— Catatan Harian Sugi Lanus, 14 Nopember 2021
.
Apakah penganut Hindu di India mengenal kawitan/leluhur/pitara/pirata?
Jawabannya: Penganut Hindu di India mungkin lebih keras memikirkan kawitan/pitara dibandingkan Hindu di Indonesia. Hal ini jika dilihat dari berbagai kitab yang menyebutkan pentingnya penyembah leluhur yang diwarisi di India. Pentingnya pemujaan leluhur atau ‘kawitan’ disebutkan dalam kitab suci kuno seperti Garuda Purana, Matsya Purana, Wisnu Purana, Vayu Purana dan Manu Smriti, yang menggarisbawahi manfaat melakukan pitra puja. Dalam kitab-kitab ini dikatakan bahwa leluhur kita akan memberkati kita dengan semua kesenangan hidup – seperti pernikahan, anak-anak dan kekayaan materi.
Apakah keyakinan pada kawitan di Bali punya hubungan dengan ajaran kitab-kitab India kuno tersebut?
Tradisi pemujaan leluhur di Bali itu kemungkinan besar percampuran tradisi Nusantara dan ajaran kuno yang merujuk pada teks kitab Garuda Purana. Jika kita baca rujukan lontar upakara Pitra Yadnya di Bali, yaitu lontar Yama Purana Tattwa, peristilahannya memakai peristilahan banten/sarana upakara leluhur yang sampai sekarang dijalankan di India, seperti skul pinda, tarpana, śraddha, dan lain-lain sampai sekarang pun juga masih dipakai sebagai sarana masyarakat Hindu di India dalam melaksanakan pemujaan leluhur. Salah satu agenda tahunan berturut nyejer 16 hari memuja leluhur agendanya bernama masa pemujaan leluhur atau Pitru Paksha ( Sansekerta : पितृ पक्ष , Pitr Paksa ; menyala “dua minggu dari nenek moyang”).
Pitru Paksha adalah kalender khusus bagi masyarakat Hindu di India untuk “melakukan penghormatan kepada nenek moyang mereka (Pitra)”, terutama dengan persembahan makanan dan upakara persembahan leluhur dalam bentuk pinda. Dalam lontar Jawa Kuno dan Bali dikenal istilah ‘shraddha’ atau ‘tarpana’ dan ‘pinda’, semuanya sama dengan istilah dalam Hindu di India sampai saat ini. Periode ini juga dikenal sebagai Pitri Paksha / Pitr-Paksha, Pitri Pokkho, Sorah Shraddha (“enam belas shraddhas”), Kanagat, Jitiya, Mahalaya, Apara Paksha dan akhadpak (Marathi).
Dalam Prasasti Gajah Mada atau dikenal sebagai Prasasti Singhasari (1273 Saka/ 1351 Masehi) juga digunakan istilah yang sama bahwa Mpu Mada atau Gajah Mada melakukan pemujaan pada leluhur raja-raja Majapahit. Pemujaan leluhur tersebut punya kesamaan substansi dibandingkan upakara sorah shraddha ( “enam belas shraddha”) yang dirayakan di India sampai sekarang di kalangan penganut Hindu tradisional.
Peristilahan dalam lontar upakara Pitra Yadnya di Bali, yaitu lontar Yama Purana Tattwa, dengan Garuda Purana sangat dekat secara substansi jika dibandingkan dengan Garuda Purana dalam membahas perjalanan leluhur dan upakara untuk leluhur.
Benarkah bukan hanya orang Bali yang mengenal _’salahang kawitan’? Hindu India juga mengenal hal sejenis?
Upakara agar tidak ‘salahang kawitan’ di India ada beragam, diantaranya: Panchak Shanti Karma, Narayan Bali Karma, Pinda Daan, Tarpan, dan pemujaan Shraddha ketika Pitri Paksha.
Apakah namanya ‘salahang Kawitan’ di India?
Namanya: Pitra dosha (Kutukan Nenek Moyang). Juga disebut pitṛśāpa.
Bagaimana penjelasanya?
Tidak semua leluhur yang meninggal mendapat tempat yang baik, itulah konon dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Hindu India membawa sial bagi keturunannya.
