Kumpulan cerpen Punyan Kayu ane Masaput Poleng di Tegal Pekak Dompu [Pohon Kayu yang Berselimut Kain Poleng di Ladang Pekak Dompu] karya IGB Weda Sanjaya [Bajera, Tabanan, Bali, 29 Agustus 1988] ditetapkan sebagai peraih Hadiah Sastera Rancage dalam suatu acara di Bandung, 31 Januari 2022.
Berikut adalah ulasan atas semua sastra yang masuk nominasi dengan penekanan khusus pada kekuatan antologi cerpen yang menjadi buku sastra Bali terbaik.
Sebanyak 12 Judul
Jumlah buku sastra Bali yang terbit pada tahun 2021 adalah 12 judul, meningkat dua judul dibandingkan jumlah terbitan tahun sebelumnya, 2020, yang berjumlah 10 judul. Sama dengan tahun sebelumnya, buku-buku yang terbit tahun 2021 ini pun sebagian besar diterbitkan oleh penerbit Pustaka Ekspresi, Tabanan, Bali. Selain lewat buku, karya sastra Bali juga muncul di media massa (cetak dan daring), seperti rubrik Media Swari (koran Pos Bali), Ajeg Bali (koran Media Bali), dan Suara Saking Bali, majalah daring berbahasa Bali.
Jumlah buku terbit 12 judul ini terdiri atas enam antologi puisi dan enam antologi cerpen (Lihat Tabel). Dari antologi puisi itu, ada satu antologi puisi Chairil Anwar yang terbit dalam terjemahan bahasa Bali dan disertai bahasa aslinya (bahasa Indonesia). Dalam deretan kumpulan cerpen, ada dua antologi cerpen yang merupakan karya bersama. Antologi puisi terjemahan dan antologi cerpen bersama tidak diikutkan dalam penilaian juri. Dengan demikian, hanya sembilan judul buku yang diikutkan dalam pertimbangan nominasi.
Karya Nominasi
Secara umum, karya sastra Bali yang terbit tahun 2021, baik berupa antologi puisi maupun cerpen menunjukkan kreativitas pengarang Bali dalam merespon situasi sosial, terutama masalah wabah pandemi. Tema-tema yang berkaitan dengan pandemi muncul dalam beberapa karya puisi dan cerpen.
Tema lain yang mewarnai karya-karya sastra Bali tahun 2021 adalah tema introspeksi dengan menghayati nilai tradisi, agama, dan kearifan lokal. Usaha pengarang untuk menggunakan gaya bahasa sangat kuat demi menghasilkan karya estetik dalam bahasa dan dalam inti cerita. Berikut adalah tinjauan atas karya-karya sastra Bali yang terbit sepanjang tahun 2021 yang masuk nominasi untuk hadiah sastra Rancage.
Puisi Pengusir Wabah
Antologi puisi Gending Penundung Gering (Nyanyian Pengusir Wabah) karya Putu Suweka Oka Sugiharta menyajikan 43 puisi, yang sengaja dipilih karena angka 43 adalah lambang tahun Icaka (1943 = 2021 masehi). Susunan ke-43 puisi itu pun diatur khusus, dua dimuat di Pengantar, 20 di bagian pertama dan 21 di bagian kedua, yang terangkai menjadi 2021.
Seperti bisa ditebak dari judulnya, puisi dalam kumpulan ini banyak mengungkapkan persoalan pandemi yang diungkapkan secara kreatif, metaforis, dan personifikatif. Puisi “Gending Panundung Gering” misalnya diekspresikan seperti ‘dialog’ di mana si aku-lirik bertanya kepada Sang Wabah: “uli dija jerone nylebseb/../ Nyen ngutus jerone aji silib? (dari mana Anda nyelusup/…/ Siapa mengutus Anda dengan ilmu sunyi?). Inti puisi ini adalah ganasnya wabah karena mematikan.
