Pagi lahir dari rahim langit, mengganti malam yang sebelumnya begitu menusuk lewat dinginnya Desa Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Matahari yang makin tinggi dengan cahaya yang tetap membuat suasana makin hangat.
Di desa dingin ini kami terasa seperti lahir kembali dari kebekuan yang kami rasakan tadi malam. Kami berada di desa itu sejak akhir tahun 2021 hingga awal tahun 2022. Dan hawa dingin terus saja tumbuh, tak pernah surut. Itu dapat dibuktikan dengan jemuran di belakang kediaman kami yang tak pernah mengering.
Desa Kintamani termasuk desa di Bali yang berada di dataran tinggi Kabupaten Bangli, tepatnya di kaki Gunung Batur. Dari desa ini, kami banyak menikmati pemandangan menakjubkan, indah serta memukau. Dari desa itu, tiga gunung terkenal di Bali, yakni Gunung Batur, Gunung Agung dan Gunung Abang, terlihat secara langsung, juga gumpalan-gumpalan kabut menuju malam yang seakan tak pernah menepi.
Tak Ada Sekat
Ada keindahan yang lain, keterpukauan kami yang lainnya, yang membuat kami berfikir bahwa inilah hidup yang diidam-idamkan seseorang, bahkan semua orang, yang tak semua tempat memiliki, yang tak semua tempat mengamalkanyan. Keindahan itu adalah toleransi beragama.
Desa Kintamani terdiri dari 7 dusun dan masyarakatnya menganut agama berbeda. Setidaknya ada tiga agama: di desa itu, yakni Hindu, Islam dan Konghucu, dengan agama Hindu sebagai agama mayoritas yang dianut masyarakatnya.
Jujur, awalnya, kami yang berwajahkan almamater kampus Islam merasa berat membawa diri ke desa ini. Karena tak tanggung-tanggung, tempat yang kami pijaki adalah tanah bernapaskan Hindu yang kental, juga mempunyai garis sejarah yang panjang tentang ke-Hinduan.
Perdana kami menginjakkan kaki di Desa ini, kami merasa tidak aman dan begitu takut terhadap perundungan yang mungkin bisa terjadi. Namun ketika langkah pertama berbunyi, tak ada wajah masam di sini, tak ada kata-kata hina dina yang menghias punggung kami.
Yang ada adalah senyuman, keramahan, saling bahu-membahu mengarit rumput gajah tanpa tersirat bisikan dalam hati bahwa “aku membenci kaum ini dan kaum itu”. Entah kenapa kami merasakan adanya ketentraman dan keamanan dengan warna langit yang bersarang puja-puja dewa juga azan lima waktu.
Di kota, di tempat kami masing-masing berangkat menuju pemukiman Kintamani, tak sedikit menemukan perundungan terhadap agama A dan agama B dari oknum-oknum yang berpengetahuan rendah serta merasa punya daya sendiri. Dan itu terjadi di banyak tempat, persekusi-persekusi terhadap agama lainnya yang dirasa minoritas.
Namun di Desa Kintamani, Bali, selama kami hidup hampir 30 hari di sini, kami tak menemukan hal-hal demikian.
Desa Kintamani menampilkan keanggunan hidup berdampingan dengan agama-agama yang berbeda. Keanggunan inilah yang sulit didapatkan. Tentang bagaimana pertemanan terhadap orang yang berbeda agama tetap terjalin dan tak putus, hanya dengan perbedaan. Tentang bagaimana kehidupan bertetangga dengan kaum yang berbeda agama tetap berjalan, dan tak memiliki sekat sedikitpun.
Puncak keindahan tersebut kami rasakan ketika gotong royong di Dusun Glagahlinggah, Desa Kintamani. Yang dusun tersebut tak ada agama lain selain Hindu. Keterbukaan mereka terhadap kami yang semuanya beragama Islam begitu patut diapresiasi. Mereka menerima kami tanpa pernah menampilkan wajah garang, wajah-wajah yang tak setuju akan kehadiran kami. Malah sebaliknya.
Gotong Royong
Ketika gotong royong di Dusun Glagahlinggah, Desa Kintamani, kami seperti bayi baru lahir, tak membawa peralatan dan tak mengerti bagaimana cara benar mengarit padang ilalang. Keterbukaan mereka mengajarkan kami dengan senyuman, dengan obrolan yang bisa dibilang intim, hangat dan kata-kata yang menyejukkan, juga bersedia meminjamkan kami peralatan, begitu membuat kami merasa tak ingin pergi dari desa ini.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Desa Kintamani. Yang mengajarkan apa arti damai, apa artinya kehidupan yang indah, tanpa menghina satu sama lain. Kami merasa aman berada di sini, yang tak pernah ada bertumpahan darah akibat saling menghina, yang tak pernah ada perseteruan umat satu dengan lainnya. Seperti tidak ada sekat yang monggolongkan aku adalah utara dan kau adalah selatan. [T]