“Kutukan nenek moyang” ini dipercaya dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius, yang mungkin menjadi sangat rumit sehingga praktisi medis mungkin gagal untuk mendiagnosis penyakit, dan obat yang diresepkan menjadi tidak efektif sama sekali. Masalah kesehatan yang dialami biasanya di luar lingkup ilmu kedokteran. Tidak terdeteksi secara medis.
‘Salahang leluhur’ di India, dalam salah satu pembahasan Pitra Dosha dalam diskusi orang-orang Hindu India, juga disebutkan bisa berdampak membawa akibat keturunannya mengalami gejala seperti perilaku abnormal, kemarahan tak terkendali, menimbulkan cedera fatal pada orang lain, depresi, kecenderungan bunuh diri, rasa sakit tak terkendali bertahan bahkan setelah pengobatan; ruam di bagian tubuh tanpa penyebab yang terlihat, mual mungkin memiliki beberapa hubungan dengan kutukan tersebut. Banyak masalah seperti itu memiliki kejadian siklik dan tampaknya terkait dengan pergerakan planet.
Hal tersebut hampir sama dengan yang banyak dipercaya di Bali.
Para ahli astrologi India melihat bukan hanya hal tersebut di atas dampak dari ‘salahang leluhur’, banyak lagi turunan dari “Pitra dosha”, dapat menyebabkan beberapa masalah lagi seperti: –
- a) Tanpa anak
- b) Keguguran berulang
- c) Perselisihan keluarga
- d) Masalah kesehatan dalam keluarga
- e) Hambatan dalam karir dan pendidikan tanpa alasan yang jelas
- f) Ketidakmampuan untuk menikah
- g) Kecanduan
- h) Kelahiran anak tunagrahita
- i) Kematian anak-anak di usia muda
Para ahli astrologi India biasanya membantu menangani masalah yang dipercaya berkaitan dengan kawitan masyarakat India. Direkomendasikan: Cara terbaik bagi penerusnya (damuh atau keturunan) adalah dengan berdoa kepada Tuhan untuk pengampunan. Karena nenek moyang juga dianggap sebagai jiwa ilahi atau pitara/pirata, seseorang harus meminta pengampunan dari mereka juga. Setiap jiwa yang terlunta, gelisah karena menunggu mukti (keselamatan), maka para penerus harus mengambil langkah-langkah yang ditentukan dalam teks-teks agama untuk “mukti” jiwa leluhur.
Kalau orang India merasa ‘salahang kawitan’ atau kena pitṛśāpa, mereka melakukan langkah-langkah (ini menjadi pengetahuan umum yang beredar di kalangan Hindu India):
a) Seseorang harus bersumpah untuk memberikan pelayanan tanpa syarat kepada orang tua dan orang yang lebih tua. Ini membantu dalam mendapatkan berkah dan ampunan dari leluhur.
b) Diperlukan perilaku yang baik dan amal kepada orang yang membutuhkan. Perilaku yang baik kepada orang-orang yang berada dalam pelayanan kita juga diperlukan. Kedua hal ini direkomendasikan untuk menghilangkan “pitra dosha”
c) Menyembah Dewa-Dewa dianjurkan karena semua jiwa akhirnya bergabung menjadi entitas besar Dewa-Dewa. Penggabungan ini disebut “mukti”.
d) Menyembah “Samarth Sadguru” seperti “Shri Sai Nath of Shirdi” juga akan membantu karena Sadguru seperti lampu suar yang membimbing kita menuju keilahian agung Yang Mahakuasa.
e) Seseorang harus bertanggung jawab dalam urusan perkawinan anak gadis, bertindak baik pada keluarga miskin untuk mendapatkan rahmat Tuhan dan leluhur.
f) Penyembahan harus dilakukan untuk “mukti” jiwa leluhur seperti yang disarankan dan ditentukan dalam sastra Garuda Purana dalam bentuk Pinda, Sraddha, atau Tarpana.
g) Pelafalan atau japa mantra seperti “Shri Gurudev Datta” dikatakan dapat mengurangi efek buruk dari “Pitra dosha”.
Dari mana sumber ajaran bahwa leluhur dikatakan bisa menyakiti keturunannya?
Ada anggapan dalam beberapa kalangan bahwa lebih penting untuk melakukan Pitra Kriya (ritual-pemujaan untuk nenek moyang) daripada Deva Kriya (ritual untuk memuja Deva dan atau Tuhan).