Tematik wabah yang menjadi warna antologi puisi Gending Penundung Gering adalah kelebihannya, apalagi diungkapkan dalam berbagai konteks. Selain pertanyaan tentang asal wabah dan jenis-jenis wabah, juga bagaimana masyarakat menerima wabah ini, semisal mahasiswa yang melakukan demonstrasi seolah tidak takut terpapar virus (puisi ‘Mahasisia Rusuh’/ Mahasiswa Rusuh). Puisi ini senada dengan puisi “Demokrasi – Da Mokak Ci (Jangan Kau Sombong) hanya saja di luar tematik wabah.
Kekurangan dari antologi ini adalah kiranya karena kurang tuntasnya penyair untuk menggali tematik wabah dalam estetik simbolik. Keunikan simbolik yang dijanjikan mulai dari judul menyisakan rasa ingin tahu pada pembaca.
Kunang-kunang
Hadir dengan 47 puisi, antologi Kunang-kunang karya DN Sarjana menunjukkan kekhasan dalam judul puisi yang banyak menggunakan ungkapan kearifan lokal atau perumpamaan dalam bahasa Bali, seperti “idup di don candunge” (hidup di daun talas), “raos tan patanggu” (ungkapan tak bertepi), “depang suba” (biarkan saja), “ada tuara” (ada alasan), dan “tuak ulung” (tuak tumpah). Menghidupkan peribahasa bahasa Bali adalah kontribusi menarik dari antologi ini.
Ada juga judul yang bertolak dari unsur-unsur budaya seperti hari raya “Galungan”, penjor, “tridatu” (benang tiga warna), dan “Siwalatri” (cerita rakyat tentang Malam Siwa). Judul dan tema-tema puisi menarik, hanya saja disajikan dalam ungkapan sehari-hari. Misalnya puisi “Raos tan Patanggu”, diakhiri dengan bait: “Lan ngraos matemu rasa/ Apang raose dadi matanggu/ Anake dadi mangugu// yang berarti “Berkatalah dengan rasa/ Agar kata-kata jelas ujungnya/ Orang ‘kan jadi percaya”. Puisi lain rata-rata demikian, artikulasi tema rata-rata masih memerlukan sentuhan seperti kreativitas dalam menggunakan peribahasa Bali.
Tuyul Ayu
Antologi puisi Bererong Ayu (Tuyul Ayu) karya Ni Kadek Juliantari memuat 50 puisi dengan dua ciri utama: ekspresi orisinal. Orisinalitas ekspresi terasa dalam ungkapan berirama yang terjaga dalam bait-bait puisi yang pendek.
Gaya bahasa metafora yang dipilih penyair memungkinkannya untuk menyampaikan gagasan yang melintas dari persoalan nyata ke simbolik, atau dari simbolik ke persoalan faktual. Contohnya puisi “Belabar Agung” (Banjir Besar) yang dilukiskan tak hanya menghanyutkan berbagai benda tetapi juga kerakusan manusia.
Ada juga tema yang mencerminkan situasi sosial dampak pandemi, seperti terbaca dalam sajak “Mawali ke Bali” (Kembali ke Bali) yang melukiskan pekerja migran Indonesia (PMI) terpaksa pulang karena tidak ada pekerjaan di luar negeri.
Sayangnya, tema sosial seperti itu tidak merata hadir dalam antologi ini, karena banyak terselip tema-tema dengan urgensi dan substansi yang ringan, termasuk ihwal kenakalan tuyul yang menjadi tema puisi “Bererong Ayu” yang menjadi judul antologi ini.
Menjemput Matahari
Antologi puisi Mapag Matan Ai (Menjemput Matahari) karya NW Adnyani memuat 40 puisi dengan tema dominan pada pencerahan tentang ajaran agama, doa-doa memohon perlindungan pada Tuhan, nasehat-nasehat moral, dan kebajikan atau kebijakan.
Puja-puji pada Tuhan dan suasana spiritual terungkap lewat puisi tentang tempat suci dan upacara odalan seperti pada puisi Sasih kadasa ring Pura Besakih (Bulan ke-4 di Pura Besakih), pada serangkaian hari raya seperti Penampahan (Hari Pemotongan Hewan sehari sebelum hari suci Galungan), dan penyucian pikiran pada puisi Kuningan (“Hari Raya Kuningan”).
