Beberapa hari lagi kita bersama akan menutup tahun 2021, tahun yang sarat dengan tekanan ekonomi, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah, akibat pandemi yang berlangsung hampir 2 tahun.
Dari ulasan para pengamat ekonomi kita memperoleh info, berdasarkan data dari industri perbankan, tabungan kelompok ini turun tajam, akibat penghasilannya yang menurun dan bahkan menjadi kehilangan pekerjaan dan menjadi penganggur.
Pada sisinya yang lain, ada banyak nasabah yang ” memarkir ” uangnya dalam bentuk deposito di atas Rp.5 milyar, menunggu momen peluang investasi ke depan. Data industri perbankan ini, memberikan penegasan kembali akan ketimpangan ekonomi yang dalam, sebagaimana publikasi lembaga riset dari Swiss Bank yang menyatakan perkiraan 1 persen penduduk dengan penghasilan tertinggi menguasai 44 persen aset nasional, 10 persen kelompok ini, the affluent society, mengusai 74 persen kekayaan nasional.
Ketimpangan ekonomi dan pendapatan yang sangat tajam, di tengah pemerintahan yang juga mengusung jargon politik Tri Cakti Bung Karno. Dalam realitas ekonomi yang ” menyesakkan ” dada wong cilik ini, terlebih-lebih bagi masyarakat yang ekonominya sangat tergantung pada industri pariwisata, menarik untuk disimak Tajuk Rencana Kompas, Jum’at, 24 Desember 2021 dengan tema Paradoks Bonanza Minyak.
Media arus utama yang punya sidang pembaca beberapa juta orang ini, termasuk media on linenya, melaporkan, akibat boom ( lonjakan harga ) komoditas di pasar global: ” Hingga akhir November 2021 pendapatan negara sudah mencapai 97,5 persen dari target Rp.1.743,6 triliun dan diyakini akan melebihi target pada akhir tahun. Semua pos penerimaan tumbuh positif dan diyakini juga akan melampaui target “.
Kinerja ekspor yang sangat impresif, surplus neraca perdagangan sejak Mei 2021
Seperti diketahui boom komoditas ini terutama berasal dari komoditi sawit yang harganya naik sekitar 60 persen dan Batu Bara dengan kenaikan harga 2 – 3 kali lipat.
Pada sisinya yang lain, dari laporan investigasi majalah Tempo, tingkat efektivitas pemungutan pajak dan pungutan lainnya di industri Sawit diperkirakan sekitar 50 persen, artinya ada sejumlah besar dana negara yang belum berhasil dipungut. Beredar juga di medsos, pernyataan seorang ekonom senior, negara justru membebaskan royalti batu baru senilai Rp.60 triliun, di tengah pasar global komoditi ini yang harganya naik berlipat-lipat.
Kesenjangan ekonomi yang dalam, berbarengan dengan boom komoditas serta kebijakan fiscal yang harus banyak dibenahi, mewajibkan pengambil kebijakan berbenah serius ke depan untuk mencuptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan mengoreksi ketidak-adilan.
PR besar untuk kebijakan ekonomi berkeadilan ini menyebut beberapa, pertama, pembenahan serius dalam kebijakan fiscal, meningkatkan penerimaan negara dan meminimalkan korupsi terutama korupsi sistemik dan korupsi kekuasaan yang lahir dari ” kong kali kong ” para oligark.
Kedua, proses de industrialisasi harus dihentikan, industri manufactur harus didorong kembali pertumbuhannya, terutama bagi pelaku UMKM, padat karya, orientasi ekspor berbahan baku komoditas pertanian lokal serta industri kreatif.
Ketiga, pemberdayaan ekonomi rakyat terus ditumbuhkan, melalui penyehatan dan penyelamatan lembaga keuangan mikro: koperasi, LPD, Bumdes dan lembaga lainnya, yang telah terbukti ampuh menjadi penjaga ekonomi wong cilik, dan juga gerakan swadaya ekonomi oleh kaum perempuan. Fakta menunnjukkan, peningkatan penghasilan kaum perempuan, para Ibu berdampak nyata memperbaiki kualitas kehidupan keluarga: perbaikan gizi, kesehatan dan pendidikan bagi kalangan wong cilik.
Kebijakan pembangunan yang berkeadilan, menjadi sangat penting untuk menghidarkan terjadinya bak kata pepatah: ” Ayam mati di lumbung padi “. [T]