Dua boneka besar itu bercahaya dari dalam tubuhnya, mereka terbang di panggung Natya Mandala ISI Denpasar. Tangannya saling berpegangan sebagai poros putaran. Pendar cahaya saling berkejaran di langit-langit mengikuti arah gerakan boneka, kemudian secara perlahan boneka mendekap satu sama lain lalu menghadap ke penonton. Diam…..
Di sambut tepuk tangan. (pementasan usai)
Itu bagian akhir dari pementasan Light Of Love oleh Sunar Puppet Theatre dari Kabupaten Karangasem, Kamis (27/10/2021) dalam ajang Festiva Seni Bali jani III/2021.
Light Of Love oleh Sunar Puppet Theatre menggiring ingatan penonton menuju nostalgia cinta ideal pada masa remaja. Berkisah tentang Raden Una yang jatuh cinta kepada Diah Winangsia, namun rasa kasih itu tidak sampai seperti yang diinginkan Raden Una. Pertunjukan berdurasi 45 menit itu disajikan dalam bentuk drama musikal, di dominasi oleh lagu, tembang, pupuh, serta iringan musik sebagai penegas suasananya
Sutradara Guspang Sua menjelaskan kisah Raden Una bersumber dari Lontar Monyeh – Lombok, ditangannya naskah ini berkembang menjadi sejumlah bahasa, yakni bahasa Bali, Jawa, Lombok dan Indonesia. Terus terang saja, saya sebagai penonton tidak begitu mengerti apa yang diucapkan oleh aktor, narator, serta pemain cakepung.
Namun itu tidak menjadi soal, sebab pementasan dapat dinikmati dari bunyi, jalinan ekspresi, peristiwa gerak, simbol warna lampu, serta pengadeganan yang mapan. Seluruh kejadian panggung dikembangkan ke tangkapan indera, kemudian merajut logika-logika menjadi satu peristiwa.
“Memang itu yang saya inginkan, setiap orang memiliki kepekaannya sendiri dalam mengintrepetasikan karya ini” ujar Guspang usai pementasan.
Selain itu, Sutradara muda ini juga memberikan kejutan-kejutan kecil yang menawan namun tak berlebihan. Misalnya adegan kunang-kunang yang dimainkan oleh sejumlah penari laki-laki. Kunang-kunang itu sebenarnya lampu kuning yang dipasang ditelapak tangan, lalu digenggam kemudian dibuka mengikuti irama pertunjukan. Percis seperti TV Show Jepang Masquered , yang pernah ditayangkan di Indonesia sekitar tahun 90an.
Kehadiran boneka bersinar sebagai maskot pementasan juga memiliki daya tarik tersendiri, siapa yang menyangka boneka seperti ogo-ogoh itu dapat dimainkan di atas panggung. Ogoh-ogoh yang kita kenal selalu statis atau bergerak monoton itu, dikembangkan mengikuti morfologi dan fisiologi sendi manusia.
Serta adegan terakhir yang membuat saya tertawa kecil malu-malu, saat Raden Una melempar bunga mawar merah ke Diah Winangsia. Entah bagaimana cara kerja panggungnya bunga itu jatuh seperti hujan helai mawar ke tubuh Diah Winangsia. Aiiih sungguh cinta merah padam pertunjukan tersebut.
“Bise gen mule timpale besik nto”
Boneka Bersinar dan Watak
Begini, saya harus menjelaskan sedikit ekspektasi saya ketika hendak menonton Sunar Puppet Theatre. Dalam bayangan di kepala, boneka besar yang bersinar itulah menjadi tokoh utama pertunjukan. Ia mungkin saja dihadirkan dengan narasi yang dibacakan seperti drama kolosal, atau tanpa bahasa – hanya mengandalkan kekuatan gerak. Ialah Subjek pementasan, ialah sumber dari segala inti perhatian pertunjukan.
Namun senyatanya, Boneka yang terbuat dari ulatan bambu, rotan, serta rangkaian listrik di dalam tubuhnya itu, menjadi cerminan diri dari tokoh utama. Raden Una memiliki boneka di belakangnya, Diah Winangsia juga demikian. Jika kawan-kawan pernah menonton anime Jepang – Shaman King, garapan seri manga oleh Hiroyuki Takei. nah kira-kira begitu visualnya.
Guspang Sua lebih lanjut menjelaskan kedua boneka besar itu merupakan jiwa bagi Raden Una, dan Hati bagi Diah Winangsia. Dapat dikatakan sebagai pecahan diri yang halus. Keduanya dapat saling berkomunikasi satu sama lain, semacam kontemplasi diri saat kita mengobrol dengan diri sendiri.
Dalam pertunjukannya ia tengah memberitahu para penonton bahwa tubuh ini tidak berdiri sendiri, ia memiliki layer-layer yang perlu di kontrol satu sama lain, untuk menciptakan suatu keseimbangan. Beberapa yang ia hadirkan ialah hawa nafsu, kesenangan, kepedihan dan kekecewaan.
Boneka besar dimainkan oleh 5 orang, dengan pembagian gerak di setiap tubuh boneka. Ia menghadirkan teks panggung yang cukup menarik perhatian, boneka dan para penggeraknya ialah peristiwa yang sama sekali berbeda, bisa menjadi daya tawar dan estetika tersendiri bagi pertunjukan.
Sebut saja saat boneka bergerak melayang, para penggerak dengan gerak tari mengangkat boneka, lalu berlairan ke sana kemari, tubuh mereka membias cahaya boneka. Mereka semacam kesadaran-kesadaran di alam bawah sadar kita, yang sering kali mengontrol dan menguasai laku kita sebagai manusia.
Sebagai catatan pribadi, watak dalam Love Of Light ini mungkin perlu perhitungan serta pertimbangan kematangan yang lebih dalam. Baik dari logika peristiwa pertemuan, serta premis pribadi yang semestinya diemban teguh oleh masing-masing tokoh. Misalnya adegan saat Raden Una pingsan setelah melihat kecantikan Diah Winangsia lewat lukisan.
Padahal baru pertama kali ia bertemu perempuan, pun lewat lukisan, logika semacam apa yang membuatnya pingsan. Lantas Raden Una jatuh cinta sepenuhnya terhadap Diah Winangsia. Waduh berbahaya ini Raden Una, layak penyair Chairil yang selalu jatuh cinta pada setiap perempuan yang ia temui.
Sebab watak tokoh ialah kumpulan dari kejadian, konflik serta pengalaman sepanjang hidupnya. Ini mungkin tidak diceritakan secara utuh di panggung, namun cukup riskan jika penonton tidak mengetahui logika-logikanya. Di sanalah kerja nalar logika pertunjukan berlangsung. sebenarnya logika itu dapat di pecah pada sejumlah adegan, sehingga di akhir menjadi satu kesatuan informasi.
Namun lebih daripada itu, pementasan ini menghadirkan visual yang memanjakan mata, penuh pesona dan cantik. Ia layaknya oase kecil ditengah kehiruk pikukan dunia realitas hari ini.
Pementasannya masih ada di kanal youtube Disbud Prov Bali, silahkan ditonton. [T]