Selain memuja Tuhan, puisi dalam antologi ini juga mendorong pembaca untuk selalu teguh dalam menghadapi realitas kehidupan. Puisi yang dijadikan judul antologi ini, Mapag Matan Ai adalah contohnya. Di dalamnya tersirat gagasan perlunya manusia teguh dalam mencari atau menjaga mata pencaharian (matan ai = matahari, bersosiasi pada mata penca-hari-an), ibarat matahari yang terus berputar meski langit berawan atau mendung, melaksanakan mata pencaharian tidak boleh berhenti.
Terlepas dari beberapa puisi yang bagus, masih ada beberapa puisi yang begitu lugas, tanpa menawarkan tantangan keras untuk pembaca mengupas.
Meniup Langit
Antologi puisi Ngupin Langit (Meniup Langit) karya I Gde Nala Antara hadir dengan 104 puisi. Sebagian besar puisi pendek-pendek, antara 1-3 bait seperti syair, termuat dalam setengah halaman. Setiap halaman puisi disertai ilustrasi foto yang sesuai, diambil dari internet, termasuk foto penyairnya (p.41).
Kelebihan utama antologi ini adalah puisi-puisinya rata menonjolkan irama, seperti tampak dakam bentuk syair dan puisi bebas yang bunyi akhir sama, seperti puisi “Tulus” yang terdiri dari satu bait delapan baris yang bunyi akhirnya –us (belus, lukus, dudus.. dan seterusnya) dan puisi “Cicing Jaruh” (Anjing Libido) yang terdiri dari 25 baris dan bunyi akhirnya sama -uh.
Selain irama akhir, estetika bunyi juga terasa lewat pemakaian kata ulang berubah bunyi seperti ‘galah gilih tan pasapa/ jinar jenar nyuti rupa’ (tongkat pilih tanpa sapa/ kuning merah ganti rupa). Ungkapan ini bisa dibaca dalam puisi “Yuan” (mata uang China) yang ditulis penyairnya sebagai catatan perjalanan ke negeri Tirai Bambu. Dalam antologi ini, terdapat beberapa puisi simbol luar negeri seperti Angkor Wat (Kamboja) dan Paris tanda tempat yang pernah dikunjungi penyairnya.
Sajak “Ngupin Langit” yang menjadi judul antologi ini mengungkapkan tradisi Bali mengusir hujan dengan mantra. Nilai Bali cukup kental dalam puisi ini dan lainnya, hanya saja tidak merata karena dalam beberapa karya puisi perlu pendalaman substansi sehingga tampil sama indah dengan irama yang membangunnya.
Cerpen Tiga Jam
Kumpulan cerpen Telung Jam Satonden I Meme Ngalahin (Tiga Jam sebelum Ibu Meninggal) menyajikan 13 cerita pendek, dengan dua karakteristik utama. Pertama, isi cerita sangat padat. Setiap ungkapan, alinea, dialog, narasi, menyajikan maksud dan makna yang sangat berarti pada alur dan narasi cerita. Tidak ada ungkapan, deskripsi, narasi yang sia-sia.
Walaupun ceritanya pendek, 4-5 halaman, rasanya panjang karena memerlukan perhatian sungguh dalam menyimak. Kedua, tema cerita kebanyakan mengukuhkan mitos-mitos dalam sistem kepercayaan Bali seperti soal setan, leak, wong samar, dan juga soal cinta bersegi banyak yang merusak harmoni keluarga.
Cerpen “Caleg” (Calon Legislatif) dan “Tiang Bengong Ningeh Adanne Ento” (Aku Bengong Mendengar Nama Itu) adalah dua cerita yang bercerita tentang takhyul, yaitu leak dan wong samar, sedangkan cerpen Telung Jam Satonden I Meme Ngalahin yang menjadi judul antologi ini adalah kisah cinta bercabang dan rumit yang menimbulkan cemburu sampai pelampiasan rasa dengan kekerasan yang mengakibatkan pihak terlibat meninggal. Cerita ini, dan cerpen-cerpen lainnya menarik, hanya saja kontennya belum sampai pada tafsir kreatif atas realitas lama.
