengah banyaknya para ustadz yang berdebat ini-itu, beliau tetap sibuk menebarkan senyuman kepada semua orang. Beliau sibuk memberi pelajaran agama kepada semua masyarakat muslim di Singaraja, beliau sibuk berbincang-bincang tentang umat muslim dan perkembangan masjid-masjid di Singaraja.
Di antara ustadz-ustadz ternama di Singaraja, Ustadz Mar’i ialah salah satu contoh teladan bagi umat. Keterbukaannya membantu masyarakat dengan mengajar di masjid-masjid tanpa membedakan aliran ini dan itu, seperti membuka kembali angin segar nuansa islami yang beberapa tahun belakangan ini menghilang. Jelaslah mengapa warga muslim di Singaraja sangat mencintainya, dan menjadikannya teladan.
Ada yang saya ingat, dan itu menjadi alasan kuat kenapa para warga muslim di Singaraja tak pernah enggan berinteraksi dengan Ustadz Mar’i. Itu karena tutur kata beliau yang lembut dengan diiringi senyuman yang menenangkan jiwa, tak menghakimi dan tak mengucilkan. Sifat lemah-lembut dan tutur kata yang sopan seperti melekat dalam dirinya, dan tak pernah lepas.
Banyak kebaikan beliau yang tak mungkin bisa dilupakan warga muslim di Singaraja. Dan tepat pada hari pemakaman beliau pada tanggal 12 Februari 2022, menurut rekan saya, warga muslim di Singaraja berkumpul dan beramai-ramai mengantarkan jenazah beliau menuju peristirahatan. Sampai-sampai Jalan Pattimura, Jalan Merak serta Jalan Dewi Sartika Utara, membludak oleh warga muslim yang hadir.
Sesampainya di pemakaman, semua mata warga muslim berkaca-kaca, seakan tak percaya telah didahului oleh sosok teladan, guru, dan pembimbing agama mereka, yang telah mengajarkan anak-anak mereka, istri mereka, suami mereka, dan tentunya diri mereka sendiri.
Dan ketika jenazah ustadz Mar’i diturunkan ke liang lahat, serta dikuburkan perlahan-lahan, tangisan pecah. Mereka tak kuasa menahan luapan air matanya sendiri.[T]