Apa yang terjadi bila suatu kebudayaan bersentuhan dengan kebudayaan lain, hanya tiga kemungkinannya, punah, bertahan atau melebur. Pada poin melebur jadi menarik untuk dibahas, ada tawar menawar, ada kemungkinan dan harapan yang tumbuh menjadi hal baru. Jika saja kebudayaan disikapi sebagai ruang cair dan fleksibel. Hal ini mengerucut pada subjek atau pelaku budayanya ada semacam motivasi diri, atau kesadaran laku untuk membaur.
Motivasi inilah yang saya saksikan pada pementasan teater tutur Munyin Paksi, Sanggar Banjrajnyana, dari Bona Gianyar, di Gedung Natya Mandala, ISI Denpasar, pada Jumat 29 Oktober 2021, pukul 16.00 wita. Sebagai catatan penting, saya sendiri datang untuk menonton pertunjukan tersebut, tidak melalui kanal youtube. Alasannya , tentu saja dalam rangka menangkap empresi ketegangan di atas panggung dan paket kuota yang semakin cekak.
Ada tiga titik fokus yang hadir di pertunjukan itu, panggung tengah sebagai pementasan utama, sisi kiri bawah tempat musik pengiring, dan kelir wayang di sebelah kanan. Secara bergantian memang mereka terjalin dengan baik, namun jika dibaca sebagai sebuah teks panggung, ketiga panggung tersebut sejatinya memiliki informasi serta kelindan teks yang berdiri sendiri.
Namun ditangan I Gusti Putu Sudarta selaku sutradara, ketiga peristiwa ini dijalin sedemikian rupa dalam satuan utuh pengadeganan. Saya sendiri dituntut untuk memilih tontonan yang saya suka, jika ketiga panggung ini tengah beradegan. Alih-alih mengatakan memecah konsentrasi penonton, saya lebih suka mengatakan bahwa pertunjukan tersebut memberikan pilihan untuk dipihak, demokrasi sekali kan.
Bahwa realitas kita juga demikian hari ini, buktinya orang-orang datang untuk menonton. Mungkin saja dalam keberangkatannya menonton, mereka dihadapkan sejumlah pilhan di jam itu. Menonton atau pacaran, menonton atau mengerjakan tugas, menonton atau pergi sama teman, dan lain sebagainya.
Pilihan realtas itu selevel dengan pilihan untuk menonton pertunjukan Gusti Sudarta. Panggung mana saja, SAH.
15 menit pertama pementasan, saya mulai menangkap suatu kejanggalan di mata saya, sebongkah keasingan di telinga saya, serta selapang keganjilan di hati saya. Ini bukan pementasan yang biasanya saya tonton, mari saya jabarkan kelindannya ya. Pertama alat musiknya terdiri dari suling gambuh, rebana, gong, reong ukuran besar, alat musik mirip Shamisen- jepang, serta nyanyian sang dalang mirip–mirip pelafalan pementasan PM Toh dari Aceh.
“Wah mirip PM Toh yah, tak apa juga kalau adik menangkap begitu, itu nyanyian pendekatannyamusik Sufi – Qawwali, saya suka dengan musik meditative,” ujar Gusti Sudarta usai pementasan.
Kedua, dari penggunaan bahasa yang digunakan pemainnya. Mereka menggunakan bahasa Melayu, Malaysia, Bali, logat Malaysia tapi bahasa Bali atau sebaliknya. Saya sendiri singkuh ningehin, tapi jika direnungkan lebih dalam itu cerminan realita kita hari ini, terdahap daya serap kebudayaan asing.
Sebut saja para pemandu wisata di jalan Kuta, menawarkan jasanya dengan bahasa Inggris tapi logatnya Bali. “Sir Sir draiper ser, do yu wont go to Bedugul ser” semacam itu. Hal ini juga bisa kita simpulkan bahwa bahasa merupakan komponen kebudayaan paling rapuh dan goyah, dalam menghadapi budaya lain.
Ketiga, kostum dan gerak tari. Kostumnya kerajaan Malaysia tapi juga dicampur dengan pernak-pernik khas Bali, Gerak tari juga berkembang dari pakem tari Bali, jadi gerak-gerak khas ketegangan budaya. Ini sih, susah saya menjelaskan, tapi ada semacam kejanggalan pada tari yang dibawakan, antara tubuh penari yang belum fasih atau sedang mencari kenyamanan bentuk dalam menarikan.
Munyin Paksi mengisahkan tentang perebutan burung langka oleh Diah Rangda dan Nakoda Hesam. Burung langka itu dibeli oleh Diah Rangda untuk hadiah kepada kedua anaknya. Hadiah itu merupakan permintaan kedua anaknya, agar mau melanjutkan bersekolah. Namun sayang Nakoda Hasem mengetahui bahwa burung tersebut bertuah, barang siapa yang memakan kepala dan hati burung itu, ia akan menjadi raja di raja.
Awalnya Nakoda Hesam berhasil mendapatkan burung tersebut dengan cara mengguna – guna Diah Rangda. Burung pun ditangannya, oleh kedua anak buahnya burung itu dipanggang lalu diletakkan diluar. Datanglah kedua anak Diah Rangda, yang tidak mengerti permasalahan , mereka mengira burung panggang itu buatan ibunya, dengan lahap merekapun memakannya. Terjadilah perselisihan antara kedua pihak,
Cerita tersebut berasal dari karya sastra Geguritan Amad Muhamad. Geguritan ini biasanya digunakan sebagai cerita dalam seni pertunjukan di Bali seperti Gambuh Batuan, sekitar tahun 1920-1930 tercatat dalam buku Dance and Drama in Bali.
Naskah Geguritan ini awalnya berupa lontar koleksi pribadi warga Jembrana, dialih aksarakan oleh I Gusti Kade Arka pada tanggal 17-Mei-1997, dan dituliskan kembali oleh I Gusti Agung Komang Widana. Geguritan ini biasanya dipentaskan dalam pernikahan, kelahiran bayi, dan upacara tiga bulanan, menggambarkan adanya akulturasi sosial kultural yang alami dari masa ke masa, cerminan tingginya sikap toleransi masyarakat Bali juga Nusantara, yang rukun dan guyub sejak dulu.
Dalam pandangan saya, sekiranya begitulah kesenian Jani (sekarang), bertolak pada tradisi, tapi juga sedang mengintip keluar secara bersamaan. Hadirlah pementasan dari hasil tawar menawar. Dan tawar-menawar adalah kerja kesenian. Tidak salah memang, jika dalam kesadaran pelaku, diawali dengan riset, membaca, observasi lalu mengkodefikasikan informasi itu dalam pertunjukan dengan takaran yang baik. [T]