Cerpen Mencari Arjuna
Kumpulan cerpen Ngalih Arjuna di Kamasan (Mencari Arjuna di Desa Kamasan) karya IBW Widiasa Keniten terbit dengan 15 cerita, yang latarnya semuanya di Kabupaten Klungkung, Bali. Widiasa Keniten adalah pengarang yang sangat produktif, setiap tahun minimal menerbitkan satu kumpulan cerpen, dan karya-karyanya senantiasa bersifat tematik tunggal, seperti antologi Wangchi Wuhan, berisi cerpen yang semuanya tematik covid.
Berbeda dengan itu, cerpen-cerpen dalam Ngalih Arjuna di Kamasan unik karena latarnya yang semuanya di desa atau daerah yang ada di Klungkung. Isi narasi beraneka, seperti percintaan dan pariwisata, tetapi pesan tersiratnya adalah promosi wisata daerah-daerah yang dijadikan latar, seperti Kamasan adalah desa yang terkenal di Bali sebagai pusat lukisan tradisional Bali gaya khas Kamasan. Cerpen lain seperti “Inget Singgah di Gua Jepang” (Ingat Mampir di Gua Jepang) dan Satua Uli Nusa Lembongan (Kisah dari Nusa Lembongan) adalah kisah dengan tema dan subtema pariwisata di balik latar tempat itu.
Cerpen “Inget Singgah di Gua Jepang” adalah kisah turis Jepang yang disuruh oleh kakeknya untuk mampir di gua-gua Jepang di Klungkung ketika berlibur di Bali. Ketika turis Jepang perempuan itu mengunjungi gua dimaksud, kakeknya yang dulu ada di Bali saat penjajahan akhirnya meninggal, bermakna bahwa tugasnya memperkenalkan kepada cucunya gua lambang penjajahan itu sudah tercapai. Cerpen-cerpen dalam antologi ini unik dengan latar di satu daerah, cerita menarik dengan surprise di akhir, hanya saja kisahnya agak jauh dari kompleksitas alur yang bisa menambah nikmat sebuah cerita.
Cerpen Keris Pengantin
Kumpulan cerpen Keris Penganten (Keris Pengantin) karya Pande Putu Alit Antara memuat 15 cerita, yang kebanyakan berkisah tentang kearifan lokal budaya Bali, adat, kepercayaan, mitos, tradisi, dan tentu saja pariwisata. Cerita “Keris Penganten” melukiskan mitos tentang keris dan saung (tutup) yang terpisah, dan pertemuan antara keduanya menjadi simbol pernikahan seorang laki-laki dan perempuan. Ada hal mistis dan kebetulan yang menjadi kerangka cerita, yaitu seorang lelaki yang menjadi dukun berkat kesaktian keris yang dimiliki, sementara pasiennya adalah perempuan yang keluarganya menyimpan tutup keris. Cerita ini secara kental merefleksikan kehidupan, tradisi, dan sistem kepercayaan masyarakat Bali.
Cerpen lain juga demikian, seperti “Dalang Calonarang” yang berkisah tentang kesaktian dan kepercayaan akan black magic. Cerita-cerita tipikal Bali ini memang menarik, hanya saja pengarang tidak tampak memilih untuk mengukuhkan bukan memberikan tafsir baru atas mitos yang ada.
Cerpen Pohon Kayu
Kumpulan cerpen Punyan Kayu ane Masaput Poleng di Tegal Pekak Dompu (Pohon Kayu yang Berselimut Kain Poleng di Ladang Pekak Dompu) karya IGB Weda Sanjaya menyajikan12 cerita pendek dengan kisah-kisah warna lokal Bali yang sangat kental dan dikisahkan dengan cara yang orisinal. Kumpulan cerpen ini mendapat juara pertama lomba cerpen yang dilaksanakan oleh penerbit Pustaka Ekspresi tahun 2021. Atas keunggulannya, cerpen ini mendapat anugerah “Gerip Maurip” (Kalam Kencana).
