Dua lekaki – dua-duanya penyair — duduk dengan gaya yang berbeda. Yang satu, membicarakan puisi dengan agak menggebu, seakan puisi adalah sebuah keyakinan, semacam agama, dan dipercaya telah menyelamatkan seluruh hidupnya.
Lelaki itu Wayan Jengki Sunarta, salah satu penyair top Bali yang puisi-puisinya telah memenuhi banyak ruang sastra di media masa Indonesia dan dibukukan di mana-mana. Jengki, demikian penyair itu kerap dipanggil, bicara puisi dalam acara Timbang Rasa serangkaian Festival Seni Bali Jani III, di Taman Budaya Denpasar, Bali, 31 Oktober 2021.
Lelaki yang satu lagi adalah Nyoman Wirata. Juga bicara puisi, tapi bicaranya dengan agak perlahan, seakan takut puisi akan menyalahkannya jika ia bicara keliru. Selain menulis puisi, Nyoman Wirata juga pelukis, juga guru yang sudah beberapa tahun lalu pensiun.
Jengki dan Wirata mewakili dua generasi yang berbeda di dunia puisi. Jengki mulai menulis sejak tahun 1990-an dan Nyoman Wirata tahun 1970-an. Namun keduanya, meski dengan gaya yang berbeda, sama-sama menunjukkan betapa puisi itu amatlah penting dan harus tetap ada dan terus diciptakan.
“Mahaguru penyair Umbu Landu Paranggi, memaknai puisi sebagai kehidupan, dan kehidupan adalah puisi,” kata Jengki.
Pernyataan Umbu itu, kata Jengki, mengandung renungan yang sangat dalam. Puisi adalah ungkapan atau ekspresi kejujuran. Puisi membuka ruang untuk merenungi kehidupan dengan berbagai aspek dan persoalannya. Dalam hal ini, puisi bukan sekadar klangenan atau kecengengan, namun sublimasi untuk merenungi hakikat sang diri dan kehidupan.
Jengki bahkan menganggap puisi sebagai anak rohani. Sebab, puisi memang lahir dari hasil perkawinan perasaan dan pikiran. Kekuatan perasaan dan pikiran setiap orang tentu berbeda-beda. Hal itu berkaitan dengan segala bentuk interaksinya dengan berbagai hal, baik yang berasal dari dalam diri maupun di luar diri. Jelas pula, setiap interaksi melahirkan kenangan dan pengalaman yang berpengaruh pada cara memandang sesuatu, maupun melihat masa depan. “Biasanya puisi lahir di atas landasan kondisi-kondisi seperti ini,” katanya.
Sebagai anak rohani, kata Jengki, tentu puisi memiliki nasibnya masing-masing ketika dilepas ke khalayak yang beragam. Bukan hanya komunitas sastra, atau komunitas seni, namun juga masyarakat luas. Mungkin beragam pujian akan didapat si puisi, mungkin pula aneka kritik, atau bahkan makian atau hinaan. Semua itu adalah resiko yang mesti ditanggung si puisi.
Tugas penyair, lanjut Jengki, menuntun puisi agar lebih “berharga” dan “bermartabat” di hati pembaca, agar mampu “memberi” pada pembaca. Selebihnya, penyair sebagai ibu sekaligus ayah dari si puisi, hanya bisa mendoakan keselamatan anak-anak rohaninya, agar menjadi anak yang baik dan berguna bagi banyak umat manusia.
Agar mampu “memberi” pada pembaca, maka sampaikan puisi pada Festival Seni Bali Jani dan dituntun dalam berbagai program. Dalam festival ini, puisi setidaknya muncul dalam berbagai acara, seperti lomba baca puisi dan lomba musikalisasi, serta yang paling akbar adalah pergelaran Tribute to Umbu yang diisi pembacaan puisi serta alihwahana puisi-puisi Umbu ke dalam berbagai bentuk seni lain.
Puisi juga mendapat tempat yang lumayan besar dalam acara Malam Kata Rupa dan Suara, di mana sejumlah sastrawan dari Bali juga luar Bali membacakan karya-karya mereka di atas panggung. Sejumlah penyair membaca puisi dengan gaya dan teknik pemanggungan yang berbeda-beda. Seperti penyair Angga Wijaya yang cenderung kalem dan membiarkan suara-suara puisi menyelusup halus ke kuping para penonton. Ada juga penyair Wulan Dewi Saraswati yang membaca puisi dipadukan dengan gambar-gambar estitetik yang muncul di layar putih samping panggung.
Dalam pergelaran seni tari kontemporer yang dibawakan oleh Sanggar Bumi Bajra Sandhi, puisi juga menyusup melalui lantunan lamat-lamat yang mengiringi para penari beraksi di atas panggung. Pementasan yang berjudul Tadah Asih itu bisa disebut sebagai bentuk dari puisi tari, atau teater tari dengan paduan puisi.
Artinya, pada Festival Bali Jani ini, puisi juga “dipentaskan”. Dan bisa dibayangkan jika tidak ada puisi dalam Festival Seni Bali Jani, mungkin festival ini dianggap tak akan punya makna apa-apa, bahkan mungkin dianggap tak punya jiwa. Buktinya, kedua penyair, Jengki dan Wirata, yang bicara dalam acara Timbang Rasa itu menempatkan puisi dalam kedudukan yang sangat agung, di masa lalu, di masa kini, maupun di masa yang akan datang.
Pada Festival Seni Bali Jani, puisi lebih banyak memang disampaikan ke pembaca dengan media yang berbeda, seperti teater, musik, tari, juga video. Puisi masuk dalam “kemultimediaan” festival. Puisi bukan hanya memberi warna, melainkan juga memberi roh. Ia hadir kadang tanpa terasa, tapi dinikmati.
Dengan begitu, acara Timbang Rasa yang membahas puisi dengan menampilkan dua penyair dari generasi yang berbeda itu sepertinya memiliki benang merah dengan puisi-puisi yang menyelusup ke dalam berbagai pergelaran seni dalam festival itu.
“Teks (puisi) tak lagi berada di ruang dengan pintu tertutup!” Begitu kata Nyoman Wirata dalam acara Timbang Rasa itu.
Kata dia, puisi pernah berada di ruang tertutup. Namun kemudian, secara sadar atau tidak sadar, melahirkan agen-agen penyalur makna ke ruang-ruang yang lebih luas. “Seorang dalang menafsir Ramayana dan masyarakat penonton menerima hasil penafsirannya,” kata Wirata.
Apa yang dikatakan Nyoman Wirata tentang penafsiran itu, terjadi pada seniman-seniman panggung yang “mementaskan” puisi dalam sejumlah pergelaran di Festival Seni Bali Jani. Dan hal itulah yang membuat festival ini menjadi penuh arti dan bergelimang makna.