Di menjelang akhir tahun ini, menyimak realitas kehidupan berbangsa yang secara ekonomi amat tertekan karena pandemi, dan pandemi melahirkan kesenjangan ekonomi yang semakin dalam. Masyarakat menengah dan bawah banyak kehilangan pekerjaan, penghasilan yang turun dan tabungannya yang sedikit, terkuras di bank, sebagaimana data dari industri perbankan.
Pada sisinya yang lain, kelompok ekonomi golongan atas: 1 persen penduduk terkaya yang menguasai 44 persen kekayaan nasional, 10 persen upper class menguasai 74 persen kekayaan nasional, yang bisa menikmati boom di industri kelapa sawit dan juga kenaikan harga berlipat-lipat di industri batu bara.
Kesenjangan ekonomi yang semakin tajam di masa pandemi, berbarengan dengan kemerosotan kualias demokrasi kita. Kemerosotan demokrasi yang tampak kasat mata, revisi UU KPK yang melemahkan KPK, diikuti dengan “drama” pemecatan puluhan pegawai KPK yang berprestasi dengan alasan tidak lulus test kebangsaan.
Revisi super kilat UU Minerba yang memberikan karpet merah aneka ragam kemudahan bagi segelintir elite ekonomi. Pengesahan UU Cipta Kerja yang penuh kontroversi, yang kemudian “dibatalkan” oleh MK. UU yang niatannya untuk menciptakan kesempatan kerja melalui rencana kemudahan investasi, tetapi ironinya sejak awal ditentang kehadirannya oleh komunitas buruh.
Realitas kehidupan demokrasi yang semakin memudar, jika kita bandingkan dengan semangat, optimisme dan harapan tinggi pada saat gerakan reformasi mulai bersemi di awal tahun 1990-an, dan mencapai puncaknya dengan “lengser keprabonnya” Pak Harto, 21 Mei 1998.
Masih segar dalam ingatan kita, tuntutan gerakan reformasi: pembatasan masa jabatan Presiden, untuk mengurangi risiko kekuasaan yang salah guna. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI, menegakkan supremasi sipil di era demokrasi, pembrantasan KKN , sebagai biang kero ” dari birokrasi yang boros dan kebijakan yang tidak pro rakyat. Penyelenggaran Otonomi Daerah, untuk memotong sentralisme dan mendotong tumbuhnya inisiatif daerah.
Dalam realitas politik di atas, menjadi menarik disimak pidato yang disampaikan oleh Muhammad Nuh sebagai Ketua Dewan Pers, 9 Desember 2021 di hadapan insan-insan pers. Nuh mengatakan: pers sebagai pilar keempat demokrasi harus mengawasi tiga pilar lainnya: ekskutif, legislatif dan yudikatif untuk tidak berkolaborasi merugikan kepentingan publik.
Pers punya tanggung jawab untuk itu. Tetapi kalau pers juga ikut berkolaborari dan merugikan kepentingan publik , yang lahir adalah demokrasi semu dan pura-pura.
Ada tantangan besar untuk mengerem demokrasi model ini, pertama, insan pers dan kalangan gerakan masyarakat sipil memegang teguh perannya sebagai kontrol sosial terhadap: ekskutif, legislatif dan yudikatif. Tidak terkooptasi oleh kepentingan mereka yang merugikan kepentingan publik.
Kedua, di parlemen kita memerlukan kelompok oposisi loyal, mendukung pemerintah yang pro kepentingan publik dan melakukan kritik keras konstruktif jika ada tendensi kebijakan yang salah guna, tend to corrupt. Ketiga, kalangan agamawan, negarawan yang menjadi penjaga, garda hati nurani bangsanya lebih banyak bersuara, untuk menghindari risiko bangsa menuju “tubir jurang”. [T]