Layaknya kota lain di Bali, Singaraja juga tak luput dari serangan kuliner pop. Hal ini bisa terlihat dari menjamurnya gerai makan kekinian yang tidak hanya fokus dalam menjual makanan, namun juga menjadikannya tempat nongkrong yang mengasyikan bagi selera kaum milenial. Lidah pelanggan tidak hanya dimanjakan dengan cita rasa, namun juga fasilitas perangkat wifi gratis untuk penambah alasan agar mereka betah tinggal berlama-lama dan memesan makanan lagi dan lagi.
Satu di antara olahanan makanan yang ditawarkan adalah mie. Bahkan di Singaraja sendiri ada banyak gerai makanan yang khusus menjual olahan mie kekinian. Untuk urusan selera dan rasa, kini hadir berbagai varian mie dengan keunikan selera pedas yang dibagi menjadi berlevel-level dan bahkan dengan nama-nama yang unik, mie setan misalnya.
Namun tunggu dulu, sebelum mie-mie kekinian ini bermunculan, ternyata di Singaraja terdapat olahan mie yang bisa dianggap legenda kuliner dan masih ada hingga hari ini. Tidak sedikit orang dari luar daerah datang khusus ke Bali Utara untuk menikmati kuliner yang satu ini.
Mau tahu mie apa itu? Jawabannya adalah mie pangsit di Warung atau Rumah Makan Merta Sari. Masakan yang masuk kategori chinese food ini menjadi legenda di Bali Utara. Pangsit sendiri dibuat dari adonan berbahan dasar tepung terigu yang dibentuk sedemikian rupa dengan cincangan daging babi di dalamnya.
***
Beberapa waktu yang lalu, saat jam istirahat kantor, saya memutuskan untuk pergi mencari makan siang. Sedari awal, saya tidak pernah berpikir kalau nantinya saya akan mampir di sebuah tempat makan yang terletak di kawasan Taman Lila itu. Namanya adalah Merta Sari, tepatnya di Jalan A. Yani No. 25 D Taman Lila, Singaraja Bali.
Derap kaki saya melangkah ke tempat makan yang terletak di paling pojok timur Kawasan Taman Lila. Dengan perut yang keroncongan, saya masuk diantara pintu tua yang berwarna biru menuju meja makan yang sangat bersih, mengkilat dan sudah berjejer rapi, lengkap dengan kursi tua. Kursi itu konon sudah ada sebelum sang pengelola lahir.
Tempat ini memang dibiarkan seperti sedia kala, tentu saja untuk merawat kenangan-kenangan lama, sembari berharap tempat ini akan berjaya kembali seperti saat sang kakek mulai merintisnya.
Ko Tji Kang, dialah pengelola tempat makanan ini, bersama adiknya Ko Tji Go. Mereka melanjutkan usaha ini dengan dedikasi yang sangat tinggi, merawat tempat sekaligus merawat resep warisan leluhur. Mereka mengambil alih usaha ini sejak tahun 2006, tepat saat ayah mereka yang bernama Tan Kok Pwee pergi untuk selamanya.
Ko Tji Kang, pria yang memiliki anak semata wayang ini sangat ramah, dia menghampiri saya untuk memberikan daftar menu mulai dari makanan hingga minuman. Saat itu saya memesan bakwan campur babi, isinya bakwan, mie dan pangsit tentunya dengan baluran kuah kaldu balung babi. Saya memesan dengan sepiring nasi putih ditemani teh hangat.
Saya sangat menikmatinya, secara perlahan saya mengambil kuahnya dengan sendok sembari menyeruputnya. Lalu saya tambahkan sedikit sambal, dan kecap manis Meliwis yang sudah tersedia di meja.
Saya nikmati bagian per bagian mulai dari mie, bakwan, hingga pangsitnya. Benar-benar nikmat dan lezat. Semua tercampur dengan sempurna, dan lidah terasa dimanjakan dengan kenikmatan tiada tara. Tak terasa hidangan telah habis, sementara saya menunggu beberapa saat membiarkan semua makanan tercerna dengan sempurna.
***
Terbersit kemudian keinginan untuk mengobrol lebih jauh dengan Ko Tji Kang, sembari mengulik lebih jauh cerita di balik tempat makan ini. Oleh Ko Tji Kang saya dipersilahkan untuk pindah tempat duduk dan dia membuatkan kopi Bali untuk bisa kami nikmati bersama.
