Ubud di Gianyar, Bali, sebagai daerah kantong Budaya tersibuk di Bali, tiada henti menyajikan atraksi budaya baik dalam bentuk sakral maupun profan. Seakan berjalan seirama dengan nafas kehidupan masyarakat Ubud itu sendiri.
Geliat aktivitas kebudayaan di Ubud tumbuh begitu kuat dan digerakkan secara konsisten oleh masyarakatnya. Alunan gamelan, lenggokan tarian, sapuan kuas bergerak menopang piodalan di pura, ngaben, dan upacara manusia yadnya lainnya. Kadang saling sahutan dengan riuh kepak pariwisata.
Aktivitas budaya dalam ritual keagamaan bukanlah hal langka di Ubud. Megargitan, budaya makan dengan bersama-sama dalam satu porsi hidangan (megibung) sebagai rangkaian upacara piodalan dapat dijumpai pada Piodalan di Pura Panataran Keloncing Padangtegal yang jatuh setiap Buda Manis Medangsia.
Uniknya ritual Megargitan ini mengutamakan anak-anak sebagai pesertanya. Hal ini sesuai dengan dresta dan kepercayaan Pengemong Pura Panataran Keloncing bahwa Ida Betara yang berstana memiliki pererencang/pengikut berwujud anak-anak. Riuh dan reriungan anak-anak adalah fenomena yang ikut memeriahkan upacara Piodalan Di Pura Panataran Keloncing Padangtegal.
Megargitan sendiri dilakukan setelah rangkain pemujaan Piodalan dilakukan oleh Pendeta. Setelah acara muspa/sembahyang bersama, maka pengayah pura akan menyiapkan seporsi hidangan makan yang berisi nasi, lawar, sate, gorengan daging dan tum.
Sate khas yang menjadi ikon dari Megargitan ini adalah sate asem. Sate asem adalah sate yang disusun atas kombinasi antara lemak dan daging. Dua potong lemak dan satu potong daging merupakan susunan dari sate asem ini. Sate ini wajib ada dalam ritual megargitan selain lauk pauk lainnya.
Megargitan sendiri tidak hanya sebuah acara makan dalam konteks ritual. Melainkan dengan kebersamaanya diajarkan untuk dapat saling berbagi dan menikmati berkah Sang Pencipta secara merata. Pelaksanaannya setelah upacara piodalan adalah wujud bagaimana manusia harus berserah dan mengucap syukur kepada Sang Pencipta sebelum meminta anugrah (paica).
Dalam megargitan segala hidangan beserta lauk pauknya adalah simbol anugrah dari Sang Pencipta dalam hal ini Ida Betara yang berstana di Pura Panataran Keloncing kepada umatnya.
Megargitan yang gargita, gargita dalam artian senang nan bahagia dalam menerima anugrah beliau.
Sungguh elok dan adiluhung bagaimana nilai tata krama bersyukur sebelum menerima diejawantahkan dengan saling berbagi berkah Sang Pencipta dalam wujud makan sebuah hidangan bersama-bersama. Terselip budaya pendidikan nilai kemanusian secara rohaniah disandingkan dengan lelaku penyerahan diri terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. [T]