Nama Gol A Gong adalah salah satu dari sekian banyak nama yang menginspirasi setiap generasi di Indonesia. Ia dikenal sebagai novelis sejak tahun 1980-an, atlet badminton yang juara, membangun Rumah Dunia, lalu menjadi Duta Baca.
Sebagai Duta Baca Indonesia, ia sempat melakukan Safari Literasi di kota Singaraja, Kabupaten Buleleng, selama tiga hari, 10-12 Februari 2022. Ia memberi pelatihan menulis bersama Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah, Undiksha Singaraja, dan sempat berkunjung ke sejumlah perpustakaan yang dikelola sejumlah lembaga di Bali Utara.
Di sela-sela kegiatan itu ia sempat ngobrol dengan santai di Rumah Belajar Komunitas Mahima yang digawangi Made Adnyana Ole dan Kadek Sonia Piscayanti. Selain mendengar cerita tentang proses literasi di Komunitas Mahima, Gol A Gong banyak bercerita tentang proses kreatifnya selama ia menjadi penulis, membangun gerakan literasi dan menjadi Duta Baca.
Masa Kecil
Gol A Gong merupakan nama pena dari Heri Hendrayana Harris. Rambut dibelah tengah, berjalan santai dengan syal selalu tergantung di lehernya merupaka ciri khas lelaki kelahiran Purwakarta ini.
Semasa hidupnya, ia sangat cinta dengan badminton. Sampai suau hari ia mengalami musibah. Ia terjatuh dari pohon saat kelas IV SD. Kala itu ia masih berusia 11 tahun. Akibat jatuh dari pohon, tangan kiri Gol A Gong patah. Dokter terpaksa melakukan amputasi.
Ia pun menghabiskan waktunya dengan membaca, berolahraga serta mendengarkan dongeng. Semua itu adalah amanah dari sang ayah agar ia tidak minder. Setiap pagi ia mengikuti ayahnya yang naik vespa. Tapi dengan berlari mengikutinya. Tidak turut naik vespa.
Begitu setiap pagi aktivitasnya. Suatu ketika ayahnya juga memberinya raket. Maka main badmintonlah ia hingga fasih. Keterbatasan fisiknya tidak menjadi masalah. Asal ada niat, semuanya akan berjalan. Ia juga tekun membaca dan mendengar. Setiap ada waktu luang ia kerap memaba buku. Entah koran atau bahan bacaan lainnya. Lalu setiap malam ia mendengarkan dongeng. Dari sana ia belajar mendengar nada-nada, artikulai baca serta penekanan dalam pengucapan sebuah naskah.
Waktu bergulir dengan cepat. Gol A Gong akhirnya kelas 6 SD. Di masa-masa itu anak seusianya mungkin tengah sibuk bertumbuh dan menyiapkan diri untuk menghadapi dunia remaja. Namun beda halnya dengan Gol A Gong. Ia sibuk menulis. Sampai akhirnya ia berhasil mebuat naskah sandiwara radio. Hebat betul.
Masa Remaja
Begitu masuk SMP, Gol A Gong mulai menekuni kembali dunia olahraga. Namun sejatinya ia tidak pernah melupakan olahraga. Badminton adalah kecintaannya. Saat pertandingan, ia berhasil menyabet juara dua. Lawannya bukan difabel. Orang normal. Punya dua tangan yang utuh. Tapi Gol A Gong bertanding dengan sungguh menggunakan satu tangan. Luar biasa.
Serasa bergiliran, ketika memasuki masa SMA jiwa literasinya lebih kuat. Ia getol menulis. Novel maupun puisi. Puisi yang ia tulis dimuat dalam majalah HAI kala itu. Pun demikian ia tak meninggalkan dunia olahraga. Ia tetap serius terhadap badminton. Ia lantas menyabet juara kedua. Ia tak pernah menang melawan orang yang normal. Tapi jika diadu dengan atlet difabel lainnya, ia yakin ia mampu.
Semangatnya untuk belajar membuat ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. Selama kuliah ia terus berproses. Keterbatasan fisik tak lantas menjadi halangan bagi dirinya untuk menekuni hobi. Akan tetapi atlet adalah yang utama. Hobi membaca selalu dilakukan disela-sela waktu luang.
Gol A Gong kembali meraih jawara pada ajang Pekan Olahraga Penyandang Cacat (Porpenca) tahun 1986. Tiga emas kategori single, double dan beregu ia bawa pulang. Selanjutnya ia dipercaya mewakili mewakili Indonesia dalam FESPIC Games yang kini disebut Asean ParaGame tahun 1989 di Jepang.
Ia sempat bercita-cita menjadi pelatih atlet difabel. Namun ia berubah pikiran menengok nasib atlet yang banyak tak terurus. “Saat itu saya bercita-cita jadi pelatih. Tapi saya mikir lagi, orang yang normal aja masih belum terurus dengan baik, apalagi yang cacat,” selorohnya.
Lantaran menjadi pelatih tak terwujud, ia kemudian melamar di Kompas Gramedia. Ia lolos menjadi wartawan. Di sela-sela kegiatannya menjadi wartawan, ia menulis. Salah satu tulisannya adalah serial petualangan dirinya yang berjudul Balada Si Roy, yang kemudian dimuat di Majalah HAI. Selama dua tahun bergabung, ia berkontribusi mengirimkan tulisan dari luar negeri. Ia berkeliling Asia.
Pada tahun 1993, Gol A Gong diterima di ANTV. Kemudian pada tahun 1995 ia berpindah ke Indosiar. Begitulah jejaknya dari satu stasiun TV ke stasiun TV lainnya hingga ia bercokol di RCTI dari tahun 1996 sampai 2008. Di tenagh kesibukannya di stasiun TV, ia tetap menulis. Satu novel pun lahir. Judulnya Balada Si Roy. Novel tersebut kemudian diadopsi ke dalam naskah film. Dalam waktu dekat film itu pun akan dirilis. Kabarnya saat Lebaran 2022 mendatang.
Keseriusan Gol A Gong dalam dunia literasi tersebut membuatnya mendedikasikan diri membuat komunitas Rumah Dunia. Komunitas Rumah Dunia pun ia buka untuk mewadahi masyarakat yang ingin belajar literasi. Berbagai kegiatan literasi juga ia lakukan lewat komunitas tersebut hingga ia ditunjuk sebagai ketua forum Taman Bacaan Masyarakat tahun 2010-2015. Seiring berjalannya waktu, Gol A Gong juga ditunjuk sebagai Duta Baca Indonesia meneruskan kiprah Najwa Sihab.
Yang cukup unik, nama pena yang digunakan adalah Gol A Gong. Nama tersebut menurutnya terinspirasi dari orang tuanya. Gol artinya berhasil. A adalah Tuhan (Allah) dan Gong adalah suara (kesuksesan) yang menggema. Maka nama itu memiliki filosofi, semua kesuksesan berasal dari Tuhan. [T]