Tak diketahui pasti oleh Ko Tji Kang, kapan rumah makan Merta Sari didirikan oleh almarhum sang kakek, Tan Thian Tjhoei. Hanya saja dia memperkirakan kalau rumah makan ini sudah ada sebelum ayahnya, alm. Tan Kok Pwee, lahir di tahun 1946. Jadi, bisa dikira-kira bahwa usia dari rumah makan ini sudah sekitar 75 tahun lebih.
Saya baru tahu ternyata menu makanan yang menjadi andalan di tempat ini adalah mie pangsit. Sayang sekali saya mengetahuinya setelah saya menikmati bakwan campur babinya. Tapi saya berjanji, beberapa hari lagi saya akan datang lagi kesana untuk mencicipi mie pangsit pavorit di tempat ini bersama keluarga sambil merayakan hari ulang tahun istri.
Jangan diragukan lagi, soal resep, hingga saat ini Ko Tji Kang dan adiknya sangat serius, detail dan teliti soal rasa, kualitas bahan dan cara pengerjaan. Mereka memastikan bahan yang digunakan dalam kualitas yang sangat segar, tidak boleh ada bahan makanan yang basi dan semua dibuat seperlunya.
Bagi mereka, kualitas adalah segalanya, dan itu yang menjadi keyakinan mereka untuk menjaga kesetiaan dari pelanggan yang sudah berpuluh-puluh tahun mempercayakan seleranya pada tempat makan ini. Kulit pangsit, mie dan juga bakwan mereka buat sendiri, bahkan Ko Tji Kang menyampaikan pada saya bahwa alat yang digunakan untuk membuat bahan makanan ini masih menggunakan alat tradisonal warisan kakeknya.
Ko Tji Kang menambahkan bahwa kegemarannya terhadap keterampilan memasak sudah terpatri sejak dia masih kecil, dia sangat senang membantu ayahnya dalam menyiapkan menu yang dipesan oleh pelanggan mereka kala itu.
Bagi Ko Tji Kang, memasak itu adalah seni menikmati proses, tidak ada sesuatu yang bisa dilakukan dengan instan dan semua itu mesti harus disajikan dengan mengikuti kata hati, romantis dan spiritual sekali bukan?
***
Beberapa hari setelah kunjungan pertama, akhirnya tepat saat perayaan hari ulang tahun istri, tanggal 07 Nopember 2021 saya menepati janji untuk mampir kembali menikmati makan malam di tempat ini. Saya dijamu oleh Ko Tji Go. Saya memutuskan untuk memesan mie pangsit, sementara istri memesan kolobak bersama nasi putih.
Saya menyampaikan kepada istri perihal sejarah perjalanan rumah makan ini, istri sangat terheran-heran karena sudah puluhan tahun lamanya usaha ini bisa terus bertahan walau ditengah himpitan selera pasar yang kian berkembang. Mereka tetap konsisten dengan nilai-nilai yang mereka peroleh dari leluhurnya, dan menolak menyerah untuk urusan kualitas.
Setelah beberapa lama, Ko Tji Go datang dengan menu yang sudah kami pesan. Kami menikmati hidangan yang ada, istri menikmati kolobak dengan nasinya, sementara saya menikmati mie pangsit dengan menyeruput kuah mie pangsitnya telebih dahulu. Rasa kuahnya tidak terlalu sepek seperti masakan Bali pada umumnya. Rasanya sangat lembut.
Tetapi soal rasa tetap diserahkan kepada penikmat. Kalau mau pedas, tinggal tambah sambal, kalau mau manis tambah kecap manis, begitu juga dengan asin. Kemerdekaan rasa diserahkan kepada kita. Semangkuk mie pangsit ini dijual dengan harga Rp. 18.000.
Lantas saya menikmati mienya secara pelahan, rasanya sangat datar, akan lebih berasa jika dinikmati bersama dengan kuahnya. Rasa pangsit juga seperti itu, lembut dan teksturnya sangat halus, kecuali kita mengigit bagian dari daging isi dari pangsitnya, sangat gurih.
Ada hal yang menarik yang mesti saya ceritakan, bahwa masakan di tempat ini menggunakan perasa alami yang langsung dibuat dari olahan sari tebu, jadi sangat aman bagi kesehatan. Sekadar informasi tambahan, tempat ini buka setiap hari, mulai jam 9 pagi hingga 9 malam (kecuali hari raya Chinese). [T]