Ngelawang adalah sebuah tradisi yang lahir dari kepercayaan Hindu. Mereka memuja dan meyakini bahwa dewa yang dipuja, yang berstana pada tapakan memiliki kekuatan maha dahsyat yang mampu memberikan perlindungan bagi semua mahluk ciptaannya termasuk alam raya ini. Dilihat dari beradaanya, tradisi ngelawang dimulai dari antara rentang abad ke VII sampai dengan abad ke X ada kaitannya dengan tradisi sirkus China yang dipentaskan oleh pedagang China pada masa Dinasti Tan.
Pada masa itu, China adalah pusat dari perdagangan dunia, dimana para pedagang yang berasal dari China sering melakukan perjalanan dari China ke India dan melalui Indonesia mulai dari Kalimantan, Sulawesi hingga mampir ke Bali. “Selama berdagang ini, para pedagang China memang sering melakukan pementasan Barong Macan dengan tujuan untuk mencari uang untuk bekal perjalanan,”.
Pementasan tersebut lambat laun mulai ditiru oleh masyarakat Bali pada masa itu, namun lakon yang dipentaskan disesuaikan dengan lakon lokal yang berkembang di dalam budaya masyarakat Bali, dan aktivitas ini secara turun temurun tetap dilakukan dengan baik. Mulai saat itulah kemudian berkembang istilah ngelawang di Bali. (Bandem, dalam https://baliexpress.jawapos.com/balinese/10/06/2018).
Dilihat dari asal katanya ngelawang berasal dari kata lawang berarti pintu, nglawang; berkeliling dari rumah ke rumah dari desa ke desa untuk mempertunjukan tari barong dengan tak diupah (Warna, 1990:395). Mereka menarikan Barong dari rumah ke rumah dan berkeliling di jalan-jalan desa. Barong sendiri merupakan lambang perwujudan dari Sang Banas Pati Raja yang bisa menjaga manusia dari wabah dan bahaya.
Di Bali dikenal beberapa jenis barong, diantaranya: Barong Bangkung (rupa Babi), Barong Brutuk (Barong ini menggunakan tapel dari batok kelapa dengan rambut atau bulu-bulunya terbuat dari kraras atau daun pisang tua), Barong Macan (rupa Macan), Barong Landung (Cerita Jaya Pangus dan Kang Cing Wi), Barong Ket (Perpaduan rupa macan, singa, sapi dan naga) Barong Asu (rupa Anjing), Barong Gajah (rupa Gajah), Barong Sampi (rupa Sapi).
Berbagai bentuk rupa barong tersebut biasanya dijumpai pada tradisi ngelawang di Bali. Ngelawang adalah sebuah ritus yang bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif yang ada di lingkungan nyomia kekuatan bhuta menjadi dewa, sehingga memberikan keselamatan, ketentraman, dan kesuburan alam semesta.
Ngelawang dilakukan dengan mengusung tapakan berkeliling desa. Ida tapakan/sesuhunan (Barong, Rangda, dan sejenisnya) diarak keliling desa dan dihaturkan persembahan-persembahan upakara sesuai dengan dresta di daerah setempat. Ini adalah ritus sakral yang telah dilakukan berabad-abad yang mengakar dalam tradisi kepercayaan Hindu. Tradisi ngelawang tidak dilakukan sembarangan. Waktunya dipilih berdasarkan pemilihan hari baik dalam kalender Bali.
Selain itu, ngelawang juga dilakukan mana kala adnya petunjuk-petunjuk gaib, kejadian-kejadian aneh diluar nalar, ataupun fenomena-fenomena yang mengisyaratkan tradisi ini digelar. Tradisi ngelawang dahulu dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Para pendeta atau pemangku adalah pemimpin ritus ini dibantu oleh tetua dan masyarakat pendukungnya.
Di beberapa daerah tradisi ngelawang ini digelar setiap 6 bulan sekali diantara hari raya Galungan dan Kuningan. Perayaan Galungan senidiri merupakan perayaan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan), termasuk juga tujuan ngelawang tersebut, selain untuk mengusir hal-hal yang bersifat negatif dan tolak bala, juga untuk merayakan kemenangan kebaikan atas kejahatan.
Dalam perkembangannya kini, tradisi ngelawang dari sakral telah banyak diadopsi untuk kebutuhan seni hiburan (propan). Dalam hal ini, tidak lagi ada persembahan-persembahan ritual mana kala Barong itu mesolah (menari). Namun kegiatan ngelawang ini dilakukan berkaitan dengan perayaan Galungan dan Kuningan yang disambut dengan suka cita dan pernak pernik hiasan penjor sebagai symbol Galungan. Banyak tradisi ngelawang kini dilakukan oleh anak-anak yang mempergunakan Barong Bangkung dan Barong Macan sebagai sarana untuk ngelawang. Mereka sangat antusias untuk melakukan tradisi itu yang dibalut dengan konsep pertunjukan yang bersifat hiburan.
Dari apa yang mereka lakukan, banyak anggapan atau wacana yang beredar, bahwa mereka tak layaknya sebagai “pengemis” yang mempergunakan frame budaya atau ngelawang sebagai medianya. Pandangan seperti itu, menurut penulis adalah hal keliru. Kata pengemis tidak elok diberikan pada mereka yang melakukan pertunjukan itu. Dilihat dari kata mengemis dalam KBBI mengemis/meng·e·mis/ berarti 1) meminta-minta sedekah: sebagai orang gelandangan dia hidup dari ~; 2) ki meminta dengan merendah- rendah dan dengan penuh harapan (https://kbbi.web.id/emis).