Juga karena leluhur bisa menimbulkan beban atau kutuk jika perjalanan badan halus atau ruhnya setelah kematian tidak lancar.
Garuḍa Purāṇa bab 13 menjelaskan prihal perjalanan ruh leluhur yang telah meninggal dan kemungkinannya memberikan hukuman ke keturunannya jika tidak melakukan pemujaan pada leluhur.
Dalam proses kematian, tubuh halus orang yang telah mati tiba di depan Citragupta. Citragupta lalu menjelaskan kepada jiwa tersebut perbuatan baik dan buruknya selama hidupnya di bumi.
Garuḍa Purāṇa 13 selanjutnya membahas tentang beberapa persembahan bagi tubuh halus yang meninggal ini jika berbuat baik di dunia. Jalan yang ditempuh tubuh halus untuk mencapai dunia Yama sangat gelap. Disebutkan, karena itu sebaiknya keturunannya menyalakan lampu tanah yang harus dinyalakan dan disimpan di tempat kematian atau rumah duka selama empat belas hari. Lampu ini harus menyala terus menerus. Lampu ini diharapkan menerangi jalan yang gelap. Lampu tanah lainnya juga harus diberikan. Sebuah tempayan tanah berisi air harus diberikan pada hari keempat belas atau di bulan karttika. Pemberian tempayan tanah memuaskan dahaga para pelayan Yama.
Tubuh halus sang mati ini menjadi tidak murni setelah meninggalkan tubuh kasar pada saat kematian. Itu mencapai kemurnian hanya pada hari kesebelas. Apapun hadiah yang diberikan atas nama almarhum membantu tubuh halus almarhum untuk melintasi jalan menuju dunia Yama dengan sedikit mudah.
Dari kitab ini juga para penekun kitab memberikan catatan: “Setelah kematian, tubuh halus seseorang dikenali hanya karena karmanya dan bukan karena kekayaan atau kecerdasannya. Harus diingat bahwa kecerdasan spiritual berbeda dari pengetahuan materialistis. Pengetahuan spiritual adalah perlindungang langsung dari Yang Mahakuasa”.
Perlu dibekali atau dihaturkan bagi yang meninggal di antaranya: Tujuh item payung, alas kaki, pakaian, cincin, toples air, kursi dan bejana disebut ‘pada’. Ketujuh benda ini berguna untuk tubuh halus almarhum saat melintasi dari bumi ke tempat tinggal Yama. Memberi hadiah bejana tembaga berisi air dianggap sebagai yang terbaik. Hadiah yang ditawarkan atas nama almarhum diambil oleh dewa Varua dan diserahkan kepada Viṣṇu, yang pada gilirannya menyerahkannya kepada matahari. Matahari memberikan hadiah ini kepada almarhum.
Kitab ini menjelaskan secara rinci perjalanan jiwa halus orang-orang yang meninggal.
Orang yang melakukan dosa dikirim ke neraka dan tinggal di sana sampai semua dosanya habis. Setelah periode di neraka berakhir, tubuh halus diizinkan untuk melihat berbagai jenis neraka. Jumlah neraka digambarkan sebagai 8.400.000, di mana 21 di antaranya digambarkan sebagai yang mengerikan.
Di sinilah disebutkan pentingnya memiliki keturunan.
Jika seseorang tidak memiliki keturunan dan tidak ada yang memberikan persembahan apa pun atas nama mereka, terus tinggal di neraka ini untuk waktu yang sangat lama dan akhirnya menjadi pasukan Yama.
Ketika tubuh halus disiksa dalam waktu lama di neraka, tubuh halus menjadi perwujudan siksaan. Berdasarkan teori ini, pasukan Yama dikatakan berwajah-rupa mengerikan.
Dikatakan juga bahwa pada saat kematian, panjang tubuh halus adalah sepanjang lengan. Setelah menjalani siksaan di neraka yang berbeda, ia dibawa untuk muncul di hadapan Yama. Pada saat itu, tubuh halus menjadi seukuran ibu jari, sering digambarkan dalam Upaniṣad.
Jika seseorang telah melakukan banyak dharma, dia akan terlahir kembali sebagai manusia. Para pendosa dibuat terlahir sebagai cacing, serangga, hewan, tumbuhan, dll., atau mereka dibuat kembali ke neraka lagi untuk menjalani penderitaan lebih lanjut. Semua ini tergantung pada baik-buruknya karma yang dilakukan seseorang ketika ia masih hidup.
