Hampir dua tahun kegiatan-kegiatan sastra terbelenggu karena pandemi. Beberapa penggiat sastra lantas menyiasatinya dengan melakukan olah kreatif melalui digital atau daring. Segalanya sudah serba daring. Yang biasanya setiap acara bedah buku, pembacaan puisi, musikalisasi puisi dan lain-lain, selalu berlangsung secara tatap muka sekarang kita sudah bisa menikmatinya lewat internet.
Akhir-akhir ini kesibukan untuk tugas kuliah, PPL dan juga mulai mengejar judul skripsi membuat saya memaksa untuk meminimalisir kegiatan-kegiatan untuk berporses di dunia sastra. Proses untuk meraih cita-cita untuk menjadi sastrawan yang berbudaya, rajin menabung dan tidak sombong harus terhenti sejenak. Tidak lama, hanya masih menerka.
Syahdan, tempat saya melakukan PPL mempercayakan saya menggarap musikalisasi puisi untuk berlomba di acara Festival Bali Jani III/2021 yang diselenggarakan pada 24 Oktober lalu. Persiapan yang begitu mendadak juga membuat saya harus berpikir dua kali. Ditambah lagi, proses latihan memiliki sejumlah kendala. Apalagi, siswa masih banyak yang labil.
Singkat cerita saja, beberapa peraturan yang ada pada Festival Bali Jani sangat-sangat membuat saya kewalahan. Umumnya, anggota dalam satu kelompok musikalisasi puisi (muspus) hanya berjumlah 6 orang dan maksilmal adalah 8.
Tetapi tidak untuk di Festival Bali Jani, mungkin mereka tidak puas hanya melihat orang dengan jumlah sedikit. Tidak neko-neko kawan-kawan. Panitia mepersilahkan jumlah di masing-masing kelompok sebanyak 11 orang atau lebih. Wah! Luar biasa.
Tetapi, saya tidak akan memaksakan dan mengambil resiko untuk memberikan orang sebanyak itu di atas panggung.
Walhasil, ketika berlomba peserta sudah memenuhi kriteria panitia. Ya, panitia. Tidak tahu juga untuk juri. Ini adalah satu-satunya ketidakpuasan saya untuk mengikuti sebuah lomba muspus.
Lomba diadakan dua hari. 24 dan 25 Oktober. Tetapi, di sinilah peserta bisa saling mengintip kekurangan dan kelebihan lawannya sebelum lomba. Pihak yang diuntungkan adalah mereka yang mendapatkan nomor undi untuk tampil pada tanggal 25. Mereka bisa saling menerka, menyiasati dan merubah alat pada saat akan berlomba ketika melihat lawannya yang berbeda dari mereka.
Ketika perlombaan tanggal 24 ada beberapa catatan yang mungkin harus diubah oleh panitia. Ini menurut saya. Karena saya bukan ahli kritik dan saran ketika menulis sebuah karya ilmiah. Jadi, jikalau ada salah dalam beberapa catatan ini mungkin bisa kawan-kawan telaah kembali atau diabaikan.
Catatan pertama adalah, kecenderungan peserta dalam membawakan sebuah puisi dan dijadikan lagu. Kecendrungan ini adalah ketika membuat sebuah puisi berbahsa Indonesia maupun Bali, mereka masih memilih untuk membawakan khas seperti musik pop Bali pada umumnya.
Saya tidak tahu ini benar atau salah, tetapi seperti pengalaman yang sudah saya jalani dalam dunia muspus ini, kecendrungan itu akan membuat puisi itu biasa saja. Dalam artian, musikalitas dari puisi itu hanya itu-itu saja, tidak ada musiklaitas yang benar-benar merasuk ke dalam setiap bait dan baris puisi.
Catatan kedua adalah, kecendrungan ketika membawakan sebuah alat yang sesuai dengan interpretasi puisi itu sendiri. Kebanyak peserta seperti memaksanakan dengan membawakan gambelan Bali, padahal alat itu sebenarnya tidak sangat dibutuhkan dalam puisi yang dibawakan.
Catatan ketiga, dalam hal berpakaian. Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan peserta memakai pakaian adat bali, payas agung ataupun pakaian untuk parade. Tetapi apakah hal itu sangat-sangat diperlukan dalam membawakan musikalisasi puisi? Atau mereka hanya memikirkan estetika dalam hal berpakian?
Jikalau mereka membawakan puisi bertema pahlawan misalnya, lalu mereka memakai pakaian Bali seperti payasan agung sudah pasti itu melenceng dalam hubungan tema puisi dan pembawaan nyatanya.
Catatan keempat. Orang-orang yang terlalu banyak dan menjadi tidak diperlukan dalam panggung. Ini adalah hal yang paling membuat saya bingung. Terlalu banyak orang dalam setiap kelompok. Sebagian besar kelompok musikalisasi puisi menempatkan 11 sampai 15 orang di atas panggung. Ini menjadikan lomba ini seperti lomba vokal grup. Ada yang memegang perananan sebagai pemain gitar, pemain gangsa, vokal yang mencapai 5 orang dan beberapa instrumen yang mirip vokal grup.
Catatan terakhir adalah kecendrungan membawakan puisi dan interpretasi dalam menyanyikan puisi. Ini adalah catatan terpenting. Saya rasa, sebagian peserta tidak terlalu perduli dengan penyampian puisi dari penulis yang seharunya disalurkan ke penonton, juri dan diri mereka sendiri.
Hanya 1 atau 2 peserta yang saya lihat dapat membawakan puisi itu dengan dinamika yang tepat. Mereka saya lihat hanya memikirkan estetika dan tidak terlalu peduli dalam hal penyampian puisi itu sendiri. Puisi bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Musiklitas dan puisi itu sangat jauh dari penyampiannya.
Kesimpulannya kawan-kawan, apa pun yang terlalu dipaksakan kecenderungan hasilnya akan menjadi tidak baik. Banyak penikmat musikalisasi puisi sebenarnya tidak terlalu mementingkan bagaimana kita bagusnya cara berpakaian kita, senyum sumringah ketika bernyanyi seperti di cafe dan akting di atas panggung terlalu berlebihan.
Catatan-catatan itu sebenarnya tidak akan ada jika mereka mengerti apa itu musikalisai puisi. Sayangnya, ketika tanggal 25 saya tidak sempat untuk menonton peserta lain karena kesibukan yang mendakan. Lomba ini sangat-sangat tidak terlihat seperti perlombaan musikalisasi puisi melainkan vokal grup.
Akhir dari catatan ini adalah, jangan terlalu dihiraukan. Ini adalah catatan orang yang masih menerka jati diri. [T]