Di dalam kegiatan ngelawang yang dilakukan secara propan, disana ada sebuah penjulan jasa dimana para penikmatnya disuguhkan hiburan yang mampu dinikmati oleh penikmatnya. Pertunjukan ngelawang telah memberikan kenyaman, perasaan suka cita, dan sangat menikmati sebagai seni hiburan.
Jadi kata ngemis, tidak tepat diberikan pada mereka. Sujatinya mengemis adalah sebuah kegiatan meminta-minta yang hanya ingin menerima imbalan namun tidak ada barang, jasa, yang diberikan kepada pemberinya. Jadi berbeda dengan ngelawang yang sudah tentu ada produk jasa yang ditawarkan atau dijualnya. Selain itu, kegiatan ini juga hanya dilakukan pada hari-hari tertentu yang berkaitan dengan perayaan hari raya Galungan dan Kuningan.
Dari tradisi ngelawang merupakan sebuah cara pemertahanan kearifan lokal yang mengandung banyak nilai-nilai bagi anak-anak. Nilai-nilai yang ada pada tradisi ngelawang diantaranya:
1. Nilai pemertahanan tradisi
Pemertahanan budaya dilakukan secara berkesinambungan. Tradisi ngelawang adalah sebuah konsep pemertahanan nilai budaya dalam kemasan seni pertunjukan. Pelimpahan dari generasi ke generasi merupakan sebuah cara bagaimana seni ini tumbuh dan tetap lestari. Kemasannya dalam bentuk seni hiburan adalah sebuah jalan alternatif untuk merangsang generasi muda untuk tumbuh dalam jiwanya sebagai penerus budaya ini.
Harapannya mereka tergugah dan selalu termotifasi untuk menggali, melakukan, dan mengembangkan kesenian ngelawang sebagai pewarisan kebudayaan yang nantinya akan berimbas pada seni-seni yang sifatnya sakral. Mereka belajar dari sakral untuk propan ataupun juga sebaliknya. Nantinya melalui tradisi ini mereka akan tau cara dan perbedaan bagaimana melakukan seni sakral dan seni propan.
2. Nilai Pendidikan
Dalam aktivitas ngelawang identik dengan anak-anak, karena penari dan penabuhnya lebih cenderung melibat anak-anak usia sekolah. Biasanya pada serangkaian hari raya Galungan hingga hari raya Kuningan, anak-anak sekolah diliburkan. Waktu liburan ini diisi dengan kegiatan ngelawang. Sekaa-sekaa ngelawang terbentuk dari anggota sanggar seni yang ada di daerah ataupun terbentuk berdasarkan kesenangan dalam rangka menyambut hari raya Galungan dan Kuningan.
Dalam kelompok ngelawang ini, anak-anak akan dilatih untuk mengenal kesenian daerahnya. Selain belajar mengenai kesenian daerahnya, dalam kelompok ini, anak-anak ini juga bisa bermain untuk mengisi waktu liburan dan melupakan gejetnya. Hal ini juga dapat menumbuh kembangkan bakat/talent anak-anak dibidang seni melalui sistem pendidikan tradisional di desa. Dengan ini akan tumbuh rasa untuk mencintai keseniannya.
Dalam tradisi ngelawang mereka belajar menarikan Barong melalui gerak tarinya dan belajar menabuh gamelan. Ini adalah sebuah jalan mereka untuk mengenal lebih dalam keseniannya, melakoni seninya sebagai bentuk cinta budaya yang mereka lakukan.
3. Nilai sosial
Melalui kegiatan ngelawang, terdapat nilai sosial yang diambil. Mereka melakukan dengan senang hati menghibur masyarakat dengan suka cita dan penuh semangat. Besar kecilnya upah yang mereka terima,tidak menjadikan surutnya niat mereka untuk mengibur. Mereka lakukan atas dasar suka. Ketika mereka kehausan, diantara mereka pun kerap berbagi.
4. Nilai kerja sama
Tradisi ngelawang dilakukan secara berkelompok yang melibatkan kurang lebih 10-15 orang anak-anak. Masing-masing memiliki tugas sebagai penari barong dan juga sebagai pemain musiknya. Melalui kegiatan ini melatih mereka bagaimana menjadi interpreneurship, leadership, dan management seni sejak dini. Dalam kegiatan ngelawang, sudah barang tentu dipimpin oleh seseorang yang berlaku sebagai ketuanya (leader) yang bertugas mengatur pertunjukannya sekaligus menata, mengatur musik, dan pemainnya.
5. Nilai ekonomi
Di dalam tradisi ngelawang, mereka kerap menerima upah yang diberikan oleh si penikmat seninya. Upah sebagai bentuk nilai jasa hiburan yang berikan, dikelola secara bersama. Upah tersebut memberikan nilai ekonomi yang dapat digunakan untuk kehidupannya. [T]
Sumber Referensi:
- https://baliexpress.jawapos.com/balinese/10/06/2018/ngelawang-diadopsi-dari-tradisi-sirkus-china-ini-sejarahnya
- https://bali.tribunnews.com/2019/01/07/tribun-wiki-10-jenis-barong-yang-ada-di-bali?page=all.
- Warna, I Wayan. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Pemerintah Tingkat I Bali.