Beberapa orang berdosa dibuat untuk dilahirkan sebagai ‘ruh kesasar’. Terlahir sebagai ‘ruh kesasar’. Mereka menyiksa kerabat mereka karena tidak melakukan ritual shrāddha atau pemujaan leluhur, dan karena tidak mempersembahkan piṇḍa atau tumpeng-banten kepada leluhur.
Garuḍa Purāṇa bab 13 menjelaskan bahwa jika pemujaan leluhur tidak dilakukan seperti yang ditentukan oleh ajaran berleluhur maka pitara akan mengutuk keluarga mereka karena telah membuat mereka mengembara sebagai ‘ruh kesasar’ dan membuat mereka menderita. Kutukannya dapat dilihat secara kasat mata, seperti: Tanaman mereka tidak tumbuh, kekayaan mereka hancur, penyakit menyerang, tidak memiliki keturunan, kehilangan anak secara dini, dll. Penderitaan mereka bisa dalam banyak hal. Ini umumnya disebut pitṛśāpa atau kutukan oleh leluhur.
Satu-satunya cara untuk menghindari pitṛśāpa adalah dengan membuat orang tua bahagia selama masa tua mereka. Tidak ada gunanya melakukan upacara atau memberikan hadiah dalam jumlah berapa pun jika seseorang mengabaikan orang tua di hari tua mereka. Mengabaikan orang tua dianggap sebagai yang dosa terburuk. Semua kutukan leluhur yang menderita di alam sana bisa ditebus dengan melimpahkan kebajikan pada orang tua ita yang masih hidup — demikian penegasan kitab Garuda Purana.
Pentingkah silsilah leluhur atau ‘kawitan’ dalam masyarakat Hindu India?
Gotra adalah sebuah sistem garis silsilah yang sangat menjadi perhatian bagi masyarakat Hindu kuno.
Garis silsilah ini yang menghubungkan seseorang dengan leluhurnya yang paling kuno atau akarnya dalam garis keturunan laki-laki yang tidak terputus.
Katakanlah seseorang bagian dari Bharadwaja Gotra, maka itu berarti dia menelusuri kembali leluhur laki-lakinya ke Rishi Bharadwaja yang disebut dalam Rig Veda.
Gotra, jika dibandingkan dengan soroh atau sistem kawitan di Bali, sama-sama mengacu pada akar muasal dalam garis keturunan laki-laki seseorang. Memegang garis silsilah gotra dipraktikkan di antara sebagian besar umat Hindu di India.
Garis silsilah laki-laki ini kini menjadi pembahasan di India karena dikaitkan dengan temuan kromosom Y. Ini menambahi pendapat di India bahwa garis gotra terkait dengan diksa atau inisiasi kependetaan di kalangan brahmana dan kelompok ksatria. Gotra dikaitkan dengan pendapat bahwa Kromosom Y adalah satu-satunya Kromosom yang diturunkan hanya antara laki-laki dalam garis keturunan. Wanita tidak pernah mendapatkan Kromosom Y ini di dalam tubuh mereka. Dan karenanya Kromosom Y memainkan peran penting dalam genetika modern dalam mengidentifikasi silsilah yaitu nenek moyang laki-laki seseorang.
Disebutkan bahwa sistem Gotra dirancang untuk melacak akar Kromosom Y seseorang dengan cukup mudah. Jika seseorang termasuk Gotra Rśi Angirasa maka itu berarti bahwa Kromosom Y-nya turun jauh selama ribuan tahun dari Riśi Angirasa. Dan jika seseorang milik Gotra (katakanlah Bharadwaja) dengan Pravaras (Angirasa, Bhaarhaspatya, Bharadwaja), maka itu berarti bahwa Kromosom Y orang tersebut turun dari Angirasa ke Bhaarhaspatya ke Bharadwaja ke orang tersebut. Demikian perbincangan kalangan terdidik di India kini melihat silsilah garis kawitan kenapa konon berpatokan pada garis lelaki.
Urusan garis silsilah atau yang di Bali dikenal sebagai garis soroh atau kawitan, di India menjadi diskusi yang sangat serius dan menjadi jalan bagi pembelajaran dharma dan pelanjutan tradisi inisiasi suci atau diksa yang sangat ketat diturunkan dalam berbagai garis gotra. [T]