Cerpen-cerpen dalam antologi ini memiliki setidaknya lima kekuatan. Pertama, tema-tema cerita sangat kental dengan warna lokal Bali, meski demikian disajikan dengan narasi yang orisinal. Pembaca bisa menikmati cara pandang baru tentang isu, nilai, sistem kepercayaan masyarakat Bali dengan kreatif, kadang bercanda tetapi bermakna.
Kedua, alur cerita menyajikan banyak kejutan karena orisinalitas narasi. Contohnya adalah cerpen “Ujan Ai du Desa Kawiswara” (Hujan Saat Mentari Bersinar Terang di Desa Kawiswara) mengisahkan dua desa yang masyarakatnya terbelah menjadi dua kubu karena menyukai dua jenis bunga berbeda yang berbeda warna: mawar merah dan gemitir kuning. Warna ini mudah membawa asosiasi kepada warna dua partai politik di Indonesia, namun yang dieksplorasi dalam cerpen ini adalah watak bunga mawar yang akan tumbuh baik kalau ada mentari cerah tanpa hujan, sedang gemitir baru akan tumbuh mekar bila banyak hujan. Kedua kubu di desa itu tiap hari mengucapkan doa berbeda: kubu fanatik mawar berdoa semoga terang tidak ada hujan; kubu fanatik gemitir berdoa semoga turun hujan. Tuhan mahapenyayang dan mengabulkan kedua doa sehingga tiap hari di desa tersebut turun ujan ai, sebuah paradok yaitu hujan tetapi mentari terang. Ending cerita mengalir lewat alur menarik dan memberikan kejutan, sementara masyarakat tetap terbelah seperti api dalam sekam.
Ketiga, bahasa dalam antologi cerpen ini menarik karena dituangkan dalam kalimat pendek akan tetapi mampu mengeksplorasi rasa, suasana, dan latar yang mendukung jalan cerita. Dengan gaya bahasa demikian, pengarang bisa menyajikan cerita realistik dan juga cerita yang absurd.
Keempat, latar cerita senantiasa dilukiskan terjadi atau berkaitan dengan Desa Kawiswara. Secara etimologi, ‘Kawi’ artinya ‘pengarang’, sedangkan ‘swara’ artinya suara. Kawiswara adalah nama desa imajinantif ciptaan pengarang. Cerpen yang berbeda-beda seperti tersambung oleh latar yang sama, walau bukan latar utama, Kawiswara senantiasa muncul dalam cerpen sebagai tempat narasi dilukiskan terjadi.
Kelima, amanat cerita disajikan dengan realistik, artinya cerita tidak bertendens menyajikan moral cerita yang muluk apalagi absolut. Setiap orang memiliki kelebihan, setiap orang memiliki kekurangan. Bukan rasa hipokrit yang diungkapkan dalam cerita, tetapi kejujuran diri mengakui kelemahan, seperti dalam kisah anak yang menuturkan ibunya selingkuh padahal dia sendiri juga memiliki selingkuhannya. Bukan maksud cerita ini mempromosikan pentingnya perselingkuhan tetapi pentingnya bersikap jujur atas perilaku diri. Di sinilah, sebuah karya sastra mendorong pembacanya untuk introspeksi, jujur mengakui bahwa hidupnya juga tiada bebas dari noda.
Karya Juara
Berdasarkan pertimbangan di atas maka, karya yang ditetpakan sebagai juara adalah kumpulan cerpen Punyan Kayu ane Masaput Poleng di Tegal Pekak Dompu [Pohon Kayu yang Berselimut Kain Poleng di Ladang Pekak Dompu] karya IGB Weda Sanjaya [Bajera, Tabanan, Bali, 29 Agustus 1988]