Suatu hari di sebuah pedesaan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada seorang warga yang tetiba mengalami kejadian yang aneh. Tanpa sebab yang diketahui, seorang pria paruh baya berteriak-teriak, mengatakan dirinya bukanlah dirinya, menari-nari penuh ekspresi. Di satu sisi ini adalah pemandangan yang membuat takjub, di sisi lain, ini adalah hal yang diluar konteks, karena tidak ada suatu ritual spiritual tertentu yang sedang berlangsung.
Menurut Anda, kemana keluarganya akan mencari jawaban atas fenomena ini? Siapa yang mereka pikir dapat memberikan jawaban? Kenapa mereka berpikir bahwa orang ini dapat memberikan jawaban?
Dalam sebuah kegiatan “Orientasi Pencegahan dan Pengendalian Depresi” yang dilakukan di Denpasar, saya berkesempatan bertemu dengan pemegang program Kesehatan Jiwa dari berbagai Puskesmas seantero Bali.
Dalam satu sesi diskusi kami, terungkap pengalaman di lapangan bahwa kebanyakan warga lebih cenderung akan mencari jawaban atas fenomena seperti diatas ke “orang pintar” atau paranormal atau Balian atau tokoh spiritual, termasuk pemuka agama. Tokoh-tokoh tersebut dianggap mampu memberikan jawaban atas penyebab fenomena yang terjadi dan kemudian memberikan solusi yang dapat dilakukan. Mereka adalah tokoh-tokoh yang dipandang memiliki integritas, sehingga sugesti yang diberikan dapat menumbuhkan harapan.
Kenyataan senada juga terungkap dalam kegiatan Summer Course yang diadakan oleh Central of Public Mental Health Universitas Gajah Mada dalam sebuah sesi pemutaran film dokumenter yang dibuat di Nusa Tenggara Timur, Bali dan Jogjakarta. Kenyataan ini dibahas juga dalam satu sesi diskusi dengan perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bali dalam rangkaian kegiatan yang sama. Pada akhir sesi diskusi, kami sepakat bahwa kolaborasi dapat menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan jangkauan, keterbatasan dana dan kekurangan sumber daya manusia.
Alih-alih mencari jawaban apakah suatu gangguan pikiran, perasaan dan/atau perilaku disebabkan oleh faktor medis ataukah non-medis, kita bisa melakukan integrasi. Premis ini dapat ditarik dari pengakuan bahwa manusia dan pengalaman hidupnya adalah kompleks. Ada faktor biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang melekat. Untuk memberikan jawaban atas penyebab satu fenomena, kita boleh merujuk pada konsep ini. Jawaban dari satu faktor spiritual misalnya, tidak menghilangkan perhatian kita terhadap faktor biologis, psikologis, budaya, sosial yang tentunya berperan juga.
Gangguan jiwa atau gangguan mental adalah suatu terminologi yang juga kompleks, ditunjukkan dengan luasnya rentang gangguan jiwa yang tertera dalam berbagai pedoman diagnosis. Ada gangguan jiwa yang ringan, sedang dan berat. Ada gangguan jiwa yang menyebabkan gangguan penilaian terhadap realita, ada yang tidak. Ilmu kedokteran jiwa juga mempelajari tentang pencegahan agar orang dengan masalah kesehatan jiwa tidak menjadi orang dengan gangguan jiwa. Penangan orang dengan gangguan jiwa juga tidak melulu dengan obat (biologis), melibatkan juga berbagai modalitas psikologis, sosial, budaya dan juga spiritual. Hal ini sudah tercantum dalam berbagai buku teks medis, dan menjadi subjek penelitian ilmiah terkini.
Jawaban yang disampaikan oleh pemuka agama, tokoh spiritual atau balian (penyembuh tradisional Bali) menyentuh area spiritual, budaya, sosial dan psikologis meskipun sangat jarang menyentuh area biologis dari gangguan jiwa. Di Bali, jawaban ini tidak lepas dari Tri Hita Karana, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dan leluhur, dengan sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya. Dalam proses mendapatkan solusi, keluarga dan bahkan masyarakat akan dilibatkan, komunikasi lebih intensif dilakukan dan orang dengan gangguan pikiran/perasaan/perilaku lebih diperhatikan.
