“Bung, tenang saja, di taman sudah tumbuh bunga-bunga puisi, rimbun – menarik banyak kupu-kupu dan kumbang,” ujar saya dalam hati setelah menyaksikan Tribute To Umbu Landu Paranggi oleh Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP) – Denpasar, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Bali, 4 November 2021 malam.
Umbu Landu Paranggi ialah tokoh sastra di Indonesia khususnya puisi, jika dibentangkan cerita serta jejak-jejak beliau dalam menanam puisi di hati setiap orang, mungkin bukan saya orang yang pantas. Ada banyak murid Bung Umbu yang bisa ditanyakan perihal laku hidup puisi yang ia jalani.
Saya sendiri sempat menjadi “korban” lakunya, korban yang merasa tersesat di jalan yang benar, korban yang merasa diri beruntung sempat menulis puisi karena tuntunan Bung Umbu. Hingga sekarang saya masih menulis puisi, kendati untuk diri sendiri serta sejumlah riset pribadi.
Panggung dibuka dengan sejumlah penari yang membawa layang celepuk, pada kain itu bertulis sejumlah kata serta gambar-gambar abstrak. Penari membentuk komposisi ritmis dengan menggerakkan layangan seperti bergetar. Gerakan itu diiringi oleh genderang musik sumba yang melantun monoton, menghantarkan layangan terbang membumbung tinggi ke langit.
Adegan tersebut mengingatkan saya pada kata Metiyem, yang juga merupakan judul buku tentang Bung Umbu terbit tahun 2019. Metiyem dalam konteks Bali artinya terbang tinggi ke langit, bersembunyi di antara awan tanpa ada yang mengetahui. Kata ini sering Bung Umbu bicarakan dalam beberapa kali pertemuan, itu ajaran untuk mencapai suatu raihan hidup tanpa harus menggembar gemborkan ke khalayak luas. Semacam kekidungan yang diciptakan oleh seniman Bali terdahulu, tanpa memberi nama pangarangnya-anonymus. Tapi tembangnya kita gunakan hingga hari ini.
Dalam jalinan pertunjukan JKP, puisi Bung Umbu menjelma adegan-adegan teaterikal, musikalisasi puisi, laku tubuh, serta kerlipan lampu yang puitis, setiap jeda adegan diselingi rekaman suara Bung Umbu terkait puisi, Bali serta kata-kata. Rekaman suara itu seolah jadi satu dalam jiwa-jiwa penampil dari anak SMA, mahasiswa, pesilat hingga penyair. Seperti MM Astra, Dewa Sahadewa, Pranita Dewi, Obe Marzuki, Ayu Chumani, Heri Windi Anggara – Sekali Pentas dan monolog oleh Muda Wijaya. Alihwahana ini merupakan daya cipta serta upaya tafsir setiap penampil dalam menganalisis serta menyanyikan pertunjukan. Puisi melebur di panggung, cair dinamis dalam tatanan teknis yang mempesona.
Sebut saja musikalisasi Puisi Sabana – Umbu Landu Paranggi oleh Kelompok Sekali Pentas gubahan Heri Windi Anggara
Sabana Sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
Sabana tandus
mainkan laguku
harum napas bunda
seorang gembala berpacu
Sungguh ciamik Heri menerjemahkan kata-kata di atas menjadi aksi nyanyian yang melemparkan saya ke tengah sabana. Terbentang luas, panas dan tandus. Tapi ada selusur sunyi di dalamnya, di sanalah Bung Umbu mencari diri, di tengah tak keterdugaan kata, kemungkinan jalan nasib, ia tetap sunyi sendiri berjalan menuju keinginannya. Seorang gembala berpacu – jauh dari lampu-lampu panggung menyilaukan, jauh dari publikasi berlebihan, jauh dari hiruk pikuk politik industrialisasi sastra kita.
Her aku harus akui semua penonton terpukau saat ketiga penyanyi perempuanmu bersahutan panjang, sepertinya mereka berada luas lapang Sabana. Aku di bangku penonton seperti bukit-bukit menjulang, tanah-tanah gersang, ilalang panjang, serta langit biru yang kukuh diam tak bergeming. Apa kamu hendak memanggil Bung Umbu hari itu, atau meneriaki kematian yang jalannya masih simpang ?
Penampil lainnya membawa puisi dengan diiringi teaterikal yang seolah-olah menjadi jiwa hidup kata-kata. Panggung tersihir, lampu-lampu menyisir laku tubu itu, mata penonton khawatir – menanyakan kematian selanjutnya sementara jawabannya masih beku di udara.
Selain pementasan rangkaian acara juga diselingi diskusi singkat yang dipandu oleh Moch Satrio Welang bersama Putri Suastini Koster, Prof Dharma Putra dan Budayawan Hartanto Yudo Prasetyo.
Ketiga narasumber menceritakan bagaimana pandangannya terhadap sosok Bung Umbu. Satu ulasan menarik oleh Prof Dharma Putra bahwa Bung Umbu disejajarkan dengan Walter Spies, Bonnet dan sejumlah pelukis dari luar negeri, yang memberi pemaknaan hidup kepada orang Bali. Sehingga hadir satu budaya untuk mempengaruhi laku orang Bali dalam berkesenian.
“Ketika Umbu datang ke Bali, Bali sangat beruntung kedatangan orang yang extra ordinary seperti dia,” ujar Prof Dharma Putra
Keberuntungan itu juga saya rasakan, dari SMP hingga hari ini saya masih menyusun kata-kata, memilah, memilih untuk bisa disebut sebagai puisi. Saya masih ingat Bung, saat saya jumpai dikantor Bali Post sewaktu SMP, bersama kawan penyair dan kawan muda lainnya. Kemudian pertemuan terakhir kita di depan Jalan Veteran di depan pasar burung Satria. Saya tidak sengaja berhenti lalu menanyakan kabar Bung Umbu.
“Hai Santiasa, tetaplah menulis ya, saya jalan kaki saja,” ujar Bung, saat saya menawari tumpangan.
Sampai saat ini walau saya tahu Bung berpulang, saya masih mencari-mencari sosok Bung jika melintasi jalan Veteran. Siapa tahu saya bertemu puisi yang Bung tinggalkan di sana. Sama seperti malam itu bung, semua murid-muridmu hadir membacakan puisi untukmu, merangkai makna dalam penghayatan panjang.
Oh ya, Bung Umbu sudah bertemu Pak Abbas (Ketut Syahruwardi Abbas) di sana?
Beberapa hari lalu ia bergegas berangkat, menemui puisi yang paling Umbu. Doa kami di sini untuk perjalanan panjang Bung dan pak Abbas .[T]