Integritas tokoh-tokoh masyarakat ini didapatkan karena seringkali mereka memang menawarkan solusi yang dapat dilakukan dan cukup berhasil. Gangguan mental dan emosional yang ada dalam taraf ringan, sedang dan kondisi-kondisi akut tertentu mendapatkan jawaban yang cukup memuaskan. Bahkan gangguan-gangguan yang bersifat kronis juga dapat dijelaskan dengan rujukan lontar usadha (kitab warisan local genius yang membahas gangguan kesehatan) dan penjelasan yang sesuai budaya dan religi setempat. Rasa nyaman juga didapatkan oleh keluarga bahwa anggota keluarganya tidaklah “gila”, tetapi mengalami gangguan yang disebabkan oleh faktor diluar dirinya (dan keluarga).
Sesungguhnya terdapat persamaan dari praktik-praktik non-medis ini dengan apa yang dilakukan oleh medis. Gangguan mental dan emosional yang ada dalam taraf ringan, sedang dan kondisi-kondisi akut tertentu, memang dapat ditangani tanpa mengedepankan pemberian obat (biologis). Contohnya adalah penanganan gangguan depresi ringan dan sedang, reaksi stress akut yang tercantum pada berbagai panduan penanganan medis. Penanganan gangguan ini akan melibatkan proses psikoedukasi, psikoterapi, konseling, perbaikan komunikasi, aktivitas fisik, aktivasi jejaring keluarga, sosial serta spiritual.
Teman-teman pemegang program kesehatan jiwa di Puskesmas seantero Bali sesungguhnya sudah sangat tidak diragukan lagi integritas dan pengabdiannya. Ketika ada seorang warga di wilayah cakupan Puskesmas-nya, seringkali mereka dihubungi dan datang ke lokasi kejadian. Mereka diminta bantuannya dalam hal penanganan bahkan diluar jam kerja, saat mereka seharusnya beristirahat di rumah. Namun seringkali mereka juga mendapat tantangan dan penolakan atas penjelasan medis yang mereka berikan. Tantangan ini tidak lepas dari unsur stigma, yaitu ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh keluarga dan penderita jika dinyatakan mengalami gangguan mental.
Dua orang teman pemegang program jiwa di Puskesmas menyampaikan pengalamannya terkait kolaborasi yang sudah mereka lakukan. Teman pertama bersikap asertif kepada keluarga penderita dengan kegigihan memberikan edukasi dan penanganan yang sesuai, termasuk pemberian obat. Teman kedua membantu keluarga untuk mendapatkan penanganan medis pada fase akut terlebih dahulu, kemudian ketika penderita sudah ada dalam kondisi cukup tenang, memberikan kesempatan luas untuk penanganan non-medis. Dalam dua contoh kasus ini, penderita gangguan mental mendapatkan pelayanan yang lebih lengkap dan meliputi berbagai aspek biologis, psikologis, sosial, budaya dan spiritual.
Kolaborasi seperti ini sudah terbukti dapat dijalankan dan memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan hanya berjalan sendiri. Tentunya proses yang selama ini sudah berjalan, perlu lebih dioptimalkan lagi melalui komunikasi dan dialog berbagai pemangku kepentingan. Hal ini juga digaungkan dalam bagian akhir film dokumenter yang telah disebutkan diatas.
Jadi fokusnya bukanlah memilih jawaban dari sudut pandang dua kutub yang berlawanan apakah gangguan ini bersifat medis ataukah non-medis. Fokusnya adalah melakukan kolaborasi medis dan non-medis dalam berbagai masalah kesehatan jiwa. Seperti telah disebutkan diatas, ada berbagai faktor penyebab, maka ada berbagai faktor penanganan. Orang-orang yang berperan dalam pelayanan medis dan non-medis dapat berkolaborasi bersama dalam mencari jawaban dan memberikan solusi.
Faktor-faktor lain, tentunya juga masih banyak, termasuk peran masyarakat dan lembaga/yayasan swadaya. Tentu saja faktor ketersediaan anggaran menjadi salah satu kunci untuk menggerakkan semua proses yang akan direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi. Harapannya, kolaborasi dapat menumbuhkan optimisme dan luaran yang lebih baik. [T]